“Kita membicarakan kematian bukan karena takut, melainkan membicarakannya sebagai suatu hal yang tak terhindarkan dan suatu hal yang amat akrab di dalam hatiku. Sesungguhnya, bukankah kita bertiga ini sudah lama mati? Mati dalam hidup, yaitu mati daripada segala ikatan yang memberatkan batin. Kita bertiga sudah berusia begini lanjut. Kiranya jarang ada yang dapat mencapai usia selanjut kita dan hal ini terjadi karena cara hidup kita yang bersih dan selalu menjaga diri tidak menyalahi hukum-hukum kehidupan dan mempunyai tertib diri. Terutama sekali, karena kita bertiga hidup berbahagia. Kalau tadi aku bertanya, aku hanya ingin mendengar kepastian bahwa kalian berdua tidak takut akan kematian yang sudah berada di depan mata karena usia kita yang sudah sangat tua. Kita tidak mungkin hidup tanpa akhir, jasmani kita akan melapuk dan melemah dimakan usia....”
“Sudahlah, suamiku. Perlu apa kita bicara tentang kematian? Bukan berarti bahwa aku takut menghadapi kematian. Tidak, sejak dahulu aku tidak takut. Sudah berapa puluh kali kita semua menghadapi ancaman maut, namun tidak sekalipun kita merasa takut, bukan? Nah, kalau ada yang kutakuti, hanya satu, yaitu....”
“Heh-heh, engkau....? Engkau.... takut....? Aih, adik Lulu, siapa bisa percaya kalau engkau mengatakan bahwa engkau takut? Aku yakin akan keberanian dan ketabahanmu, sehingga, andaikata Giam-lo-ong sendiri muncul di depanmu, tentu akan kau sambut dia dengan senyum mengejek.”
Nirahai mencela dengan kelakar karena memang nenek ini sudah tahu benar akan keberanian madunya yang tidak pernah mengenal takut itu.
“Benar, enci, aku memang takut akan suatu hal. Aku takut kalau-kalau aku akan mati sebagai seekor harimau betina yang telah ompong dan kehilangan cakar kakinya.”
Suma Han menatap wajah isterinya ini lalu bertanya,
“Apa maksudmu?”
“Semenjak kecil aku mempelajari ilmu silat. Memang tidak sia-sia karena ilmu itu telah banyak menolongku di waktu dahulu, dan kini dapat pula kuturunkan kepada anak cucu. Akan tetapi, memikirkan semua itu lalu membayangkan bahwa aku kelak akan mati dalam keadaan lemah dan sakit-sakitan, sungguh.... ngeri juga hatiku. Aku ingin mati sebagai seekor harimau betina yang gagah perkasa, biarpun sudah tua, seekor harimau betina yang mati dalam amukannya dikeroyok segerombolan serigala misalnya! Tidak mati sakit dan lemah menyedihkan....”
Nenek Nirahai mengangguk-angguk.
“Tepat! Akupun seringkali merasa ngeri membayangkan mati dalam keadaan seperti ini. Berilah aku pasukan, aku akan maju perang membasmi gerombolan jahat, pengacau-pengacau dan pemberontak. Biarkan aku gugur dalam pertempuran, mati dengan pedang di tangan, bukan mati sebagai seorang nenek yang lumpuh dan lemah sakit-sakitan.Hih, mengerikan!”
Mendengar ucapan kedua orang isterinya itu, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang.
“Aihh, kiranya setua ini kalian masih saja menyimpan kekerasan di dalam sanubari kalian. Belum cukupkah kekeruhan yang kita lakukan selama kita hidup, mengandalkan ilmu-ilmu kekerasan yang ada pada kita?”
“Akan tetapi, bukan kita yang mencari kekerasan. Kita hanya menanggapi saja, menghadapi lawan yang merajalela bertindak sewenang-wenang dengan ilmu mereka. Kita hanya membela si lemah yang tertindas, menentang si kuat yang lalim,” kedua orang isterinya menjawab hampir berbareng.
Pendekar tua itu mengangguk-angguk.
“Aku tidak akan membantah pendapat kalian, walaupun kebenaran pendapat itu hanya menjadi hasil pandangan sebelah saja. Sekarang kita hidup tenang dan tenteram, mengapa merindukan kekerasan?”
“Suamiku, jangan salah duga,” kata nenek Lulu. “Aku tidak merindukan kekerasan, hanya aku ingin mati sebagai seorang gagah. Biarpun sudah tua begini, ngeri aku membayangkan mati sebagai seorang nenek yang lemah dan berpenyakitan.”
Suaminya mengangguk-angguk.
“Harapan sih boleh saja, akan tetapi yang menentukan adalah kenyataan. Memang kematian telah berada di depan mata, dan aku merasa lega bahwa kita bertiga akan berani menghadapinya dengan bebas rasa takut.”
“Suamiku, sudahlah, tidak enak rasanya bicara tentang kematian selagi kita masih hidup. Apakah engkau ingin minum air buah seperti biasa?” tanya Nirahai.
Setelah menghentikan samadhi mereka yang kadang-kadang sampai makan waktu tiga hari tiga malam, mereka bertiga suka memulai makan dengan minum air buah. Suma Han mengangguk dan Nirahai lalu menggunakan kedua tangannya untuk bertepuk dan tidak lama kemudian muncullah seorang pelayan wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun. Nirahai lalu menyuruh pelayan itu menghidangkan air buah dan makanan-makanan lembut dan ringan untuk mengisi perut mereka yang kosong. Setelah mereka bertiga mengisi perut yang kosong dengan sari buah dan makanan-makanan ringan, Suma Han bertanya,
“Di manakah cucu-cucu kita? Kenapa tidak ada suara mereka di dalam?”
“Mereka tentu berada di luar istana,” kata nenek Nirahai. “Aku mulai memikirkan apakah tidak sebaiknya kalau mereka itu sekali waktu disuruh melakukan perjalanan ke kota raja? Keadaan negara sedang aman tenteram, baik sekali kalau mereka itu meluaskan pemandangan dan pengetahuan pergi ke kota raja.”
“Menurut berita yang dibawa oleh para pelayan, memang kaisar muda Kian Liong amat bijaksana,” kata Suma Han. “Syukurlah kalau akhirnya negara memiliki seorang kaisar yang benar-benar bijaksana dan dapat membuat rakyat hidup adil makmur, negara kuat dan keamanan hidup terjamin. Betapa sejak dahulu aku merindukan keadaan seperti itu.”
“Semenjak masih muda sekali, ketika masih menjadi pangeran, memang Pangeran Kian Liong sudah nampak sebagai seorang yang bijaksana,” kata nenek Nirahai.
“Aku jadi ingin sekali melihat kota raja dalam keadaan makmur seperti sekarang,” kata nenek Lulu.
“Sebaiknya panggil mereka itu masuk, aku ingin bicara dengan mereka,” kata kakek itu.
“Biar aku yang mencari mereka!”
Nenek Lulu bangkit dari lantai dan dengan langkah masih gesit nenek ini lalu meninggalkan ruangan samadhi dan keluar dari istana mencari tiga orang cucunya.
“Jangan lepaskan pandang matamu dari tubuh lawan, terutama sepasang pundaknya dan gerak kakinya. Gerakan sendiri tidak perlu kita ikuti dengan mata, melainkan dengan perasaan saja, karena itulah maka gerakan perlu dilatih agar menjadi otomatis sehingga seluruh pandang mata dan perhatian kita tak pernah terlepas daripada gerakan lawan.”
Demikian Suma Hui memberi nasihat kepada kedua orang adiknya. Kemudian dara yang cantik manis ini lalu mengeluarkan sepasang pedang dan mulai memainkan sepasang pedang ini dalam Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis).
Namanya saja menyeramkan, akan tetapi sesungguhnya ilmu pedang ini amat hebat, dahsyat dan kalau dimainkan oleh seorang dara seperti Suma Hui nampak indah seolah-olah dara itu bukan sedang bersilat melainkan sedang menari-nari saja. Sepasang pedangnya lenyap bentuknya dan berobah menjadi dua gulung sinar yang saling belit dan saling sambung.
Ciang Bun dan Ceng Liong nonton dengan penuh kagum. Memang indah sekali tarian pedang yang dimainkan oleh Suma Hui itu. Bagi orang-orang tidak mengerti, atau yang ilmu silatnya masih rendah, tentu akan memandang ringan dan akan mengira bahwa itu hanya merupakan tarian pedang yang indah saja akan tetapi yang tidak berbahaya kalau dipakai dalam perkelahian yang sungguh-sungguh. Perkiraan seperti itu sungguh akan membuat orangnya kecelik bukan main.
Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut itu bukan hanya indah dipandang, akan tetapi juga amatlah dahsyatnya, dan merupakan ilmu pedang yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan pada waktu itu. Saking asyiknya Suma Hui bersilat pedang dan kedua orang adiknya nonton dengan hati kagum, mereka bertiga sampai tidak melihat adanya perubahan aneh yang terjadi di lautan di sekitar Pulau Es. Ternyata pada pagi hari itu, tidak seperti biasanya, nampak belasan buah layar bermunculan di sekitar pulau, bahkan sebuah perahu besar di antara sekian banyak perahu itu telah memasuki teluk dan mendarat!
“Bagus! Bagus dan indah sekali!”
“Cantik jelita seperti bidadari!”
Suara pujian-pujian dan tertawa gembira itu mengejutkan tiga orang cucu Pendekar Super Sakti. Tentu saja Suma Hui cepat menghentikan permainan pedangnya dan menyimpan sepasang pedang itu di sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Dua orang anak laki-laki itupun cepat menengok dan mereka bertiga kini berhadapan dengan tujuh orang laki-laki yang berloncatan turun dari perahu, sedangkan di atas perahu besar itu masih terdapat beberapa orang anak buah perahu.
Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu telah dua tahun berada di Pulau Es dan mereka belum pernah melihat ada perahu asing mengunjungi pulau, maka mereka memandang dengan penuh keheranan dan mengira bahwa tentu mereka ini merupakan tamu-tamu kakek mereka. Akan tetapi, Suma Hui mengerutkan alisnya yang hitam karena dara yang sudah berusia delapan belas tahun ini, sebagai puteri suami isteri pandekar, dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang termasuk dalam kelompok kaum sesat. Hal ini mudah saja dikenalnya, dari cara mereka berpakaian, dari wajah yang penuh dengan watak keras itu, dan terutama sekali dari sikap mereka yang kelihatan sombong, mengagulkan diri, dan juga tidak sopan. Hatinya sudah dipenuhi rasa tidak suka melihat betapa tujuh orang yang dihadapinya itu memandang kepadanya dengan cengar-cengir dan menyeringai memuakkan. Suara pujian akan kecantikannya tadi mengandung kekurangajaran, walaupun tujuh orang itu bukan muda lagi, antara empat puluh sampai enam puluh tahun.
Namun, dari gerakan mereka ketika berloncatan turun tadi, mudah diketahui bahwa mereka itu rata-rata pandai main silat. Seorang di antara mereka yang usianya kurang lebih empat puluh tahun melangkah maju sambil tertawa. Laki-laki ini kurus tinggi dan berkulit hitam, mukanya kecil seperti muka tikus, kumisnya melintang dan kedua ujungnya melengkung ke bawah, di punggungnya nampak tergantung sebatang golok, sikapnya congkak bukan main.
“Ha-ha, Nona manis. Siapakah engkau? Sungguh tak kusangka, di tempat kosong seperti ini akan bertemu dengan seorang gadis yang begini cantik manis dan memiliki kepandaian menari amat indah lagi. Aih, nona, daripada hidup di tempat terasing seperti ini, mari kau ikut saja denganku dan menjadi muridku yang terkasih. Ha-ha-ha! Jangan khawatir, menjadi murid Sian-to (Dewa Golok) hidupmu tentu akan senang!”
Berkata demikian, orang ini mengulur lengannya yang panjang dan jari-jari tangannya mencoba untuk mencolek ke arah dada Suma Hui.
“Jahanam....!”
Suma Hui memaki dan hanya dengan sedikit melangkah ke belakang saja, colekan itu mengenai tempat kosong. Dara itu membanting-banting kaki kirinya beberapa kali dan sinar matanya seperti mengeluarkan sinar berapi ketika ia memandang kepada orang yang memakai julukan Dewa Golok itu. Kalau dara ini sudah membanting-banting kaki kiri, itu tandanya berbahaya sekali karena ia sudah marah bukan main. Akan tetapi, orang bermuka tikus itu memang tak tahu diri saking congkaknya. Memang, sebagai seorang jagoan, entah sudah berapa banyaknya orang yang dia robohkan karena tidak taat kepadanya dan hal ini membuat dia menjadi tekebur sekali dan tidak sudi menghargai orang lain, selalu memandang rendah dan merasa bahwa dialah jagoan paling hebat di dunia.
“Eh, eh, engkau memaki?”
Bentaknya dan kini kedua tangannya sudah mencengkeram ke depan, dan kembali cengkeraman itu ditujukan ke arah dada Suma Hui.
“Sudahlah, suamiku. Perlu apa kita bicara tentang kematian? Bukan berarti bahwa aku takut menghadapi kematian. Tidak, sejak dahulu aku tidak takut. Sudah berapa puluh kali kita semua menghadapi ancaman maut, namun tidak sekalipun kita merasa takut, bukan? Nah, kalau ada yang kutakuti, hanya satu, yaitu....”
“Heh-heh, engkau....? Engkau.... takut....? Aih, adik Lulu, siapa bisa percaya kalau engkau mengatakan bahwa engkau takut? Aku yakin akan keberanian dan ketabahanmu, sehingga, andaikata Giam-lo-ong sendiri muncul di depanmu, tentu akan kau sambut dia dengan senyum mengejek.”
Nirahai mencela dengan kelakar karena memang nenek ini sudah tahu benar akan keberanian madunya yang tidak pernah mengenal takut itu.
“Benar, enci, aku memang takut akan suatu hal. Aku takut kalau-kalau aku akan mati sebagai seekor harimau betina yang telah ompong dan kehilangan cakar kakinya.”
Suma Han menatap wajah isterinya ini lalu bertanya,
“Apa maksudmu?”
“Semenjak kecil aku mempelajari ilmu silat. Memang tidak sia-sia karena ilmu itu telah banyak menolongku di waktu dahulu, dan kini dapat pula kuturunkan kepada anak cucu. Akan tetapi, memikirkan semua itu lalu membayangkan bahwa aku kelak akan mati dalam keadaan lemah dan sakit-sakitan, sungguh.... ngeri juga hatiku. Aku ingin mati sebagai seekor harimau betina yang gagah perkasa, biarpun sudah tua, seekor harimau betina yang mati dalam amukannya dikeroyok segerombolan serigala misalnya! Tidak mati sakit dan lemah menyedihkan....”
Nenek Nirahai mengangguk-angguk.
“Tepat! Akupun seringkali merasa ngeri membayangkan mati dalam keadaan seperti ini. Berilah aku pasukan, aku akan maju perang membasmi gerombolan jahat, pengacau-pengacau dan pemberontak. Biarkan aku gugur dalam pertempuran, mati dengan pedang di tangan, bukan mati sebagai seorang nenek yang lumpuh dan lemah sakit-sakitan.Hih, mengerikan!”
Mendengar ucapan kedua orang isterinya itu, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang.
“Aihh, kiranya setua ini kalian masih saja menyimpan kekerasan di dalam sanubari kalian. Belum cukupkah kekeruhan yang kita lakukan selama kita hidup, mengandalkan ilmu-ilmu kekerasan yang ada pada kita?”
“Akan tetapi, bukan kita yang mencari kekerasan. Kita hanya menanggapi saja, menghadapi lawan yang merajalela bertindak sewenang-wenang dengan ilmu mereka. Kita hanya membela si lemah yang tertindas, menentang si kuat yang lalim,” kedua orang isterinya menjawab hampir berbareng.
Pendekar tua itu mengangguk-angguk.
“Aku tidak akan membantah pendapat kalian, walaupun kebenaran pendapat itu hanya menjadi hasil pandangan sebelah saja. Sekarang kita hidup tenang dan tenteram, mengapa merindukan kekerasan?”
“Suamiku, jangan salah duga,” kata nenek Lulu. “Aku tidak merindukan kekerasan, hanya aku ingin mati sebagai seorang gagah. Biarpun sudah tua begini, ngeri aku membayangkan mati sebagai seorang nenek yang lemah dan berpenyakitan.”
Suaminya mengangguk-angguk.
“Harapan sih boleh saja, akan tetapi yang menentukan adalah kenyataan. Memang kematian telah berada di depan mata, dan aku merasa lega bahwa kita bertiga akan berani menghadapinya dengan bebas rasa takut.”
“Suamiku, sudahlah, tidak enak rasanya bicara tentang kematian selagi kita masih hidup. Apakah engkau ingin minum air buah seperti biasa?” tanya Nirahai.
Setelah menghentikan samadhi mereka yang kadang-kadang sampai makan waktu tiga hari tiga malam, mereka bertiga suka memulai makan dengan minum air buah. Suma Han mengangguk dan Nirahai lalu menggunakan kedua tangannya untuk bertepuk dan tidak lama kemudian muncullah seorang pelayan wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun. Nirahai lalu menyuruh pelayan itu menghidangkan air buah dan makanan-makanan lembut dan ringan untuk mengisi perut mereka yang kosong. Setelah mereka bertiga mengisi perut yang kosong dengan sari buah dan makanan-makanan ringan, Suma Han bertanya,
“Di manakah cucu-cucu kita? Kenapa tidak ada suara mereka di dalam?”
“Mereka tentu berada di luar istana,” kata nenek Nirahai. “Aku mulai memikirkan apakah tidak sebaiknya kalau mereka itu sekali waktu disuruh melakukan perjalanan ke kota raja? Keadaan negara sedang aman tenteram, baik sekali kalau mereka itu meluaskan pemandangan dan pengetahuan pergi ke kota raja.”
“Menurut berita yang dibawa oleh para pelayan, memang kaisar muda Kian Liong amat bijaksana,” kata Suma Han. “Syukurlah kalau akhirnya negara memiliki seorang kaisar yang benar-benar bijaksana dan dapat membuat rakyat hidup adil makmur, negara kuat dan keamanan hidup terjamin. Betapa sejak dahulu aku merindukan keadaan seperti itu.”
“Semenjak masih muda sekali, ketika masih menjadi pangeran, memang Pangeran Kian Liong sudah nampak sebagai seorang yang bijaksana,” kata nenek Nirahai.
“Aku jadi ingin sekali melihat kota raja dalam keadaan makmur seperti sekarang,” kata nenek Lulu.
“Sebaiknya panggil mereka itu masuk, aku ingin bicara dengan mereka,” kata kakek itu.
“Biar aku yang mencari mereka!”
Nenek Lulu bangkit dari lantai dan dengan langkah masih gesit nenek ini lalu meninggalkan ruangan samadhi dan keluar dari istana mencari tiga orang cucunya.
“Jangan lepaskan pandang matamu dari tubuh lawan, terutama sepasang pundaknya dan gerak kakinya. Gerakan sendiri tidak perlu kita ikuti dengan mata, melainkan dengan perasaan saja, karena itulah maka gerakan perlu dilatih agar menjadi otomatis sehingga seluruh pandang mata dan perhatian kita tak pernah terlepas daripada gerakan lawan.”
Demikian Suma Hui memberi nasihat kepada kedua orang adiknya. Kemudian dara yang cantik manis ini lalu mengeluarkan sepasang pedang dan mulai memainkan sepasang pedang ini dalam Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis).
Namanya saja menyeramkan, akan tetapi sesungguhnya ilmu pedang ini amat hebat, dahsyat dan kalau dimainkan oleh seorang dara seperti Suma Hui nampak indah seolah-olah dara itu bukan sedang bersilat melainkan sedang menari-nari saja. Sepasang pedangnya lenyap bentuknya dan berobah menjadi dua gulung sinar yang saling belit dan saling sambung.
Ciang Bun dan Ceng Liong nonton dengan penuh kagum. Memang indah sekali tarian pedang yang dimainkan oleh Suma Hui itu. Bagi orang-orang tidak mengerti, atau yang ilmu silatnya masih rendah, tentu akan memandang ringan dan akan mengira bahwa itu hanya merupakan tarian pedang yang indah saja akan tetapi yang tidak berbahaya kalau dipakai dalam perkelahian yang sungguh-sungguh. Perkiraan seperti itu sungguh akan membuat orangnya kecelik bukan main.
Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut itu bukan hanya indah dipandang, akan tetapi juga amatlah dahsyatnya, dan merupakan ilmu pedang yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan pada waktu itu. Saking asyiknya Suma Hui bersilat pedang dan kedua orang adiknya nonton dengan hati kagum, mereka bertiga sampai tidak melihat adanya perubahan aneh yang terjadi di lautan di sekitar Pulau Es. Ternyata pada pagi hari itu, tidak seperti biasanya, nampak belasan buah layar bermunculan di sekitar pulau, bahkan sebuah perahu besar di antara sekian banyak perahu itu telah memasuki teluk dan mendarat!
“Bagus! Bagus dan indah sekali!”
“Cantik jelita seperti bidadari!”
Suara pujian-pujian dan tertawa gembira itu mengejutkan tiga orang cucu Pendekar Super Sakti. Tentu saja Suma Hui cepat menghentikan permainan pedangnya dan menyimpan sepasang pedang itu di sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Dua orang anak laki-laki itupun cepat menengok dan mereka bertiga kini berhadapan dengan tujuh orang laki-laki yang berloncatan turun dari perahu, sedangkan di atas perahu besar itu masih terdapat beberapa orang anak buah perahu.
Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu telah dua tahun berada di Pulau Es dan mereka belum pernah melihat ada perahu asing mengunjungi pulau, maka mereka memandang dengan penuh keheranan dan mengira bahwa tentu mereka ini merupakan tamu-tamu kakek mereka. Akan tetapi, Suma Hui mengerutkan alisnya yang hitam karena dara yang sudah berusia delapan belas tahun ini, sebagai puteri suami isteri pandekar, dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang termasuk dalam kelompok kaum sesat. Hal ini mudah saja dikenalnya, dari cara mereka berpakaian, dari wajah yang penuh dengan watak keras itu, dan terutama sekali dari sikap mereka yang kelihatan sombong, mengagulkan diri, dan juga tidak sopan. Hatinya sudah dipenuhi rasa tidak suka melihat betapa tujuh orang yang dihadapinya itu memandang kepadanya dengan cengar-cengir dan menyeringai memuakkan. Suara pujian akan kecantikannya tadi mengandung kekurangajaran, walaupun tujuh orang itu bukan muda lagi, antara empat puluh sampai enam puluh tahun.
Namun, dari gerakan mereka ketika berloncatan turun tadi, mudah diketahui bahwa mereka itu rata-rata pandai main silat. Seorang di antara mereka yang usianya kurang lebih empat puluh tahun melangkah maju sambil tertawa. Laki-laki ini kurus tinggi dan berkulit hitam, mukanya kecil seperti muka tikus, kumisnya melintang dan kedua ujungnya melengkung ke bawah, di punggungnya nampak tergantung sebatang golok, sikapnya congkak bukan main.
“Ha-ha, Nona manis. Siapakah engkau? Sungguh tak kusangka, di tempat kosong seperti ini akan bertemu dengan seorang gadis yang begini cantik manis dan memiliki kepandaian menari amat indah lagi. Aih, nona, daripada hidup di tempat terasing seperti ini, mari kau ikut saja denganku dan menjadi muridku yang terkasih. Ha-ha-ha! Jangan khawatir, menjadi murid Sian-to (Dewa Golok) hidupmu tentu akan senang!”
Berkata demikian, orang ini mengulur lengannya yang panjang dan jari-jari tangannya mencoba untuk mencolek ke arah dada Suma Hui.
“Jahanam....!”
Suma Hui memaki dan hanya dengan sedikit melangkah ke belakang saja, colekan itu mengenai tempat kosong. Dara itu membanting-banting kaki kirinya beberapa kali dan sinar matanya seperti mengeluarkan sinar berapi ketika ia memandang kepada orang yang memakai julukan Dewa Golok itu. Kalau dara ini sudah membanting-banting kaki kiri, itu tandanya berbahaya sekali karena ia sudah marah bukan main. Akan tetapi, orang bermuka tikus itu memang tak tahu diri saking congkaknya. Memang, sebagai seorang jagoan, entah sudah berapa banyaknya orang yang dia robohkan karena tidak taat kepadanya dan hal ini membuat dia menjadi tekebur sekali dan tidak sudi menghargai orang lain, selalu memandang rendah dan merasa bahwa dialah jagoan paling hebat di dunia.
“Eh, eh, engkau memaki?”
Bentaknya dan kini kedua tangannya sudah mencengkeram ke depan, dan kembali cengkeraman itu ditujukan ke arah dada Suma Hui.
**** 004 ****
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 004"
Posting Komentar