Seperti kita ketahui, Sim Hong Bu meninggalkan daerah Lok-yang dan pergi menuju ke Sin-yang bersama Cu Pek In, Cu Kang Bu dan Yu Hwi. Mereka tidak tahu bahwa gerak-gerik mereka itu telah diawasi sejak lama dari jauh oleh banyak pasang mata yang bersembunyi-sembunyi. Baru setelah mereka tiba di sebuah hutan kecil di lereng gunung, mereka berempat merasa heran melihat munculnya belasan orang yang sudah mengepung mereka.
Empat orang itu bersikap tenang, bahkan Hong Bu tersenyum mengejek dengan hati terasa geli. Orang-orang ini mencari penyakit, pikirnya. Akan tetapi sedikit pun hatinya tidak menjadi marah. Kemarahan jauh dari hati Hong Bu pada saat itu. Dia telah menemukan kesejukan hati yang baru, setelah dia “mengenal” Pek In sebagai seorang gadis yang wajar, sebagai kekasihnya, bahkan lebih dari itu, sebagai tunangannya, calon isterinya! Dan di dalam perjalanan itu, Cu Kang Bu dan isterinya yang bijaksana memang sengaja memberi banyak kesempatan kepada mereka untuk berduaan. Hong Bu selalu merasa gembira dan bahagia. Terlupakanlah sudah kegetiran yang terasa oleh penolakan Ci Sian!
Memang, segala macam perasaan hanya timbul oleh permainan pikiran yang mengingat-ingat belaka. Seperti juga kepuasan yang hanya sebentar, kekecewaan pun lewat bagai angin lalu saja. Suka dan duka silih berganti seperti awan-awan bergerak di angkasa.
Ketika Hong Bu merasa kecewa dan berduka karena penolakan Ci Sian, hal itu timbul karena pikirannya mengenang semua itu dan menimbulkan rasa iba diri dan kecewa.
Akan tetapi sekarang, begitu pikirnya penuh dengan kegembiraan karena hasil baru yang amat menyenangkan dan baik dalam hubungannya dengan Pek In, maka semua kedukaan yang lalu pun lenyap tanpa bekas. Kita ini, biarpun sudah dewasa, namun masih tiada bedanya dengan anak-anak, hanya badan kita saja yang bertumbuh menjadi besar, kita masih mudah tertawa dan menangis, seperti kanak-kanak yang mudah tertawa memperoleh permainan baru dan mudah menangis karena kehilangan sesuatu yang disenanginya. Akan tetapi setiap muncul pengganti yang baru, yang lama, baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan, akan terlupa dan hilang tak berbekas. Yang berbeda hanyalah macam permainan itu saja.
Biasanya, kita manusia, di ujung dunia yang manapun juga, selalu mengejar-ngejar pengulangan kesenangan atau mencari keadaan yang lebih menyenangkan atau dianggap lebih menyenangkan lagi, selalu mencoba untuk menjauhi atau menghindari apa saja yang dianggap menyusahkan. Kita ingin hidup ini penuh dengan yang manis-manis saja.
Kita lupa bahwa selama kita mendambakan yang manis, maka akan bermunculanlah yang pahit, yang getir, yang masam dan sebagainya karena semua itu muncul apabila yang manis dan kita dambakan itu tidak tercapai. Itulah romantika hidup. Ya manis, ya pahit, ya getir. Semua itu merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, yang menjadi isi daripada kehidupan kita sekarang ini. Mengapa kita tidak menerima semua itu secara wajar saja?
Mengapa mesti bersenang kalau mendapatkan yang manis akan tetapi mengeluh kalau memperoleh yang pahit? Kalau kita menghadapinya dengan pengamatan mendalam, tanpa penilaian si pikiran yang mencari manis selalu, mungkin kita akan melihat sesuatu yang ajaib. Benar pahitkah yang kita anggap pahit itu dan benar maniskah yang kita anggap manis? Apakah akan terasa nikmatnya manis kalau kita tidak merasakan tidak enaknya pahit? Apakah kita dapat mengenal terang kalau kita tidak mengenal gelap?
Melihat munculnya belasan orang yang memegang senjata golok dan pedang lalu mengepung tempat itu, Yu Hwi juga tersenyum lebar seperti melihat sesuatu yang lucu sekali. Akan tetapi tidak demikian dengan Cu Pek In. Gadis ini mengenal seorang di antara mereka, yaitu orang yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam, usianya sekitar empat puluh tahun, berkumis tebal melintang dan lengan kiri orang itu masih dibalut.
Orang itu bukan lain adalah Koa Cin Gu, guru silat dari Lo-couw yang lebih suka pria tampan daripada wanita cantik itu! Maka, melihat orang ini, marahlah Pek In.
“Orang she Koa yang tidak tahu malu! Sudah kupatahkan lengan kirimu engkau masih berani datang berlagak, apakah harus kupatahkan tulang lehermu?” Sambil berkata demikian, Cu Pek In melangkah maju ke arah laki-laki tinggi besar itu.
Si Tinggi Besar itu terbelalak. Tentu saja dia tidak mengenal Pek In sebelum dara ini membuka suara dan sekarang dia memandang, dengan mata terbelalak,
“Ah, kiranya seorang perempuan....?” katanya perlahan.
Sebelum Pek In dapat turun tangan atau bicara lagi, tiba-tiba Si Tinggi Besar itu dan beberapa orang kawannya membuat gerakan minggir dan terdengar suara yang tenang dan halus,
“Ah, kiranya keluarga Lembah Suling Emas yang berada di sini!”
Pek In tidak jadi menyerang Si Tinggi Besar dan cepat mundur kembali mendekati paman dan bibinya dan Hong Bu ketika mengenal siapa yang mengeluarkan suara itu.
Nampak empat orang berjalan perlahan memasuki kepungan itu dan ternyata mereka itu adalah Toa-ok Su Lo Ti, Ji-ok Kui-bin Nio-nio, Sam-ok Ban Hwa Sengjin, dan orang ke empat adalah seorang kakek raksasa yang rambutnya sudah putih semua dan pakaiannya serba hitam, membawa sebuah kipas merah dan mengipasi lehernya tanpa bicara, akan tetapi jelas memiliki sikap yang amat berwibawa. Cu Kang Bu, isterinya, dan Pek In tidak mengenal kakek ini, akan tetapi Sim Hong Bu terkejut bukan main ketika mengenal bahwa kakek berpakaian hitam itu bukan lain adalah Hek-i Mo-ong, manusia iblis yang pernah menjadi ketua perkumpulan iblis Hek-i-mo itu!”
Sementara itu, ketika Hek-i Mo-ong melihat Hong Bu, wajahnya berubah. Tadinya, kakek ini sama sekali tidak tertarik dan amat memandang rendah kepada orang-orang yang hendak dihukum oleh Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok. Akan tetapi begitu dia melihat Hong Bu, tentu saja dia mengenal musuh besar yang pernah menghancurkan perkumpulannya bersama seorang gadie bersuling emas dengan suhengnya yang lihai bukan main itu. Dia merasa glrang bukan main, merasa bahwa secara kebetulan dia dapat membalas dendam atas kekalahannya dikeroyok tempo hari.
“Ha-ha-ha, kiranya engkau bocah setan datang mengantar nyawa!” katanya sambil menudingkan kipasnya, ke arah muka Sim Hong Bu. Melihat lagak ini, Pek In yang tidak mengenal lagak Hek-i Mo-ong, menjadi marah. Tunangan atau kekasihnya dimaki orang bocah setan, tentu saja ia marah.
“Iblis tua bermulut busuk!” katanya dan ia pun sudah mencabut sulingnya dan menyerang.
“Sumoi, jangan....!” teriak Hong Bu dan cepat dia melompat ke depan.
Akan tetapi, suling itu telah mengeluarkan suara melengking ketika menyambar ke arah kakek itu, berubah menjadi sinar kuning emas. Melihat gadis ini menggunakan senjata suling emas, kakek itu terkejut dan mengira bahwa tentu gadis ini mempunyai hubungan dengan gadis yang pernah mengalahkannya bersama pemuda berpedang biru itu. Maka ia pun menggunakan lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga karena kalau gadis ini selihai gadis yang dulu pernah mengeroyoknya, serangan itu cukup berbahaya.
“Dukkk....!”
Dan akibatnya, tubuh Pek In terlempar dan tentu ia akan terbanting keras kalau saja pamannya, Cu Kang Bu, tidak cepat mengulurkan tangan dan menangkap tangan keponakannya itu, terus dilontarkan ke atas sehingga Pek In dapat turun dengan enak, tidak sampai terbanting, Pek In terkejut bukan main, dan kakek itu tertawa. Kiranya gadis itu masih amat lemah, sebaliknya laki-laki tinggi besar yang amat gagah perkasa itu cukup lihai. Hal ini dapat dilihatnya dengan mudah ketika laki-laki itu menahan jatuhnya gadis yang terlempar.
Bagaimanakah tiga orang sisa dari Im-kan Ngo-ok itu tahu-tahu telah bisa bersekutu dengan Hek-i Mo-ong dan agaknya membantu guru silat She Koa itu? Persekutuan antara mereka tidaklah aneh karena Hek-i Mo-ong sebetulnya masih terhitung susiok (paman guru) dari Toa-ok Su Lo Ti orang pertama Im-kan Ngo-ok. Dan karena keduanya telah mengalami musibah, yaitu Im-kan Ngo-ok selain kehilangan pekerjaan atau kedudukan sebagai pendukung Sam-thaihouw juga telah kehilangan dua orang anggauta termuda yaitu Su-ok dan Ngo-ok, sedangkan Hek-i Mo-ong juga menderita kekalahan dari sepasang orang muda yang mewakili pewaris Suling Emas dan Naga Siluman sedangkan perkumpulannya diobrak-abrik, maka mereka saling membutuhkan dan saling membantu.
Setelah mengadakan pertemuan, maka mereka bersepakat untuk bekerja sama agar nama mereka dapat diangkat kembali ke dunia kang-ouw. Persekutuan mereka itu tentu saja membuat mereka merasa lebih kuat daripada sebelumnya. Tiga orang anggauta Im-kan Ngo-ok itu bagi Hek-i Mo-ong merupakan pembantu yang amat kuat dan boleh diandalkan, lebih kuat daripada semua anak buahnya yang telah diobrak-abrik oleh Sim Hong Bu, Ci Sian dan Kam Hong. Sebaliknya, tentu saja bagi sisa Im-kan Ngo-ok lebih terasa lagi karena keadaan mereka berempat jauh lebih kuat daripada ketika mereka masih berlima! Akan tetapi, urutan tingkat kepandaian mereka sekarang tentu saja mengalami perubahan, yaitu Hek-i Mo-ong berada paling atas dan Toa-ok menjadi orang ke dua!
Biarpun merasa diri mereka kuat, akan tetapi melihat betapa Pangeran Kian Liong yang bijaksana dan didukung oleh semua pendekar perkasa itu telah menjadi kaisar dan mengambil sikap tangan besi terhadap orang-orang golongan sesat, maka untuk sementara empat orang datuk ini tidak berani menonjolkan diri mereka. Dan mereka menemukan tempat persembunyian sementara yang amat baik, yaitu di tempat perguruan Koa Cin Gu, yang baru beberapa tahun bekerja membuka perguruan sebagai seorang guru silat. Koa Cin Gu yang tinggal di Lok-yang ini adalah seorang kenalan baik dari Sam-ok Ban Hwa Sengjin dan merupakan orang yang sudah amat dipercaya.
Demikianlah keadaan para datuk itu mengapa mereka dapat bersekutu dan mengapa mereka membantu Koa-kauwsu. Guru silat ini dan anak buahnya atau murid-muridnya merupakan pembantu-pembantu untuk menyelidiki keadaan di kota raja dan kota-kota besar bagi para datuk ini. Oleh karena itu, ketika pada suatu hari Koa Cin Gu pulang dengan lengan kiri patah, mereka terkejut sekali.
Koa-kauwsu menyuruh para kaki tangannya membayangi dan menyelidiki keadaan “pemuda” itu. Sam-ok sendiri melakukan penyelidikan dan ketika melihat bahwa yang disebut pemuda oleh Koa Cin Gu itu adalah Cu Pek In puteri majikan Lembah Suling Emas, bersama Cu Kang Bu yang dikenalnya sebagai pendekar dan penghuni Lembah Suling Emas, dan juga isteri pendekar itu, Sam-ok terkejut bukan main dan itulah sebabnya mengapa Koa Cin Gu muncul bersama empat orang datuk itu!
“Lembah Suling Emas merupakan tempat rahasia di Pegunungan Himalaya,” kata Sam-Ok, terutama kepada Hek-i Mo-ong, “Dan di sana terkumpul banyak pusaka-pusaka yang tak ternilai harganya. Bahkan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang dihebohkan itu pun dicuri oleh penghuni lembah itu. Mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan kalau kita dapat menahan tiga orang ini sebagai sandera tentu kita akan dapat memaksa mereka untuk menyerahkan pusaka-pusaka itu, terutama Koai-liong Po-kiam kepada kita.”
Ji-ok dan Toa-ok tentu saja merasa setuju sekali. Mereka berbesar hati dan timbul keberanian mereka untuk memusuhi para penghuni Lembah Suling Emas setelah kini Hek-i Mo-ong menjadi sekutu mereka.
Hek-i Mo-ong hanya mengangguk-angguk. Orang yang setua dia sebetulnya sudah tidak ingin lagi untuk memperoleh pusaka-pusaka, dan dia sudah terlalu mengagulkan diri sendiri sehingga dia menganggap bahwa tanpa merampas pusaka orang lain sekalipun dia tidak mempunyai tandingan lagi di dunia ini. Akan tetapi untuk menyenangkan hati tiga orang pembantu barunya itu, yang dianggapnya juga sebagai keponakan-keponakan muridnya, dia menyetujui untuk bersama mereka menghadang perjalanan tiga orang itu.
Dan dapat dibayangkan betapa kaget dan juga girangnya ketika dia melihat bahwa musuh besarnya pemuda yang pernah mengeroyoknya bersama dara bersenjata suling emas, ternyata berada pula dalam rombongan keluarga Lembah Suling Emas itu!
Demikianlah, empat orang datuk itu kini berhadapan dengan empat orang pendekar dari Lembah Suling Emas yang telah berubah sebutannya menjadi Lembah Naga Siluman itu.
“Hek-i Mo-ong, bagus bahwa engkau masih hidup! Kini aku dapat menyempurnakan usahaku untuk membunuhmu!” kata Sim Hong Bu, ucapan yang sengaja dikeluarkan untuk memberi tahu kepada Cu Kang Bu dan Yu Hwi bahwa kakek itu adalah Ketua Hek-i-mo yang terkenal itu.
Dan memang suami isteri ini terkejut bukan main mendengar bahwa kakek yang berpakaian serba hitam ini adalah kakek iblis yang namanya pernah menjulang tinggi dan menggetarkan dunia Kang-ouw itu.
“Ha-ha, sekali ini engkaulah yang akan mampus di tanganku, bocah setan!”
Kata kakek itu yang segera menerjang maju sambil mencabut keluar senjatanya yang amat menyeramkan, yaitu tombak Long-ge-pang (Gigi Srigala). Dia memegang tombak itu di tangan kanan dan dibantu kipas merah di tangan kirinya, menyerang sambil tertawa nyaring, suara ketawa yang mengandung khi-kang amat kuatnya.
“Trang-trang-trang....!”
“Wuuuuttt.... cringggg....!”
Dalam segebrakan saja, mereka telah saling serang dengan hebatnya dan sinar kebiruan dari Koai-liong Po-kiam menyilaukan mata. Melihat bahwa pemuda itu mempergunakan pedang pusaka yang membuat mereka dahulu ikut pula memperebutkannya, tiga orang dari Im-kan Ngo-ok menjadi girang sekali dan mereka pun sudah bergerak maju. Tentu saja Cu Kang Bu dan Yu Hwi cepat menyambut mereka, juga Cu Pek In sudah mempergunakan sulingnya untuk membantu paman dan bibinya.
Empat orang itu bersikap tenang, bahkan Hong Bu tersenyum mengejek dengan hati terasa geli. Orang-orang ini mencari penyakit, pikirnya. Akan tetapi sedikit pun hatinya tidak menjadi marah. Kemarahan jauh dari hati Hong Bu pada saat itu. Dia telah menemukan kesejukan hati yang baru, setelah dia “mengenal” Pek In sebagai seorang gadis yang wajar, sebagai kekasihnya, bahkan lebih dari itu, sebagai tunangannya, calon isterinya! Dan di dalam perjalanan itu, Cu Kang Bu dan isterinya yang bijaksana memang sengaja memberi banyak kesempatan kepada mereka untuk berduaan. Hong Bu selalu merasa gembira dan bahagia. Terlupakanlah sudah kegetiran yang terasa oleh penolakan Ci Sian!
Memang, segala macam perasaan hanya timbul oleh permainan pikiran yang mengingat-ingat belaka. Seperti juga kepuasan yang hanya sebentar, kekecewaan pun lewat bagai angin lalu saja. Suka dan duka silih berganti seperti awan-awan bergerak di angkasa.
Ketika Hong Bu merasa kecewa dan berduka karena penolakan Ci Sian, hal itu timbul karena pikirannya mengenang semua itu dan menimbulkan rasa iba diri dan kecewa.
Akan tetapi sekarang, begitu pikirnya penuh dengan kegembiraan karena hasil baru yang amat menyenangkan dan baik dalam hubungannya dengan Pek In, maka semua kedukaan yang lalu pun lenyap tanpa bekas. Kita ini, biarpun sudah dewasa, namun masih tiada bedanya dengan anak-anak, hanya badan kita saja yang bertumbuh menjadi besar, kita masih mudah tertawa dan menangis, seperti kanak-kanak yang mudah tertawa memperoleh permainan baru dan mudah menangis karena kehilangan sesuatu yang disenanginya. Akan tetapi setiap muncul pengganti yang baru, yang lama, baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan, akan terlupa dan hilang tak berbekas. Yang berbeda hanyalah macam permainan itu saja.
Biasanya, kita manusia, di ujung dunia yang manapun juga, selalu mengejar-ngejar pengulangan kesenangan atau mencari keadaan yang lebih menyenangkan atau dianggap lebih menyenangkan lagi, selalu mencoba untuk menjauhi atau menghindari apa saja yang dianggap menyusahkan. Kita ingin hidup ini penuh dengan yang manis-manis saja.
Kita lupa bahwa selama kita mendambakan yang manis, maka akan bermunculanlah yang pahit, yang getir, yang masam dan sebagainya karena semua itu muncul apabila yang manis dan kita dambakan itu tidak tercapai. Itulah romantika hidup. Ya manis, ya pahit, ya getir. Semua itu merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, yang menjadi isi daripada kehidupan kita sekarang ini. Mengapa kita tidak menerima semua itu secara wajar saja?
Mengapa mesti bersenang kalau mendapatkan yang manis akan tetapi mengeluh kalau memperoleh yang pahit? Kalau kita menghadapinya dengan pengamatan mendalam, tanpa penilaian si pikiran yang mencari manis selalu, mungkin kita akan melihat sesuatu yang ajaib. Benar pahitkah yang kita anggap pahit itu dan benar maniskah yang kita anggap manis? Apakah akan terasa nikmatnya manis kalau kita tidak merasakan tidak enaknya pahit? Apakah kita dapat mengenal terang kalau kita tidak mengenal gelap?
Melihat munculnya belasan orang yang memegang senjata golok dan pedang lalu mengepung tempat itu, Yu Hwi juga tersenyum lebar seperti melihat sesuatu yang lucu sekali. Akan tetapi tidak demikian dengan Cu Pek In. Gadis ini mengenal seorang di antara mereka, yaitu orang yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam, usianya sekitar empat puluh tahun, berkumis tebal melintang dan lengan kiri orang itu masih dibalut.
Orang itu bukan lain adalah Koa Cin Gu, guru silat dari Lo-couw yang lebih suka pria tampan daripada wanita cantik itu! Maka, melihat orang ini, marahlah Pek In.
“Orang she Koa yang tidak tahu malu! Sudah kupatahkan lengan kirimu engkau masih berani datang berlagak, apakah harus kupatahkan tulang lehermu?” Sambil berkata demikian, Cu Pek In melangkah maju ke arah laki-laki tinggi besar itu.
Si Tinggi Besar itu terbelalak. Tentu saja dia tidak mengenal Pek In sebelum dara ini membuka suara dan sekarang dia memandang, dengan mata terbelalak,
“Ah, kiranya seorang perempuan....?” katanya perlahan.
Sebelum Pek In dapat turun tangan atau bicara lagi, tiba-tiba Si Tinggi Besar itu dan beberapa orang kawannya membuat gerakan minggir dan terdengar suara yang tenang dan halus,
“Ah, kiranya keluarga Lembah Suling Emas yang berada di sini!”
Pek In tidak jadi menyerang Si Tinggi Besar dan cepat mundur kembali mendekati paman dan bibinya dan Hong Bu ketika mengenal siapa yang mengeluarkan suara itu.
Nampak empat orang berjalan perlahan memasuki kepungan itu dan ternyata mereka itu adalah Toa-ok Su Lo Ti, Ji-ok Kui-bin Nio-nio, Sam-ok Ban Hwa Sengjin, dan orang ke empat adalah seorang kakek raksasa yang rambutnya sudah putih semua dan pakaiannya serba hitam, membawa sebuah kipas merah dan mengipasi lehernya tanpa bicara, akan tetapi jelas memiliki sikap yang amat berwibawa. Cu Kang Bu, isterinya, dan Pek In tidak mengenal kakek ini, akan tetapi Sim Hong Bu terkejut bukan main ketika mengenal bahwa kakek berpakaian hitam itu bukan lain adalah Hek-i Mo-ong, manusia iblis yang pernah menjadi ketua perkumpulan iblis Hek-i-mo itu!”
Sementara itu, ketika Hek-i Mo-ong melihat Hong Bu, wajahnya berubah. Tadinya, kakek ini sama sekali tidak tertarik dan amat memandang rendah kepada orang-orang yang hendak dihukum oleh Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok. Akan tetapi begitu dia melihat Hong Bu, tentu saja dia mengenal musuh besar yang pernah menghancurkan perkumpulannya bersama seorang gadie bersuling emas dengan suhengnya yang lihai bukan main itu. Dia merasa glrang bukan main, merasa bahwa secara kebetulan dia dapat membalas dendam atas kekalahannya dikeroyok tempo hari.
“Ha-ha-ha, kiranya engkau bocah setan datang mengantar nyawa!” katanya sambil menudingkan kipasnya, ke arah muka Sim Hong Bu. Melihat lagak ini, Pek In yang tidak mengenal lagak Hek-i Mo-ong, menjadi marah. Tunangan atau kekasihnya dimaki orang bocah setan, tentu saja ia marah.
“Iblis tua bermulut busuk!” katanya dan ia pun sudah mencabut sulingnya dan menyerang.
“Sumoi, jangan....!” teriak Hong Bu dan cepat dia melompat ke depan.
Akan tetapi, suling itu telah mengeluarkan suara melengking ketika menyambar ke arah kakek itu, berubah menjadi sinar kuning emas. Melihat gadis ini menggunakan senjata suling emas, kakek itu terkejut dan mengira bahwa tentu gadis ini mempunyai hubungan dengan gadis yang pernah mengalahkannya bersama pemuda berpedang biru itu. Maka ia pun menggunakan lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga karena kalau gadis ini selihai gadis yang dulu pernah mengeroyoknya, serangan itu cukup berbahaya.
“Dukkk....!”
Dan akibatnya, tubuh Pek In terlempar dan tentu ia akan terbanting keras kalau saja pamannya, Cu Kang Bu, tidak cepat mengulurkan tangan dan menangkap tangan keponakannya itu, terus dilontarkan ke atas sehingga Pek In dapat turun dengan enak, tidak sampai terbanting, Pek In terkejut bukan main, dan kakek itu tertawa. Kiranya gadis itu masih amat lemah, sebaliknya laki-laki tinggi besar yang amat gagah perkasa itu cukup lihai. Hal ini dapat dilihatnya dengan mudah ketika laki-laki itu menahan jatuhnya gadis yang terlempar.
Bagaimanakah tiga orang sisa dari Im-kan Ngo-ok itu tahu-tahu telah bisa bersekutu dengan Hek-i Mo-ong dan agaknya membantu guru silat She Koa itu? Persekutuan antara mereka tidaklah aneh karena Hek-i Mo-ong sebetulnya masih terhitung susiok (paman guru) dari Toa-ok Su Lo Ti orang pertama Im-kan Ngo-ok. Dan karena keduanya telah mengalami musibah, yaitu Im-kan Ngo-ok selain kehilangan pekerjaan atau kedudukan sebagai pendukung Sam-thaihouw juga telah kehilangan dua orang anggauta termuda yaitu Su-ok dan Ngo-ok, sedangkan Hek-i Mo-ong juga menderita kekalahan dari sepasang orang muda yang mewakili pewaris Suling Emas dan Naga Siluman sedangkan perkumpulannya diobrak-abrik, maka mereka saling membutuhkan dan saling membantu.
Setelah mengadakan pertemuan, maka mereka bersepakat untuk bekerja sama agar nama mereka dapat diangkat kembali ke dunia kang-ouw. Persekutuan mereka itu tentu saja membuat mereka merasa lebih kuat daripada sebelumnya. Tiga orang anggauta Im-kan Ngo-ok itu bagi Hek-i Mo-ong merupakan pembantu yang amat kuat dan boleh diandalkan, lebih kuat daripada semua anak buahnya yang telah diobrak-abrik oleh Sim Hong Bu, Ci Sian dan Kam Hong. Sebaliknya, tentu saja bagi sisa Im-kan Ngo-ok lebih terasa lagi karena keadaan mereka berempat jauh lebih kuat daripada ketika mereka masih berlima! Akan tetapi, urutan tingkat kepandaian mereka sekarang tentu saja mengalami perubahan, yaitu Hek-i Mo-ong berada paling atas dan Toa-ok menjadi orang ke dua!
Biarpun merasa diri mereka kuat, akan tetapi melihat betapa Pangeran Kian Liong yang bijaksana dan didukung oleh semua pendekar perkasa itu telah menjadi kaisar dan mengambil sikap tangan besi terhadap orang-orang golongan sesat, maka untuk sementara empat orang datuk ini tidak berani menonjolkan diri mereka. Dan mereka menemukan tempat persembunyian sementara yang amat baik, yaitu di tempat perguruan Koa Cin Gu, yang baru beberapa tahun bekerja membuka perguruan sebagai seorang guru silat. Koa Cin Gu yang tinggal di Lok-yang ini adalah seorang kenalan baik dari Sam-ok Ban Hwa Sengjin dan merupakan orang yang sudah amat dipercaya.
Demikianlah keadaan para datuk itu mengapa mereka dapat bersekutu dan mengapa mereka membantu Koa-kauwsu. Guru silat ini dan anak buahnya atau murid-muridnya merupakan pembantu-pembantu untuk menyelidiki keadaan di kota raja dan kota-kota besar bagi para datuk ini. Oleh karena itu, ketika pada suatu hari Koa Cin Gu pulang dengan lengan kiri patah, mereka terkejut sekali.
Koa-kauwsu menyuruh para kaki tangannya membayangi dan menyelidiki keadaan “pemuda” itu. Sam-ok sendiri melakukan penyelidikan dan ketika melihat bahwa yang disebut pemuda oleh Koa Cin Gu itu adalah Cu Pek In puteri majikan Lembah Suling Emas, bersama Cu Kang Bu yang dikenalnya sebagai pendekar dan penghuni Lembah Suling Emas, dan juga isteri pendekar itu, Sam-ok terkejut bukan main dan itulah sebabnya mengapa Koa Cin Gu muncul bersama empat orang datuk itu!
“Lembah Suling Emas merupakan tempat rahasia di Pegunungan Himalaya,” kata Sam-Ok, terutama kepada Hek-i Mo-ong, “Dan di sana terkumpul banyak pusaka-pusaka yang tak ternilai harganya. Bahkan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang dihebohkan itu pun dicuri oleh penghuni lembah itu. Mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan kalau kita dapat menahan tiga orang ini sebagai sandera tentu kita akan dapat memaksa mereka untuk menyerahkan pusaka-pusaka itu, terutama Koai-liong Po-kiam kepada kita.”
Ji-ok dan Toa-ok tentu saja merasa setuju sekali. Mereka berbesar hati dan timbul keberanian mereka untuk memusuhi para penghuni Lembah Suling Emas setelah kini Hek-i Mo-ong menjadi sekutu mereka.
Hek-i Mo-ong hanya mengangguk-angguk. Orang yang setua dia sebetulnya sudah tidak ingin lagi untuk memperoleh pusaka-pusaka, dan dia sudah terlalu mengagulkan diri sendiri sehingga dia menganggap bahwa tanpa merampas pusaka orang lain sekalipun dia tidak mempunyai tandingan lagi di dunia ini. Akan tetapi untuk menyenangkan hati tiga orang pembantu barunya itu, yang dianggapnya juga sebagai keponakan-keponakan muridnya, dia menyetujui untuk bersama mereka menghadang perjalanan tiga orang itu.
Dan dapat dibayangkan betapa kaget dan juga girangnya ketika dia melihat bahwa musuh besarnya pemuda yang pernah mengeroyoknya bersama dara bersenjata suling emas, ternyata berada pula dalam rombongan keluarga Lembah Suling Emas itu!
Demikianlah, empat orang datuk itu kini berhadapan dengan empat orang pendekar dari Lembah Suling Emas yang telah berubah sebutannya menjadi Lembah Naga Siluman itu.
“Hek-i Mo-ong, bagus bahwa engkau masih hidup! Kini aku dapat menyempurnakan usahaku untuk membunuhmu!” kata Sim Hong Bu, ucapan yang sengaja dikeluarkan untuk memberi tahu kepada Cu Kang Bu dan Yu Hwi bahwa kakek itu adalah Ketua Hek-i-mo yang terkenal itu.
Dan memang suami isteri ini terkejut bukan main mendengar bahwa kakek yang berpakaian serba hitam ini adalah kakek iblis yang namanya pernah menjulang tinggi dan menggetarkan dunia Kang-ouw itu.
“Ha-ha, sekali ini engkaulah yang akan mampus di tanganku, bocah setan!”
Kata kakek itu yang segera menerjang maju sambil mencabut keluar senjatanya yang amat menyeramkan, yaitu tombak Long-ge-pang (Gigi Srigala). Dia memegang tombak itu di tangan kanan dan dibantu kipas merah di tangan kirinya, menyerang sambil tertawa nyaring, suara ketawa yang mengandung khi-kang amat kuatnya.
“Trang-trang-trang....!”
“Wuuuuttt.... cringggg....!”
Dalam segebrakan saja, mereka telah saling serang dengan hebatnya dan sinar kebiruan dari Koai-liong Po-kiam menyilaukan mata. Melihat bahwa pemuda itu mempergunakan pedang pusaka yang membuat mereka dahulu ikut pula memperebutkannya, tiga orang dari Im-kan Ngo-ok menjadi girang sekali dan mereka pun sudah bergerak maju. Tentu saja Cu Kang Bu dan Yu Hwi cepat menyambut mereka, juga Cu Pek In sudah mempergunakan sulingnya untuk membantu paman dan bibinya.
0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 191"
Posting Komentar