“Jadi nenek menghendaki agar saya menyelamatkan mereka bertiga dan membawa mereka diam-diam pergi meninggalkan Pulau Es?” tanya Cin Liong.
“Benar, engkau harus menyelamatkan mereka. Akan tetapi bukan melarikan diri dari sini, melainkan membawa mereka bersembunyi kalau serbuan itu datang dan keadaan menjadi gawat. Tentu saja kita harus membiarkan mereka ikut menghadapi musuh. Hanya kalau kita kewalahan dan dalam keadaan darurat, engkau harus melarikan mereka dan bersembunyi.”
“Akan tetapi, di pulau seperti ini, ke mana saya dapat menyembunyikan mereka? Tentu akan dicari musuh dan akhirnya ketemu juga.”
“Mari kau ikut denganku,” kata nenek itu. “Dan perhatikan benar-benar tempat persembunyian itu.”
Cin Liong mengikuti nenek itu memasuki sebuah pintu samping kecil dan mereka berhadapan dengan dinding tebal. Nenek Nirahai lalu meloncat sampai dua meter tingginya, jari tangannya menekan langit-langit di mana nampak seekor cecak yang ternyata adalah cecak kering yang sudah mati dan bangkai yang sudah dikeraskan itu merupakan tanda rahasia tempat penekan alat rahasia pula. Terdengar suara berderit dan lantai tempat itu tiba-tiba bergeser dan nampaklah sebuah lubang. Nenek Nirahai memasuki lubang yang merupakan anak tangga ke bawah tanah. Cin Liong mengikutinya. Begitu memasuki lubang, nenek itu memutar sebuah patung singa yang berada di kepala tangga dan lantai ruangan itupun bergeser lagi menutupi lubang. Mereka terus menuruni lorong rahasia itu dan akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas di bawah tanah, tepat di bawah istana itu. Di situ terdapat lilin yang cukup banyak, air tawar dan bahan makanan kering yang kiranya akan cukup menghidupkan tiga empat orang selama satu bulan.
“Nah, di sinilah tempat persembunyian itu. Kalau keadaan sudah mendesak, engkau harus membawa mereka ke sini. Tempat ini hanya diketahui oleh kong-couwmu dan aku, cucu-cucuku itu tidak ada yang tahu. Maukah engkau berjanji bahwa engkau akan menyelamatkan mereka dan membawanya ke sini kalau keadaan memaksa?”
“Saya berjanji!”
Nenek Nirahai tersenyum girang dan merangkul pemuda itu.
“Bagus! Aku percaya akan janji putera Naga Sakti Gurun Pasir dan cucu buyut keluarga Pulau Es, juga seorang pendekar dan seorang panglima muda yang gagah perkasa. Nah, Cin Liong, mari kita keluar. Ingat, andaikata mereka itu tidak mau kaubawa lari sembunyi, jangan ragu-ragu, pergunakan kepandaianmu dan totok mereka, paksa mereka menyelamatkan diri ke sini. Mengerti?”
“Baik, nek. Saya mengerti.”
Mereka lalu keluar lagi dari tempat rahasia itu dan setelah nenek Nirahai menutup kembali lubang di lantai dengan cara memutar bangkai binatang cecak itu kembali menghadapi dinding, mereka lalu keluar ke halaman samping.
“Kalau mereka sudah menyerang, sebaiknya kalau kita memancing mereka ke halaman ini. Halaman ini merupakan medan pertempuran yang paling baik bagi kita. Musuh hanya dapat datang menyerbu dari depan dan kiri saja. Sebelah kanan ada bangunan, juga sebelah belakang sehingga kita yang kalah banyak tidak sampai dapat dibokong musuh. Kita mengerahkan semua kekuatan kita di sini dan melawan sekuatnya. Bagaimana pendanatmu, Cin Liong? Apakah engkau mempunyai siasat lain untuk menghadapi pihak musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya itu?”
Cin Liong merasa kagum sekali kepada nenek yang dapat mengatur siasat sedemikian cepatnya, dan siasatnya itu memang merupakan penyusunan kedudukan yang paling baik.
Apalagi karena tempat persembunyian yang dimaksudkan untuk menyelamatkan tiga orang cucunya ini berada dekat dengan halaman ini, sehingga praktis sekali dan kalau keadaan memaksa, dia dapat melarikan mereka ke belakang halaman melalui pintu kecil tanpa diketahui oleh pihak musuh.
“Maafkan kalau saya lancang memberi pendapat saya, akan tetapi saya kira kita bertahan di tempat ini hanya kalau sudah betul-betul terdesak. Menghadapi lawan yang jauh lebih banyak jumlahnya, tidakkah sebaiknya kalau kita melakukan serangan-serangan tersembunyi agar membuat mereka terpecah-pecah kekuatan mereka? Untuk itu, saya kira nenek dan saya sendiri akan mampu melakukannya, juga kalau kong-couw sudi....”
“Kong-couwmu jangan dibawa-bawa. Bagaimanapun juga, dia tidak mau maju perang.
Aku mengerti maksudmu dan memang itu baik sekali. Kalau mereka muncul, baik malam ini atau besok siang, engkau dan aku, dari dua jurusan, menyerang mereka secara sembunyi-sembunyi dengan cara pukul dan lari agar mereka kalau-balau dan terpecah-belah. Akan tetapi mengingat bahwa di antara mereka banyak terdapat orang pandai, siasat itu tidak mungkin kita lakukan terus-menerus dan akhirnya kita akan terkepung juga. Nah, kalau sudah terkepung seperti itu, kita harus cepat membawa mereka itu ke tempat ini di mana kita dapat bersama-sama menghadapi mereka dari depan dan kiri saja, dan terutama, engkau dekat dengan tempat rahasia itu.”
Cin Liong mengangguk-angguk.
“Saya setuju. Dan bibi Hui bersama dua orang paman kecil, juga lima orang pelayan, dapat saja mengacau mereka dengan penyerangan-penyerangan gelap, menggunakau anak panah atau senjata rahasia lainnya dari dalam istana yang terlindung.”
Nenek itu mengangguk-angguk.
“Sayang engkau dahulu tidak dapat membantuku ketika aku masih sering memimpin pasukan menghadapi para pemberontak dan pengacau. Senang sekali mempunyai seorang pembantu secerdik engkau, Cin Liong!”
Wajah nenek itu berseri gembira dan semangatnya berperang timbul dan berkobar. Melihat ini, Cin Liong merasa kagum bukan main. Sungguh seorang nenek yang gagah perkasa dan luar biasa pandainya!
“Ah, sejak kecil saya telah mendengar betapa nenek adalah seorang panglima yang amat hebat dan tidak pernah gagal dalam menumpas para pemberontak dan pengacau. Saya masih harus banyak belajar dari nenek.”
Malam itu lewat tanpa adanya pcnyerbuan yang dinanti-nantikan. Suasana malam itu amat menyeramkan, dengan adanya peti jenazah dan kepulan dupa, keheningan yang menggerogoti perasaan. Sebetulnya, tiga orang cucu dan para pelayan tidak mau tidur sebentarpun juga, karena dalam suasana berkabung dan berjaga-jaga itu mereka merasa tidak sepatutnya kalau mereka tidur. Akan tetapi, nenek Nirahai memaksa mereka untuk bergilir jaga dan yang tidak jaga ia beri obat sehingga mcreka itu dapat tertidur. Dan hal ini memang sungguh penting karena pada keesokan harinya, semua orang merasa tubuhnya tetap segar dan tidak lelah atau mengantuk.
Pada keesokan harnya, tiga orang pelayan pria membawa senjata dayung besi mereka dan di samping itu merekapun membawa gendewa dan anak panah. Biarpun mereka bukan ahli panah, akan tetapi dengan mudah mereka dapat belajar cara mempergunakannya dan mereka lalu memilih tempat yang strategis di balik jendela-jendela yang menghadap ke empat penjuru, bersama dengan dua orang pelayan wanita yang memang sudah pandai mempergunakan senjata rahasia jarum.
Suma Hui sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, maka ia bersembunyi di wuwungan bersama Cin Liong sedangkan Ciang Bun dan Ceng Liong bersembunyi di balik tiang besar, siap dengan senjata rahasia piauw dan jarum di tangan. Nenek Nirahai sendiri tidak nampak, namun Cin Liong maklum bahwa nenek ini tentu telah menanti di suatu tempat yang tidak terduga-duga oleh pihak musuh. Dia merasa amat heran dan kagum melihat sikap kong-couwnya yang masih tetap duduk bersila di dekat peti jenazah, kelihatan tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada bahaya apapun yang mengancam tempat itu. Menurut perhitungannya, dan juga yang sependapat dengan nenek Nirahai, pihak musuh yang telah menerima hajaran berat oleh nenek Lulu, tidak berani ceroboh melakukan penyerangan di waktu malam gelap dan tentu menanti sampai terang tanah baru akan datang menyerang dengan pengerahan kekuatan mereka.
Perhitungan ini memang benar. Setelah cuaca di pulau itu cukup terang dan sinar matahari telah mengusir semua kabut, puluhan orang berloncatan dari dua belas buah perahu yang ternyata telah menempel di pantai Pulau Es. Mereka itu segera berlari menuju ke Istana Pulau Es dan setelah dekat mereka berpencar, terpecah menjadi empat rombongan terdiri dari sepuluh orang lebih dan masing-masing rombongan dipimpin sendiri oleh seorang di antara empat orang datuk kaum sesat! Hek-i Mo-ong sendiri memimpin rombongan dari dua belas orang menyerbu ke arah istana dari depan.
Gerakan kurang lebih lima puluh orang itu rata-rata amat cepat ketika mereka berlari ke arah istana dan setiap orang memegang senjata masing-masing. Nampaknya mereka itu amat menyeramkan dan menghadapi serbuan begitu banyak orang yang datang dari empat penjuru akan dapat mengecilkan hati orang.
Akan tetapi, tidak demikian dengan para penghuni Pulau Es, keluarga Pendekar Super Sakti. Bahkan para pelayan di Istana Puktu Es itupun tidak ada yang merasa gentar. Mereka itu memandang dengan mata tak pernah berkedip, yang memegang busur sudah mempersiapkan diri dan mulai memasang anak panah, yang membawa senjata rahasia telah menggenggam jarum-jarumnya, mereka menanti saat para musuh itu datang dalam jarak yang cukup dekat. Sementara itu, Cin Liong dan tiga orang muda cucu Pendekar Super Sakti juga telah bersiap-siap. Cin Liong dau Suma Hui bersiap di atas wuwungan dan kedua orang muda Ciang Bun dan Ceng Liong siap di belakang tiang besar. Cin Liong dan tiga orang muda itu telah bersepakat.
Yaitu, Ciang Bun dan Ceng Liong akan menyerang dengan senjata piauw dan jarum mereka bersama dengan serangan para pelayan yang menanti di empat penjuru.
Penyerangan ini bukan hanya dimaksudkan untuk mengenai sasaran, akan tetapi juga dimaksudkan untuk menjadi pancingan agar perhatian musuh tertuju kepada para penyerang gelap itu. Dan kesempatan itu, selagi mereka lengah, Cin Liong dan Suma Hui yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi akan turun tangan menyerang dengan senjata rahasia mereka! Siasat ini sesuai dengan apa yang direncanakan oleh nenek Nirahai.
Para penyerbu itu adalah orang-orang yang lihai, apalagi yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong adalah orang-orang pilihan di antara para anak buah yang menyerbu, maka ketika mereka sudah agak dekat dan dari istana itu menyambar anak panah dan senjata-senjata rahasia lainnya, mereka dapat bergerak cepat, mengelak atau menangkis sehingga semua anak panah, jarum dan piauw itu tidak ada yang berhasil mengenai tubuh mereka. Akan tetapi, pada saat semua perhatian tertuju ke arah jendela dan tiang dari mana senjata-senjata rahasia tadi menyambar, tiba-tiba nampak sinar kehijauan menyambar dari atas.
Itulah Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) yang dilepas oleh Suma Hui. Ilmu melepas Siang-tok-ciam ini adalah kepandaian khas dari nenek Nirahai yang menurunkan kepada dara itu. Betapapun lihainya dua belas orang yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong itu, menghadapi serangan gelap yang tiba-tiba dari atas ini, dua orang di antara mereka tetap saja kurang cepat menghindar dan ada jarum beracun yang mengenai pundak dan leher mereka. Mereka berteriak kesakitan dan roboh, berkelojotan dan pingsan karena jarum halus dari nenek Nirahai yang diajarkan kepada Suma Hui ini benar-benar amat ampuh.
Sementara itu di bagian kanan kiri dan belakang juga mendapat sambutan yang sama, hanya tidak begitu hebat seperti sambutan di depan. Ada anak panah yang menyambar, dan ketika mereka semua dapat menghindar, tiba-tiba dari atas menyambar anak panah berturut-turut yang amat kuat dan cepat gerakannya. Itulah anak panah yang dilepas oleh Cin Liong. Sebagai seorang jenderal, tentu saja dia selalu mahir ilmu silat tinggi, juga ahli dalam hal menggunakan busur dan anak panah. Apalagi anak panah itu dilepas selagi semua orang di bawah mencurahkan perhatian ke arah jendela.
Terdengar teriakan-teriakan dan dengan busur dan anak panahnya, Cin Liong berhasil merobohkan empat orang, dua di belakang dan dua di kiri. Yang paling sial adalah para penyerbu yang datang dari kanan. Mereka disambut anak panah dan berhasil menghindarkan diri, akan tetapi jarum-jarum beracun berhamburan sedemikian banyak dan cepatnya sehingga dari sebelas orang yang dipimpin oleh Si Ulat Seribu, yang dapat menghindarkan diri hanyalah wanita iblis ini dan enam orang, sedangkan yang lima lain roboh berkelojotan terkena jarum-jarum halus yang dilepas oleh nenek Nirahai sendiri!
Ternyata siasat yang dijalankan oleh nenek Nirahai itu lumayan juga hasilnya. Dalam segebrakan itu sebelas orang auggauta gerombolan penyerbu telah dapat dirobohkan.
Tentu saja hal ini membuat Hek-i Mo-ong dan tiga orang kawannya marah bukan main.
“Benar, engkau harus menyelamatkan mereka. Akan tetapi bukan melarikan diri dari sini, melainkan membawa mereka bersembunyi kalau serbuan itu datang dan keadaan menjadi gawat. Tentu saja kita harus membiarkan mereka ikut menghadapi musuh. Hanya kalau kita kewalahan dan dalam keadaan darurat, engkau harus melarikan mereka dan bersembunyi.”
“Akan tetapi, di pulau seperti ini, ke mana saya dapat menyembunyikan mereka? Tentu akan dicari musuh dan akhirnya ketemu juga.”
“Mari kau ikut denganku,” kata nenek itu. “Dan perhatikan benar-benar tempat persembunyian itu.”
Cin Liong mengikuti nenek itu memasuki sebuah pintu samping kecil dan mereka berhadapan dengan dinding tebal. Nenek Nirahai lalu meloncat sampai dua meter tingginya, jari tangannya menekan langit-langit di mana nampak seekor cecak yang ternyata adalah cecak kering yang sudah mati dan bangkai yang sudah dikeraskan itu merupakan tanda rahasia tempat penekan alat rahasia pula. Terdengar suara berderit dan lantai tempat itu tiba-tiba bergeser dan nampaklah sebuah lubang. Nenek Nirahai memasuki lubang yang merupakan anak tangga ke bawah tanah. Cin Liong mengikutinya. Begitu memasuki lubang, nenek itu memutar sebuah patung singa yang berada di kepala tangga dan lantai ruangan itupun bergeser lagi menutupi lubang. Mereka terus menuruni lorong rahasia itu dan akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas di bawah tanah, tepat di bawah istana itu. Di situ terdapat lilin yang cukup banyak, air tawar dan bahan makanan kering yang kiranya akan cukup menghidupkan tiga empat orang selama satu bulan.
“Nah, di sinilah tempat persembunyian itu. Kalau keadaan sudah mendesak, engkau harus membawa mereka ke sini. Tempat ini hanya diketahui oleh kong-couwmu dan aku, cucu-cucuku itu tidak ada yang tahu. Maukah engkau berjanji bahwa engkau akan menyelamatkan mereka dan membawanya ke sini kalau keadaan memaksa?”
“Saya berjanji!”
Nenek Nirahai tersenyum girang dan merangkul pemuda itu.
“Bagus! Aku percaya akan janji putera Naga Sakti Gurun Pasir dan cucu buyut keluarga Pulau Es, juga seorang pendekar dan seorang panglima muda yang gagah perkasa. Nah, Cin Liong, mari kita keluar. Ingat, andaikata mereka itu tidak mau kaubawa lari sembunyi, jangan ragu-ragu, pergunakan kepandaianmu dan totok mereka, paksa mereka menyelamatkan diri ke sini. Mengerti?”
“Baik, nek. Saya mengerti.”
Mereka lalu keluar lagi dari tempat rahasia itu dan setelah nenek Nirahai menutup kembali lubang di lantai dengan cara memutar bangkai binatang cecak itu kembali menghadapi dinding, mereka lalu keluar ke halaman samping.
“Kalau mereka sudah menyerang, sebaiknya kalau kita memancing mereka ke halaman ini. Halaman ini merupakan medan pertempuran yang paling baik bagi kita. Musuh hanya dapat datang menyerbu dari depan dan kiri saja. Sebelah kanan ada bangunan, juga sebelah belakang sehingga kita yang kalah banyak tidak sampai dapat dibokong musuh. Kita mengerahkan semua kekuatan kita di sini dan melawan sekuatnya. Bagaimana pendanatmu, Cin Liong? Apakah engkau mempunyai siasat lain untuk menghadapi pihak musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya itu?”
Cin Liong merasa kagum sekali kepada nenek yang dapat mengatur siasat sedemikian cepatnya, dan siasatnya itu memang merupakan penyusunan kedudukan yang paling baik.
Apalagi karena tempat persembunyian yang dimaksudkan untuk menyelamatkan tiga orang cucunya ini berada dekat dengan halaman ini, sehingga praktis sekali dan kalau keadaan memaksa, dia dapat melarikan mereka ke belakang halaman melalui pintu kecil tanpa diketahui oleh pihak musuh.
“Maafkan kalau saya lancang memberi pendapat saya, akan tetapi saya kira kita bertahan di tempat ini hanya kalau sudah betul-betul terdesak. Menghadapi lawan yang jauh lebih banyak jumlahnya, tidakkah sebaiknya kalau kita melakukan serangan-serangan tersembunyi agar membuat mereka terpecah-pecah kekuatan mereka? Untuk itu, saya kira nenek dan saya sendiri akan mampu melakukannya, juga kalau kong-couw sudi....”
“Kong-couwmu jangan dibawa-bawa. Bagaimanapun juga, dia tidak mau maju perang.
Aku mengerti maksudmu dan memang itu baik sekali. Kalau mereka muncul, baik malam ini atau besok siang, engkau dan aku, dari dua jurusan, menyerang mereka secara sembunyi-sembunyi dengan cara pukul dan lari agar mereka kalau-balau dan terpecah-belah. Akan tetapi mengingat bahwa di antara mereka banyak terdapat orang pandai, siasat itu tidak mungkin kita lakukan terus-menerus dan akhirnya kita akan terkepung juga. Nah, kalau sudah terkepung seperti itu, kita harus cepat membawa mereka itu ke tempat ini di mana kita dapat bersama-sama menghadapi mereka dari depan dan kiri saja, dan terutama, engkau dekat dengan tempat rahasia itu.”
Cin Liong mengangguk-angguk.
“Saya setuju. Dan bibi Hui bersama dua orang paman kecil, juga lima orang pelayan, dapat saja mengacau mereka dengan penyerangan-penyerangan gelap, menggunakau anak panah atau senjata rahasia lainnya dari dalam istana yang terlindung.”
Nenek itu mengangguk-angguk.
“Sayang engkau dahulu tidak dapat membantuku ketika aku masih sering memimpin pasukan menghadapi para pemberontak dan pengacau. Senang sekali mempunyai seorang pembantu secerdik engkau, Cin Liong!”
Wajah nenek itu berseri gembira dan semangatnya berperang timbul dan berkobar. Melihat ini, Cin Liong merasa kagum bukan main. Sungguh seorang nenek yang gagah perkasa dan luar biasa pandainya!
“Ah, sejak kecil saya telah mendengar betapa nenek adalah seorang panglima yang amat hebat dan tidak pernah gagal dalam menumpas para pemberontak dan pengacau. Saya masih harus banyak belajar dari nenek.”
Malam itu lewat tanpa adanya pcnyerbuan yang dinanti-nantikan. Suasana malam itu amat menyeramkan, dengan adanya peti jenazah dan kepulan dupa, keheningan yang menggerogoti perasaan. Sebetulnya, tiga orang cucu dan para pelayan tidak mau tidur sebentarpun juga, karena dalam suasana berkabung dan berjaga-jaga itu mereka merasa tidak sepatutnya kalau mereka tidur. Akan tetapi, nenek Nirahai memaksa mereka untuk bergilir jaga dan yang tidak jaga ia beri obat sehingga mcreka itu dapat tertidur. Dan hal ini memang sungguh penting karena pada keesokan harinya, semua orang merasa tubuhnya tetap segar dan tidak lelah atau mengantuk.
Pada keesokan harnya, tiga orang pelayan pria membawa senjata dayung besi mereka dan di samping itu merekapun membawa gendewa dan anak panah. Biarpun mereka bukan ahli panah, akan tetapi dengan mudah mereka dapat belajar cara mempergunakannya dan mereka lalu memilih tempat yang strategis di balik jendela-jendela yang menghadap ke empat penjuru, bersama dengan dua orang pelayan wanita yang memang sudah pandai mempergunakan senjata rahasia jarum.
Suma Hui sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, maka ia bersembunyi di wuwungan bersama Cin Liong sedangkan Ciang Bun dan Ceng Liong bersembunyi di balik tiang besar, siap dengan senjata rahasia piauw dan jarum di tangan. Nenek Nirahai sendiri tidak nampak, namun Cin Liong maklum bahwa nenek ini tentu telah menanti di suatu tempat yang tidak terduga-duga oleh pihak musuh. Dia merasa amat heran dan kagum melihat sikap kong-couwnya yang masih tetap duduk bersila di dekat peti jenazah, kelihatan tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada bahaya apapun yang mengancam tempat itu. Menurut perhitungannya, dan juga yang sependapat dengan nenek Nirahai, pihak musuh yang telah menerima hajaran berat oleh nenek Lulu, tidak berani ceroboh melakukan penyerangan di waktu malam gelap dan tentu menanti sampai terang tanah baru akan datang menyerang dengan pengerahan kekuatan mereka.
Perhitungan ini memang benar. Setelah cuaca di pulau itu cukup terang dan sinar matahari telah mengusir semua kabut, puluhan orang berloncatan dari dua belas buah perahu yang ternyata telah menempel di pantai Pulau Es. Mereka itu segera berlari menuju ke Istana Pulau Es dan setelah dekat mereka berpencar, terpecah menjadi empat rombongan terdiri dari sepuluh orang lebih dan masing-masing rombongan dipimpin sendiri oleh seorang di antara empat orang datuk kaum sesat! Hek-i Mo-ong sendiri memimpin rombongan dari dua belas orang menyerbu ke arah istana dari depan.
Gerakan kurang lebih lima puluh orang itu rata-rata amat cepat ketika mereka berlari ke arah istana dan setiap orang memegang senjata masing-masing. Nampaknya mereka itu amat menyeramkan dan menghadapi serbuan begitu banyak orang yang datang dari empat penjuru akan dapat mengecilkan hati orang.
Akan tetapi, tidak demikian dengan para penghuni Pulau Es, keluarga Pendekar Super Sakti. Bahkan para pelayan di Istana Puktu Es itupun tidak ada yang merasa gentar. Mereka itu memandang dengan mata tak pernah berkedip, yang memegang busur sudah mempersiapkan diri dan mulai memasang anak panah, yang membawa senjata rahasia telah menggenggam jarum-jarumnya, mereka menanti saat para musuh itu datang dalam jarak yang cukup dekat. Sementara itu, Cin Liong dan tiga orang muda cucu Pendekar Super Sakti juga telah bersiap-siap. Cin Liong dau Suma Hui bersiap di atas wuwungan dan kedua orang muda Ciang Bun dan Ceng Liong siap di belakang tiang besar. Cin Liong dan tiga orang muda itu telah bersepakat.
Yaitu, Ciang Bun dan Ceng Liong akan menyerang dengan senjata piauw dan jarum mereka bersama dengan serangan para pelayan yang menanti di empat penjuru.
Penyerangan ini bukan hanya dimaksudkan untuk mengenai sasaran, akan tetapi juga dimaksudkan untuk menjadi pancingan agar perhatian musuh tertuju kepada para penyerang gelap itu. Dan kesempatan itu, selagi mereka lengah, Cin Liong dan Suma Hui yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi akan turun tangan menyerang dengan senjata rahasia mereka! Siasat ini sesuai dengan apa yang direncanakan oleh nenek Nirahai.
Para penyerbu itu adalah orang-orang yang lihai, apalagi yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong adalah orang-orang pilihan di antara para anak buah yang menyerbu, maka ketika mereka sudah agak dekat dan dari istana itu menyambar anak panah dan senjata-senjata rahasia lainnya, mereka dapat bergerak cepat, mengelak atau menangkis sehingga semua anak panah, jarum dan piauw itu tidak ada yang berhasil mengenai tubuh mereka. Akan tetapi, pada saat semua perhatian tertuju ke arah jendela dan tiang dari mana senjata-senjata rahasia tadi menyambar, tiba-tiba nampak sinar kehijauan menyambar dari atas.
Itulah Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) yang dilepas oleh Suma Hui. Ilmu melepas Siang-tok-ciam ini adalah kepandaian khas dari nenek Nirahai yang menurunkan kepada dara itu. Betapapun lihainya dua belas orang yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong itu, menghadapi serangan gelap yang tiba-tiba dari atas ini, dua orang di antara mereka tetap saja kurang cepat menghindar dan ada jarum beracun yang mengenai pundak dan leher mereka. Mereka berteriak kesakitan dan roboh, berkelojotan dan pingsan karena jarum halus dari nenek Nirahai yang diajarkan kepada Suma Hui ini benar-benar amat ampuh.
Sementara itu di bagian kanan kiri dan belakang juga mendapat sambutan yang sama, hanya tidak begitu hebat seperti sambutan di depan. Ada anak panah yang menyambar, dan ketika mereka semua dapat menghindar, tiba-tiba dari atas menyambar anak panah berturut-turut yang amat kuat dan cepat gerakannya. Itulah anak panah yang dilepas oleh Cin Liong. Sebagai seorang jenderal, tentu saja dia selalu mahir ilmu silat tinggi, juga ahli dalam hal menggunakan busur dan anak panah. Apalagi anak panah itu dilepas selagi semua orang di bawah mencurahkan perhatian ke arah jendela.
Terdengar teriakan-teriakan dan dengan busur dan anak panahnya, Cin Liong berhasil merobohkan empat orang, dua di belakang dan dua di kiri. Yang paling sial adalah para penyerbu yang datang dari kanan. Mereka disambut anak panah dan berhasil menghindarkan diri, akan tetapi jarum-jarum beracun berhamburan sedemikian banyak dan cepatnya sehingga dari sebelas orang yang dipimpin oleh Si Ulat Seribu, yang dapat menghindarkan diri hanyalah wanita iblis ini dan enam orang, sedangkan yang lima lain roboh berkelojotan terkena jarum-jarum halus yang dilepas oleh nenek Nirahai sendiri!
Ternyata siasat yang dijalankan oleh nenek Nirahai itu lumayan juga hasilnya. Dalam segebrakan itu sebelas orang auggauta gerombolan penyerbu telah dapat dirobohkan.
Tentu saja hal ini membuat Hek-i Mo-ong dan tiga orang kawannya marah bukan main.
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 014"
Posting Komentar