Koai-tung Sin-kai Bhok Sun berkata dengan nada suara tidak senang, juga tangannya mendorong ke arah See-thian Coa-ong. Biarpun tangan kanannya hanya mendorong biasa saja, namun keluarlah angin pukulan yang amat dahsyat menyambar ke arah Raja Ular.
“Hemm, belum tentu dia suka menjadi muridmu, jembel tua!” jawab See-thian Coa-ong dan kakek inipun menggerakkan lengan menangkis.
“Dukkk....!”
Orang-orang yang berada agak dekat dengan tempat itu merasakan betapa hebatnya getaran yang ditimbulkan oleh adu tenaga melalui lengan itu dan kedua orang kakek yang saling mengadu lengan itupun tergetar mundur dua langkah, masing-masing terkejut melihat kekuatan lawan.
“Bocah itu cucu keluarga Pulau Es, harus dibunuh!”
Teriakan seorang di antara para tokoh kaum sesat yang mendendam kepada keluarga Pulau Es ini merupakan minyak yang disiramkan kepada api kemarahan dan dendam di antara kaum sesat sehingga merekapun berteriak-teriak, mencabut senjata dan menyerbu untuk membunuh Ceng Liong yang masih bergantung dengan jungkir balik.
Sejak tadi Ceng Liong membuka mata dan telinga, mendengar dan melihat dengan jelas segala yang terjadi di sekelilingnya. Dia tidak merasa terkejut maupun bangga ketika Koai-tung Sin-kai dan See-thian Coa-ong meraba-raba tubuhnya dan memuji-mujinya, karena kakek dan dua orang neneknya sendiri pernah mengatakan bahwa dia memiliki bakat yang baik sekali untuk ilmu silat. Justeru karena itulah maka mendiang kakeknya telah mewariskan hawa murni sumber tenaga sakti kepada dirinya. Kini dia melihat gerakan kaum sesat itu dan tahulah dia bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Akan tetapi dia tidak merasa takut, hanya membayangkan kakek dan kedua neneknya seolah-olah dia sudah menikmati bayangan akan bertemu dan berkumpul lagi dengan mereka! Tanpa memperlihatkan rasa takut sedikitpun kini Ceng Liong menjadi penonton dari keributan itu.
“Tidak boleh! Benda pusaka tidak boleh dirusak!” See-thian Coa-ong membentak dan kakek ini menghadang penyerbuan para tokoh sesat itu.
“Siapa berani mengganggu calon muridku?” Koai-tung Sin-kai juga membentak dan berdiri menghadang, melindungi Ceng Liong.
“Dia musuh besar! Bunuh!”
“Semua keluarga Pulau Es harus dibasmi! Serbu....!”
Dan dua puluh orang lebih tokoh-tokoh sesat sudah menyerbu! See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai menyambut mereka dengan tendangan sehingga terjadilah pertempuran yang seru. Dua orang kakek itu memang amat lihai sehingga dalam beberapa gebrakan saja, sudah ada empat orang tokoh sesat yang terjungkal roboh, terkena hantaman tangan Coa-ong dan kemplangan tongkat bambu Sin-kai. Akan tetapi, para pengeroyok itupun rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan aneh-aneh sehingga dua orang kakek itu mulai terdesak hebat.
Ceng Liong menonton semua ini dan diapun melirik ke arah Hek-i Mo-ong. Sungguh mengherankan sekali sikap kakek ini. Dia hanya berdiri dengan sikap tenang, bahkan tersenyum mengejek melihat perkelahian antara teman sendiri itu. Sebenarnya, kakek ini masih terpengaruh oleh pujian-pujian yang dikeluarkan oleh mulut Sin-kai dan Coa-ong tadi dan diam-diam diapun berpikir. Semua ucapan Coa-ong tadi tidak keliru. Musuh-musuhnya masih amat banyak dan mereka itu sakti-sakti. Apalagi Pendekar Suling Emas Kam Hong yang pernah mengalahkannya. Juga Naga Sakti Gurun Pasir, dan keluarga Bu-taihiap. Mungkinkah dia dapat mengalahkan mereka itu? Dan dia sudah semakin tua, dan murid-muridnya yang terpercaya sudah habis, tinggal murid-murid yang tidak ada artinya. Juga dia tidak mempunyai keturunan yang dapat membantunya, atau yang akan membalaskan kalau sampai dia kalah oleh musuh-musuhnya itu. Anak itu merupakan seorang sin-tong, seorang anak ajaib. Diapun sudah menduga akan hal itu dan kini dugaannya diperkuat oleh dua orang kakek itu. Kalau ilmunya diturunkan kepada seorang anak ajaib, tentu anak itu akan menjadi beberapa kali lipat lebih pandai daripadanya.
Anak seperti itulah yang akan dapat membelanya dan membantunya kelak! Dan alangkah senang hatinya kalau dia dapat mendidik anak ini untuk kelak dipergunakan melawan keluarga Pulau Es. Dan dia tentu dapat menguasai anak ini melalui kekuatan sihirnya!
Hek-i Mo-ong menonton sambil tersenyum mengejek melihat betapa See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai kini repot sekali menghadapi pengeroyokan belasan orang tokoh sesat itu. Namun, mereka berdua mempertahankan diri dan para pengeroyok juga tidak berani terlalu dekat karena dua orang itu memang memiliki kepandaian yang lihai sekali.
“Pengkhianat-pengkhianat busuk!”
Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan bentakan itu dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan, tombak Long-ge-pang di tangannya menyambar ke arah Koai-tung Sin-kai dan kipas merahnya menotok ke arah See-thian Coa-ong. Biarpun tombaknya ini bukan tombak pusaka aseli seperti yang biasa dipergunakan karena tombak aseli itu telah patah-patah ketika dia menyerang Pendekar Super Sakti, namun tombak biasa inipun menjadi amat ampuh dan berbahaya karena digerakkan oleh tangannya yang amat kuat.
“Tranggg....!”
Tongkat bambu itu menangkis dan suara nyaring itu adalah suara tombak yang tertangkis. Ini saja membuktikan betapa hebatnya tenaga kakek pengemis yang membuat tongkat bambu itu menjadi keras dan kuat menangkis tombak baja, akan tetapi akibatnya, tubuh kakek pengemis itu terpelanting dan nyaris kepalanya kena bacokan golok seorang tokoh sesat kalau dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya dan mengangkat tongkatnya menangkis lalu meloncat bangun lagi.
“Brettt....!”
Totokan gagang kipas merah yang dilakukan oleh Hek-i Mo-ong tadi dapat dielakkan oleh See-thian Coa-ong, akan tetapi tetap saja ujung cawatnya terobek sehingga cawat yang merupakan satu-satunya kain penutup tubuhnya itu hampir terlepas. Tentu saja See-thian Coa-ong terkejut dan cepat meloncat, menjauhi Hek-i Mo-ong sambil membereskan lagi cawatnya. See-thian Coa-ong maklum bahwa dia tidak akan menang melawan Hek-i Mo-ong, maka diapun sudah meloncat jauh dan sambil lari meninggalkan tempat itu dia berkata,
“Raja Iblis, silahkan kalau engkau mau membunuh anak itu. Akan tetapi hal itu hanya membuktikan kebodohanmu!”
Koai-tung Sin-kai juga sudah menjauhkan diri.
“Engkau akan menyesal kalau membunuh sin-tong itu, Mo-ong! Betapa tololnya merusak benda pusaka!”
Dan diapun melarikan diri menyeret tongkat bambunya karena maklum bahwa melanjutkan usahanya melindungi anak yang amat dikaguminya itu, melawan Hek-i Mo-ong dan para tokoh sesat itu sama artinya dengan bunuh diri.
“Bunuh bocah setan itu!”
Kini para tokoh sesat maju menyerbu karena mereka marah melihat betapa teman-teman mereka ada yang roboh terluka parah oleh dua orang kakek tadi yang melindungi Ceng Liong.
“Bunuh keturunan Pulau Es!”
Enam orang tokoh sesat menerjang dengan senjata mereka, agaknya saking marah dan sakit hati, mereka itu tidak lagi mengenal malu dan melakukan pengeroyokan terhadap seorang anak kecil yang sudah tergantung tak berdaya. Agaknya sebelum mencincang tubuh anak itu mereka takkan merasa puas.
Seperti juga tadi, menghadapi serangan enam orang ini, melihat berkelebatnya sinar senjata dari semua jurusan, Ceng Liong membelalakkan matanya dengan penuh keberanian. Dia memang ingin menyambut kematian dengan mata terbuka, seperti yang sering dianjurkan oleh neneknya, yaitu nenek Nirahai bahwa seorang pendekar harus selalu tenang dan tabah, bahkan menghadapi kematian sekalipun harus berani menyambut kematian dengan mata terbuka! Maka sekarang diapun membelalakkan matanya, ingin mati dalam keadaan melek!
Akan tetapi dia melihat sinar terang berkelebatan di sekeliling dirinya dan melihat enam orang itu terpelanting ke kanan kiri, senjata mereka terlempar setelah mengeluarkan bunyi nyaring dan merekapun mengaduh-aduh karena tangkisan-tangkisan itu membuat mereka roboh dan terluka. Kiranya, dalam keadaan yang amat gawat bagi keselamatan Ceng Liong itu, Hek-i Mo-ong telah turun tangan menangkis dan langsung balas menyerang kepada enam orang itu sehingga mereka roboh terluka. Semua tokoh sesat tentu saja terkejut sekali dan memandang kepada Hek-i Mo-ong dengan mata melotot.
“Dia ini tawananku, dia ini milikku! Siapapun tidak boleh mengganggunya dan yang boleh menentukan mati hidupmya hanya aku seorang!” Hek-i Mo-ong membentak sambil melintangkan tombak Long-ge-pang yang amat hebat itu.
“Tapi, Mo-ong, engkau harus segera membunuh bocah keturunan Pulau Es ini agar kelak dia tidak akan menyusahkan kita!” terdengar beberapa orang tokoh memprotes.
“Dengarlah kalian, semua kawan-kawan!” Hek-i Mo-ong berteriak nyaring.
“Akulah orangnya yang telah melakukan penyerbuan ke Pulau Es dan berhasil. Tawanan ini adalah milikku dan akulah yang berhak menentukan apa yang akan kulakukan dengan dirinya!”
Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar dia lalu menghampiri tubuh Ceng Liong yang masih tergantung jungkir balik itu.
Ceng Liong telah menyaksikan semua itu dan dia tahu bahwa sudah dua kali nyawanya tertolong oleh Hek-i Mo-ong. Dia teringat akan nasihat mendiang kakeknya, Pendekar Super Sakti Suma Han bahwa seorang manusia harus mengingat budi orang dan melupakan dendam. Maka ketika kakek iblis itu mendekat, pandang matanya terhadap kakek itupun ramah. Hal ini terasa benar oleh Hek-i Mo-ong, maka kakek ini bertanya kasar,
“Mau apa engkau memandangku dengan senyum-senyum?”
“Hek-i Mo-ong, aku berhutang nyawa dua kali padamu,” jawab Ceng Liong.
Orang seperti iblis ini mana memperdulikan tentang budi? Dia hanya mendengus dan tiba-tiba dia menggerakkan kipasnya dan gagang kipas itu menotok jalan darah di pundak kanan anak itu. Dia menotok bukan untuk membunuh melainkan untuk menyiksa.
Totokan pada jalan darah itu akan mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa dan dia memang ingin memaksa anak ini melolong-lolong kesakitan. Sikap anak ini yang begitu keras dan berani dianggapnya sebagai tantangan dan dia ingin memperlihatkan kepada semua orang bahwa dia seoranglah yang akan mampu menundukkan anak ini.
“Tukk....!”
Raja Iblis itu terkejut dan hampir saja dia berteriak kalau dia tidak ingat bahwa di situ terdapat banyak orang. Dia menelan kekagetannya agar semua orang tidak tahu apa yang telah terjadi. Bagaimana dia tidak menjadi kaget sekali kalau jari tangannya ketika menotok pundak itu bertemu dengan hawa sin-kang yang amat kuat, yang menolak tenaga totokannya, membuat pundak itu seperti dilindungi oleh kulit yang amat kuat dan kebal? Akan tetapi Ceng Liong nampaknya tidak tahu akan hal ini!
Memang sesungguhnyalah. Sumber tenaga sakti yang berada di tubuhnya telah bekerja sedemikian kuatnya ketika dia tergantung jungkir balik itu, yang membuat panca inderanya menjadi amat tajam dan peka, akan tetapi juga membuat tenaga sin-kang di tubuhnya itu secara otomatis bergerak sendiri ketika tubuhnya diserang dan dapat melindunginya. Dan semua ini terjadi di luar kesadaran Ceng Liong. Anak ini bahkan tidak tahu bahwa dirinya baru saja ditotok dan kakek iblis itu bermaksud untuk menyiksanya. Dia hanya merasa betapa pundaknya disentuh dan sentuhan ini dianggapnya sebagai sikap bersahabat dari kakek itu kepadanya.
“Hemm, belum tentu dia suka menjadi muridmu, jembel tua!” jawab See-thian Coa-ong dan kakek inipun menggerakkan lengan menangkis.
“Dukkk....!”
Orang-orang yang berada agak dekat dengan tempat itu merasakan betapa hebatnya getaran yang ditimbulkan oleh adu tenaga melalui lengan itu dan kedua orang kakek yang saling mengadu lengan itupun tergetar mundur dua langkah, masing-masing terkejut melihat kekuatan lawan.
“Bocah itu cucu keluarga Pulau Es, harus dibunuh!”
Teriakan seorang di antara para tokoh kaum sesat yang mendendam kepada keluarga Pulau Es ini merupakan minyak yang disiramkan kepada api kemarahan dan dendam di antara kaum sesat sehingga merekapun berteriak-teriak, mencabut senjata dan menyerbu untuk membunuh Ceng Liong yang masih bergantung dengan jungkir balik.
Sejak tadi Ceng Liong membuka mata dan telinga, mendengar dan melihat dengan jelas segala yang terjadi di sekelilingnya. Dia tidak merasa terkejut maupun bangga ketika Koai-tung Sin-kai dan See-thian Coa-ong meraba-raba tubuhnya dan memuji-mujinya, karena kakek dan dua orang neneknya sendiri pernah mengatakan bahwa dia memiliki bakat yang baik sekali untuk ilmu silat. Justeru karena itulah maka mendiang kakeknya telah mewariskan hawa murni sumber tenaga sakti kepada dirinya. Kini dia melihat gerakan kaum sesat itu dan tahulah dia bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Akan tetapi dia tidak merasa takut, hanya membayangkan kakek dan kedua neneknya seolah-olah dia sudah menikmati bayangan akan bertemu dan berkumpul lagi dengan mereka! Tanpa memperlihatkan rasa takut sedikitpun kini Ceng Liong menjadi penonton dari keributan itu.
“Tidak boleh! Benda pusaka tidak boleh dirusak!” See-thian Coa-ong membentak dan kakek ini menghadang penyerbuan para tokoh sesat itu.
“Siapa berani mengganggu calon muridku?” Koai-tung Sin-kai juga membentak dan berdiri menghadang, melindungi Ceng Liong.
“Dia musuh besar! Bunuh!”
“Semua keluarga Pulau Es harus dibasmi! Serbu....!”
Dan dua puluh orang lebih tokoh-tokoh sesat sudah menyerbu! See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai menyambut mereka dengan tendangan sehingga terjadilah pertempuran yang seru. Dua orang kakek itu memang amat lihai sehingga dalam beberapa gebrakan saja, sudah ada empat orang tokoh sesat yang terjungkal roboh, terkena hantaman tangan Coa-ong dan kemplangan tongkat bambu Sin-kai. Akan tetapi, para pengeroyok itupun rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan aneh-aneh sehingga dua orang kakek itu mulai terdesak hebat.
Ceng Liong menonton semua ini dan diapun melirik ke arah Hek-i Mo-ong. Sungguh mengherankan sekali sikap kakek ini. Dia hanya berdiri dengan sikap tenang, bahkan tersenyum mengejek melihat perkelahian antara teman sendiri itu. Sebenarnya, kakek ini masih terpengaruh oleh pujian-pujian yang dikeluarkan oleh mulut Sin-kai dan Coa-ong tadi dan diam-diam diapun berpikir. Semua ucapan Coa-ong tadi tidak keliru. Musuh-musuhnya masih amat banyak dan mereka itu sakti-sakti. Apalagi Pendekar Suling Emas Kam Hong yang pernah mengalahkannya. Juga Naga Sakti Gurun Pasir, dan keluarga Bu-taihiap. Mungkinkah dia dapat mengalahkan mereka itu? Dan dia sudah semakin tua, dan murid-muridnya yang terpercaya sudah habis, tinggal murid-murid yang tidak ada artinya. Juga dia tidak mempunyai keturunan yang dapat membantunya, atau yang akan membalaskan kalau sampai dia kalah oleh musuh-musuhnya itu. Anak itu merupakan seorang sin-tong, seorang anak ajaib. Diapun sudah menduga akan hal itu dan kini dugaannya diperkuat oleh dua orang kakek itu. Kalau ilmunya diturunkan kepada seorang anak ajaib, tentu anak itu akan menjadi beberapa kali lipat lebih pandai daripadanya.
Anak seperti itulah yang akan dapat membelanya dan membantunya kelak! Dan alangkah senang hatinya kalau dia dapat mendidik anak ini untuk kelak dipergunakan melawan keluarga Pulau Es. Dan dia tentu dapat menguasai anak ini melalui kekuatan sihirnya!
Hek-i Mo-ong menonton sambil tersenyum mengejek melihat betapa See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai kini repot sekali menghadapi pengeroyokan belasan orang tokoh sesat itu. Namun, mereka berdua mempertahankan diri dan para pengeroyok juga tidak berani terlalu dekat karena dua orang itu memang memiliki kepandaian yang lihai sekali.
“Pengkhianat-pengkhianat busuk!”
Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan bentakan itu dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan, tombak Long-ge-pang di tangannya menyambar ke arah Koai-tung Sin-kai dan kipas merahnya menotok ke arah See-thian Coa-ong. Biarpun tombaknya ini bukan tombak pusaka aseli seperti yang biasa dipergunakan karena tombak aseli itu telah patah-patah ketika dia menyerang Pendekar Super Sakti, namun tombak biasa inipun menjadi amat ampuh dan berbahaya karena digerakkan oleh tangannya yang amat kuat.
“Tranggg....!”
Tongkat bambu itu menangkis dan suara nyaring itu adalah suara tombak yang tertangkis. Ini saja membuktikan betapa hebatnya tenaga kakek pengemis yang membuat tongkat bambu itu menjadi keras dan kuat menangkis tombak baja, akan tetapi akibatnya, tubuh kakek pengemis itu terpelanting dan nyaris kepalanya kena bacokan golok seorang tokoh sesat kalau dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya dan mengangkat tongkatnya menangkis lalu meloncat bangun lagi.
“Brettt....!”
Totokan gagang kipas merah yang dilakukan oleh Hek-i Mo-ong tadi dapat dielakkan oleh See-thian Coa-ong, akan tetapi tetap saja ujung cawatnya terobek sehingga cawat yang merupakan satu-satunya kain penutup tubuhnya itu hampir terlepas. Tentu saja See-thian Coa-ong terkejut dan cepat meloncat, menjauhi Hek-i Mo-ong sambil membereskan lagi cawatnya. See-thian Coa-ong maklum bahwa dia tidak akan menang melawan Hek-i Mo-ong, maka diapun sudah meloncat jauh dan sambil lari meninggalkan tempat itu dia berkata,
“Raja Iblis, silahkan kalau engkau mau membunuh anak itu. Akan tetapi hal itu hanya membuktikan kebodohanmu!”
Koai-tung Sin-kai juga sudah menjauhkan diri.
“Engkau akan menyesal kalau membunuh sin-tong itu, Mo-ong! Betapa tololnya merusak benda pusaka!”
Dan diapun melarikan diri menyeret tongkat bambunya karena maklum bahwa melanjutkan usahanya melindungi anak yang amat dikaguminya itu, melawan Hek-i Mo-ong dan para tokoh sesat itu sama artinya dengan bunuh diri.
“Bunuh bocah setan itu!”
Kini para tokoh sesat maju menyerbu karena mereka marah melihat betapa teman-teman mereka ada yang roboh terluka parah oleh dua orang kakek tadi yang melindungi Ceng Liong.
“Bunuh keturunan Pulau Es!”
Enam orang tokoh sesat menerjang dengan senjata mereka, agaknya saking marah dan sakit hati, mereka itu tidak lagi mengenal malu dan melakukan pengeroyokan terhadap seorang anak kecil yang sudah tergantung tak berdaya. Agaknya sebelum mencincang tubuh anak itu mereka takkan merasa puas.
Seperti juga tadi, menghadapi serangan enam orang ini, melihat berkelebatnya sinar senjata dari semua jurusan, Ceng Liong membelalakkan matanya dengan penuh keberanian. Dia memang ingin menyambut kematian dengan mata terbuka, seperti yang sering dianjurkan oleh neneknya, yaitu nenek Nirahai bahwa seorang pendekar harus selalu tenang dan tabah, bahkan menghadapi kematian sekalipun harus berani menyambut kematian dengan mata terbuka! Maka sekarang diapun membelalakkan matanya, ingin mati dalam keadaan melek!
Akan tetapi dia melihat sinar terang berkelebatan di sekeliling dirinya dan melihat enam orang itu terpelanting ke kanan kiri, senjata mereka terlempar setelah mengeluarkan bunyi nyaring dan merekapun mengaduh-aduh karena tangkisan-tangkisan itu membuat mereka roboh dan terluka. Kiranya, dalam keadaan yang amat gawat bagi keselamatan Ceng Liong itu, Hek-i Mo-ong telah turun tangan menangkis dan langsung balas menyerang kepada enam orang itu sehingga mereka roboh terluka. Semua tokoh sesat tentu saja terkejut sekali dan memandang kepada Hek-i Mo-ong dengan mata melotot.
“Dia ini tawananku, dia ini milikku! Siapapun tidak boleh mengganggunya dan yang boleh menentukan mati hidupmya hanya aku seorang!” Hek-i Mo-ong membentak sambil melintangkan tombak Long-ge-pang yang amat hebat itu.
“Tapi, Mo-ong, engkau harus segera membunuh bocah keturunan Pulau Es ini agar kelak dia tidak akan menyusahkan kita!” terdengar beberapa orang tokoh memprotes.
“Dengarlah kalian, semua kawan-kawan!” Hek-i Mo-ong berteriak nyaring.
“Akulah orangnya yang telah melakukan penyerbuan ke Pulau Es dan berhasil. Tawanan ini adalah milikku dan akulah yang berhak menentukan apa yang akan kulakukan dengan dirinya!”
Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar dia lalu menghampiri tubuh Ceng Liong yang masih tergantung jungkir balik itu.
Ceng Liong telah menyaksikan semua itu dan dia tahu bahwa sudah dua kali nyawanya tertolong oleh Hek-i Mo-ong. Dia teringat akan nasihat mendiang kakeknya, Pendekar Super Sakti Suma Han bahwa seorang manusia harus mengingat budi orang dan melupakan dendam. Maka ketika kakek iblis itu mendekat, pandang matanya terhadap kakek itupun ramah. Hal ini terasa benar oleh Hek-i Mo-ong, maka kakek ini bertanya kasar,
“Mau apa engkau memandangku dengan senyum-senyum?”
“Hek-i Mo-ong, aku berhutang nyawa dua kali padamu,” jawab Ceng Liong.
Orang seperti iblis ini mana memperdulikan tentang budi? Dia hanya mendengus dan tiba-tiba dia menggerakkan kipasnya dan gagang kipas itu menotok jalan darah di pundak kanan anak itu. Dia menotok bukan untuk membunuh melainkan untuk menyiksa.
Totokan pada jalan darah itu akan mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa dan dia memang ingin memaksa anak ini melolong-lolong kesakitan. Sikap anak ini yang begitu keras dan berani dianggapnya sebagai tantangan dan dia ingin memperlihatkan kepada semua orang bahwa dia seoranglah yang akan mampu menundukkan anak ini.
“Tukk....!”
Raja Iblis itu terkejut dan hampir saja dia berteriak kalau dia tidak ingat bahwa di situ terdapat banyak orang. Dia menelan kekagetannya agar semua orang tidak tahu apa yang telah terjadi. Bagaimana dia tidak menjadi kaget sekali kalau jari tangannya ketika menotok pundak itu bertemu dengan hawa sin-kang yang amat kuat, yang menolak tenaga totokannya, membuat pundak itu seperti dilindungi oleh kulit yang amat kuat dan kebal? Akan tetapi Ceng Liong nampaknya tidak tahu akan hal ini!
Memang sesungguhnyalah. Sumber tenaga sakti yang berada di tubuhnya telah bekerja sedemikian kuatnya ketika dia tergantung jungkir balik itu, yang membuat panca inderanya menjadi amat tajam dan peka, akan tetapi juga membuat tenaga sin-kang di tubuhnya itu secara otomatis bergerak sendiri ketika tubuhnya diserang dan dapat melindunginya. Dan semua ini terjadi di luar kesadaran Ceng Liong. Anak ini bahkan tidak tahu bahwa dirinya baru saja ditotok dan kakek iblis itu bermaksud untuk menyiksanya. Dia hanya merasa betapa pundaknya disentuh dan sentuhan ini dianggapnya sebagai sikap bersahabat dari kakek itu kepadanya.
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 027"
Posting Komentar