Maklum bahwa lawannya juga sungkan, maka Sim Hong Bu yang merasa sebagai penantang lalu menggerakkan pedangnya melakukan serangan pembukaan. Kam Hong juga menggerakkan sulingnya dan mulailah mereka saling serang. Mula-mula memang ada keraguan dan kesungkanan dalam hati mereka sehingga serangan-serangan mereka itu tidak dilakukan dengan tenaga sepenuhnya, akan tetapi sebagai ahli-ahli silat di mana ilmu sllat itu telah mendarah daging kepada tubuh mereka, makin lama mereka menjadi semakin bersemangat karena menghadapi lawan yang amat tangguh. Maka gerakan senjata mereka menjadi semakin cepat dan berat dan tak lama kemudian, lenyaplah kedua orang itu terselimut gulungan sinar emas dan sinar biru yang menyilaukan mata.
Terdengar pula suara pedang seperti suara mengaum-aum dan suara suling yang melengking-lengking, dan angin yang amat keras menyambar, membuat daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang dan kadang-kadang seperti dilanda angin berpusing.
Ci Sian sendiri bengong, kagum sekali menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini.
Diam-diam harus diakuinya bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh Sim Hong Bu memang hebat bukan main, dan agaknya sama sekali tidak kalah dibandingkan dengan Kim-siauw Kiam-sut yang dimainkan dengan suling emas itu. Sebagai seorang ahli, ia pun dapat mengikuti gerakan mereka, walaupun kadang-kadang gerakan kedua orang itu terlalu cepat untuk dapat diikuti dengan mata. Ia melihat betapa suhengnya bersilat dengan baik sekali, hampir dapat dikata sempurna malah, memainkan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut, akan tetapi tetap saja ia masih melihat keraguan dalam gerakan suhengnya itu, seolah-olah dia tidak menghendaki perkelahian itu dan bertanding karena terpaksa sekali.
Setelah lewat seratus jurus, keduanya sudah benar-benar bebas dari keraguan dan keduanya kini sudah lupa diri. Yang ada hanyalah kegembiraan bertanding karena baru sekarang mereka benar-benar bertemu lawan yang setanding, dan baru sekali ini mereka bertanding tanpa ada sedikit pun perasaan benci atau marah. Kini mereka bertanding demi ilmu itu sendiri, seperti orang berlatih saja, akan tetapi jauh lebih hebat dan sungguh karena keduanya tidak mau sampai kalah. Maka, kini hanya jurus-jurus yang paling ampuh sajalah yang mereka keluarkan dan di dalam hati mereka penuh kekaguman terhadap lawan.
Sukar dilihat siapa yang terdesak dan siapa yang mendesak antara keduanya, karena betapapun juga, setelah kini mereka melihat intinya, ada unsur-unsur yang sama dalam dasar ilmu pedang mereka. Hanya dalam hal tenaga dalam, Sim Hong Bu harus mengakui bahwa dia masih kalah setingkat! Akan tetapi, Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut demikian hebatnya sehingga kekalahan tenaga ini dapat ditutupnya dengan gerakan cepat dan aneh sehingga dia tidak harus mengadu tenaga secara langsung.
Serang menyerang terjadi, tikaman dan totokan ditukar, bacokan dan pukulan silih berganti, dan bukan hanya senjata mereka yang saling menyambar, melainkan juga tangan kiri mereka sering kali melakukan totokan dan pukulan maut yang amat hebat, yang kalau ditangkis menimbulkan getaran yang bahkan terasa pula oleh Ci Sian yang berdiri di pinggir.
Setelah lewat dua ratus jurus, Ci Sian memandang dengan alis berkerut. Sebagai seorang ahli, maklumlah dara ini bahwa perkelahian sehebat ini kalau dilanjutkan, tentu hanya berakibat robohnya seorang di antara mereka, mungkin roboh untuk tidak dapat bangkit kembali atau tewas. Setiap serangan yang dilakukan mereka itu adalah serangan maut yang amat hebat, yang kalau mengenai lawan sudah pasti akan merenggut nyawa lawan!
Memang benarlah apa yang dipikirkan oleh Ci Sian ini. Setelah lewat dua ratus jurus Kam Hong yang lebih matang dalam hal latihan, dan juga memang lebih sempurna menguasai ilmunya, dapat melihat kelemahan-kelemahan yang walaupun sedikit dalam gerakan Hong Bu, namun cukuplah untuk dimasukinya dengan serangan kilat yang akan membuat lawan roboh. Akan tetapi pendekar ini tidak tega merobohkan Hong Bu dengan serangan maut. Dia sama sekali tidak ingin melukainya dengan berat. Timbul keraguan dalam hatinya. Apa gunanya kalau dia menang? Sebaliknya, andaikata dia mengalah sekalipun, hal itu pasti akan diketahui oleh Sim Hong Bu dan juga oleh Bu Ci Sian dan tidak akan ada manfaatnya lagi, bahkan mungkin Hong Bu akan merasa tersinggung kalau dia sengaja mengalah.
Maka, sebaiknya kalau dia memberi isyarat kepada pemuda itu bahwa dia tidak ingin bermusuhan dan bahwa dia bersedia menghentikan pertandingan itu dan bersedia pula mengalah. Oleh karena itu, ketika dia kembali melihat lowongan yang merupakan kekosongan atau kelemahan dari lawan, secepat kilat sulingnya meluncur ke arah kiri dada Hong Bu dan sebelum pemuda ini dapat menghindarkan diri karena memang posisinya sudah terdesak dan terkurung, tahu-tahu ujung suling sudah mengenai dada kirinya.
“Duk!”
Sim Hong Bu terkejut bukan main karena biarpun ujung suling itu dengan tepat sekali mengenai dada, namun tidak terasa apa-apa dan totokan tadi sama sekali tidak mengandung kekuatan sin-kang sehingga ketika mengenai kulit dadanya lalu membalik!
Dari heran, Hong Bu menjadi merah mukanya karena dia pun maklum bahwa lawannya sengaja tidak mengisi tenaga pada totokan tadi, dan hal ini hanya dapat diartikan bahwa lawan memang tidak menghendaki berkelahi dengannya. Padahal, dia pun mengerti benar bahwa kalau tadi Kam Hong mengisi totokannya dengan tenaga sin-kang, dia tentu sudah roboh, kalau tidak mati seketika, sedikitnya tentu terluka parah atau roboh tertotok dan kalah.
Jelaslah bahwa pendekar yang dikagumi dan dihormatinya itu memang sengaja tidak mau mengalahkannya, hal ini benar-benar membuat dia merasa berterima kasih akan tetapi juga membuka matanya bahwa dia kalah jauh dalam hal pengalaman dibandingkan dengan pendekar sakti ini. Maka, kalau dia melanjutkan pertandingan itu, sama saja dengan mengaku bahwa dia tidak tahu diri!
“Trang....!”
Pedang bertemu dengan suling dan pedang itu terlepas dari tangan Hong Bu. Pemuda ini melangkah mundur dan menjura.
“Kam-taihiap, saya Sim Hong Bu yang mewakili keluarga Cu mengaku bahwa di tanganku, Koai-liong Kiam-sut telah kalah melawan Kim-siauw Kiam-sut!” Lalu dia menjura lagi dan mengambil pedangnya dari atas tanah.
“Saudara Sim Hong Bu, engkau terlalu merendah. Koai-liong Kiam-sut hebat bukan main dan kalau toh aku dapat mengunggulimu sedikit, hal itu bukan karena ilmunya, melainkan karena engkau kalah matang dalam latihan dan pengalaman. Ilmu pedangmu hebat bukan main!”
“Apa ini? Saling mengalah dan saling merendah! Sim Hong bu, kakak seperguruanku memang lemah. Biarlah aku yang mewakili Kim-siauw Kiam-sut, ingin kucoba sampai di mana hebatnya Koai-liong Kiam-sut, dan antara kita tidak perlu ada sungkan-sungkanan dan mengalah segala macam!”
Berkata demikian, Ci Sian sudah menyerang dengan suling emasnya, serangan maut yang hebat sekali sehingga terpaksa Hong Bu menangkis.
“Cringggg....!” Bunga api berpijar saking kerasnya pertemuan senjata itu.
“Sumoi, jangan....!” teriak Kam Hong.
“Ci Sian, aku sudah mengaku kalah,” kata Hong Bu, suaranya mengandung kegetiran hati.
Dia telah patah hati dan dia tadi menghendaki tewas di tangan pendekar sakti Kam Hong, siapa kira pendekar itu mengalah dan dia kalah tanpa terluka sedikit pun. Hal ini membuatnya merasa perih sekali karena dibiarkan hidup menderita patah hati!
“Tidak, tadi Suheng telah banyak mengalah dan engkau sengaja membiarkan pedangmu lepas. Kau kira siapa aku ini? Anak kecil yang mudah saja dibodohi? Hayo, lawan aku, kalau engkau tidak berani dan kalau engkau takut, selanjutnya engkau harus mengaku sebagai seorang pengecut!”
“Ci Sian....!” Hong Bu berseru, jantungnya seperti ditusuk rasanya.
“Sumoi, engkau terlalu....!”
“Engkau berpihak kepadanya, Suheng? Boleh, kau berdua keroyoklah aku!”
Berkata demikian, Ci Sian sudah menyerang lagi kepada Hong Bu yang terpaksa harus menggerakkan pedang dan melindungi dirinya kalau tidak mau mati konyol. Hatinya berduka bukan main. Tentu saja pantang baginya untuk hidup sebagai pengecut! Maka terpaksa dia pun menangkis dan balas menyerang sehingga seaat kemudian mereka berdua telah bertanding dengan seru dan hebat.
Kam Hong berdiri bingung sekali, tidak mengerti mengapa sumoinya demikian marah dan membenci Hong Bu.Pada saat itu muncul tiga orang yang bukan lain adalah Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan Cu Pek In! Mereka bertiga itu akhirnya dapat menemukan jejak Sim Hong Bu dan tiba di tempat itu pada saat Hong Bu sedang bertanding dengan hebatnya melawan Ci Sian.
Melihat ini Cu Pek In sudah hendak meloncat untuk membantu suhengnya, akan tetapi Cu Kang Bu memegang lengannya. Pendekar ini melihat betapa Kam Hong berdiri di situ sejak mereka datang dan sama sekali tidak membantu Ci Sian. Oleh karena itu, kalau sekarang dia serombongan datang-datang lalu membantu Sim Hong Bu, sungguh hal ini merupakan suatu kecurangan yang membikin malu. Inilah sebabnya maka dia mencegah keponakannya untuk membantu Hong Bu. Dan pendekar tinggi besar ini pun sudah memandang penuh dengan kekaguman karena pertandingan antara mereka itu sungguh hebat luar biasa. Baru sekaranglah dia dapat mengagumi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang diwarisi oleh Hong Bu, akan tetapi dia juga berkesempatan menyaksikan kehebatan suling emas di tangan dara itu. Hebat sekali! Kedua ilmu itu sungguh merupakan ilmu yang jarang dapat ditemukan tandingannya di dunia ini.
Akan tetapi hanya Kam Hong seorang yang sudah dapat mengenal kedua ilmu itu dan dapat mengikuti pertandingah itu dengan amat jelas yang melihat kenyataan betapa Sim Hong Bu kini selalu mengalah terhadap Ci Sian! Kalau tadi dia sendiri mengalah terhadap Sim Hong Bu, mengalah sedikit saja, kini Hong Bu mengalah secara keterlaluan! Pemuda itu tidak pernah melakukan serangan yang sungguh-sungguh, sebaliknya, Ci Sian yang melakukan serangan dengan jurus-jurus terampuh dari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut.
Sementara itu, ketika Hong Bu melihat datangnya susioknya dan dua orang wanita yang tidak dilihatnya jelas karena dia didesak hebat oleh lawan, hatinya terguncang dan kedukaannya memuncak, maka ketika itu gerakannya menangkis kurang tepat dan kurang kuat.
“Tokkk!”
Ujung suling itu mengenai lehernya, dan biarpun dia sudah miringkan kepalanya, masih saja ujung suling itu mengenai pangkal lehernya. Serangan ini hebat sekali dan Hong Bu terjungkal dan terbanting, tak mampu bergerak lagi!
“Suheng....!”
Cu Pek In menjerit dan menubruk tubuh itu sedangkan Kam Hong sudah menarik tangan Ci Sian yang juga terbelalak memandang ke arah Hong Bu, wajahnya agak pucat karena ia tidak bermaksud membunuh Hong Bu dan kini melihat pemuda itu terjungkal, hatinya merasa ngeri karena ia khawatir kalau-kalau ia telah kelepasan tangan membunuh orang yang sebenarnya amat disukainya itu!
Pek In sudah menangis sambil memeluk tubuh Hong Bu yang tak bergerak seperti mayat itu. Mata pemuda itu mendelik dan mukanya pucat, napasnya berhenti! Cu Kang Bu cepat memeriksa dan mengurut beberapa jalan darah di dada, punggung dan leher, maka nampaklah Hong Bu mengeluh lirih dan napasnya pun berjalan kembali.
“Dia akan sembuh....” kata Cu Kang Bu dan melihat ini, Kam Hong dan Ci Sian merasa lega bukan main.
“Maafkan kami!” kata Kam Hong sambil menjura ke arah Cu Kang Bu, kemudian ia memegang tangan sumoinya dan menariknya pergi meninggalkan tempat itu.
Kam Hong maklum bahwa jika dibiarkan sumoinya berada di situ lebih lama lagi, bukan tidak mungkin timbul kesalah pahaman baru dengan keluarga Cu. Dia tidak menghendaki hal ini, apalagi di situ terdapat pula Yu Hwi, bekas tunangannya dan hal ini pun membuat dia merasa tidak enak sekali. Dan agaknya Cu Kang Bu juga tidak ingin mencari urusan. Dia sudah melihat betapa jago dari keluarga Cu telah kalah dan dia tahu bahwa melawan Pendekar Suling Emas dan sumoinya yang amat lihai itu dia dan isterinya tidak akan menang.
Cu Pek In sudah memondong tubuh Hong Bu.
“Mari kita mencari tempat yang baik untuk merawatnya,” kata gadis itu kepada pamannya.
“Baik, akan tetapi biarkan aku memondongnya, Pek In,” kata pamannya.
“Biarlah, Paman, biarlah aku memondongnya,”
Pek In berkata dan mendekap tubuh pemuda itu seperti orang memondong anak kecil saja. Bagi seorang gadis seperti Pek In yang memiliki kepandaian cukup tinggi, memondong tubuh seorang dewasa bukan hal yang sukar.
Akhirnya mereka menemukan sebuah pondok kecil terpencil di luar dusun. Mereka menyewa pondok ini dari kakek petani yang memilikinya dan Pek In lalu merebahkan Hong Bu di atas dipan bambu sederhana yang berada di dalam kamar. Cu Kang Bu dan Yu Hwi segera memeriksa kembali keadaan pemuda itu. Mereka adalah suami isteri yang berilmu tinggi, bahkan Yu Hwi mengerti pula tentang ilmu pengobatan.
Terdengar pula suara pedang seperti suara mengaum-aum dan suara suling yang melengking-lengking, dan angin yang amat keras menyambar, membuat daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang dan kadang-kadang seperti dilanda angin berpusing.
Ci Sian sendiri bengong, kagum sekali menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini.
Diam-diam harus diakuinya bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh Sim Hong Bu memang hebat bukan main, dan agaknya sama sekali tidak kalah dibandingkan dengan Kim-siauw Kiam-sut yang dimainkan dengan suling emas itu. Sebagai seorang ahli, ia pun dapat mengikuti gerakan mereka, walaupun kadang-kadang gerakan kedua orang itu terlalu cepat untuk dapat diikuti dengan mata. Ia melihat betapa suhengnya bersilat dengan baik sekali, hampir dapat dikata sempurna malah, memainkan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut, akan tetapi tetap saja ia masih melihat keraguan dalam gerakan suhengnya itu, seolah-olah dia tidak menghendaki perkelahian itu dan bertanding karena terpaksa sekali.
Setelah lewat seratus jurus, keduanya sudah benar-benar bebas dari keraguan dan keduanya kini sudah lupa diri. Yang ada hanyalah kegembiraan bertanding karena baru sekarang mereka benar-benar bertemu lawan yang setanding, dan baru sekali ini mereka bertanding tanpa ada sedikit pun perasaan benci atau marah. Kini mereka bertanding demi ilmu itu sendiri, seperti orang berlatih saja, akan tetapi jauh lebih hebat dan sungguh karena keduanya tidak mau sampai kalah. Maka, kini hanya jurus-jurus yang paling ampuh sajalah yang mereka keluarkan dan di dalam hati mereka penuh kekaguman terhadap lawan.
Sukar dilihat siapa yang terdesak dan siapa yang mendesak antara keduanya, karena betapapun juga, setelah kini mereka melihat intinya, ada unsur-unsur yang sama dalam dasar ilmu pedang mereka. Hanya dalam hal tenaga dalam, Sim Hong Bu harus mengakui bahwa dia masih kalah setingkat! Akan tetapi, Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut demikian hebatnya sehingga kekalahan tenaga ini dapat ditutupnya dengan gerakan cepat dan aneh sehingga dia tidak harus mengadu tenaga secara langsung.
Serang menyerang terjadi, tikaman dan totokan ditukar, bacokan dan pukulan silih berganti, dan bukan hanya senjata mereka yang saling menyambar, melainkan juga tangan kiri mereka sering kali melakukan totokan dan pukulan maut yang amat hebat, yang kalau ditangkis menimbulkan getaran yang bahkan terasa pula oleh Ci Sian yang berdiri di pinggir.
Setelah lewat dua ratus jurus, Ci Sian memandang dengan alis berkerut. Sebagai seorang ahli, maklumlah dara ini bahwa perkelahian sehebat ini kalau dilanjutkan, tentu hanya berakibat robohnya seorang di antara mereka, mungkin roboh untuk tidak dapat bangkit kembali atau tewas. Setiap serangan yang dilakukan mereka itu adalah serangan maut yang amat hebat, yang kalau mengenai lawan sudah pasti akan merenggut nyawa lawan!
Memang benarlah apa yang dipikirkan oleh Ci Sian ini. Setelah lewat dua ratus jurus Kam Hong yang lebih matang dalam hal latihan, dan juga memang lebih sempurna menguasai ilmunya, dapat melihat kelemahan-kelemahan yang walaupun sedikit dalam gerakan Hong Bu, namun cukuplah untuk dimasukinya dengan serangan kilat yang akan membuat lawan roboh. Akan tetapi pendekar ini tidak tega merobohkan Hong Bu dengan serangan maut. Dia sama sekali tidak ingin melukainya dengan berat. Timbul keraguan dalam hatinya. Apa gunanya kalau dia menang? Sebaliknya, andaikata dia mengalah sekalipun, hal itu pasti akan diketahui oleh Sim Hong Bu dan juga oleh Bu Ci Sian dan tidak akan ada manfaatnya lagi, bahkan mungkin Hong Bu akan merasa tersinggung kalau dia sengaja mengalah.
Maka, sebaiknya kalau dia memberi isyarat kepada pemuda itu bahwa dia tidak ingin bermusuhan dan bahwa dia bersedia menghentikan pertandingan itu dan bersedia pula mengalah. Oleh karena itu, ketika dia kembali melihat lowongan yang merupakan kekosongan atau kelemahan dari lawan, secepat kilat sulingnya meluncur ke arah kiri dada Hong Bu dan sebelum pemuda ini dapat menghindarkan diri karena memang posisinya sudah terdesak dan terkurung, tahu-tahu ujung suling sudah mengenai dada kirinya.
“Duk!”
Sim Hong Bu terkejut bukan main karena biarpun ujung suling itu dengan tepat sekali mengenai dada, namun tidak terasa apa-apa dan totokan tadi sama sekali tidak mengandung kekuatan sin-kang sehingga ketika mengenai kulit dadanya lalu membalik!
Dari heran, Hong Bu menjadi merah mukanya karena dia pun maklum bahwa lawannya sengaja tidak mengisi tenaga pada totokan tadi, dan hal ini hanya dapat diartikan bahwa lawan memang tidak menghendaki berkelahi dengannya. Padahal, dia pun mengerti benar bahwa kalau tadi Kam Hong mengisi totokannya dengan tenaga sin-kang, dia tentu sudah roboh, kalau tidak mati seketika, sedikitnya tentu terluka parah atau roboh tertotok dan kalah.
Jelaslah bahwa pendekar yang dikagumi dan dihormatinya itu memang sengaja tidak mau mengalahkannya, hal ini benar-benar membuat dia merasa berterima kasih akan tetapi juga membuka matanya bahwa dia kalah jauh dalam hal pengalaman dibandingkan dengan pendekar sakti ini. Maka, kalau dia melanjutkan pertandingan itu, sama saja dengan mengaku bahwa dia tidak tahu diri!
“Trang....!”
Pedang bertemu dengan suling dan pedang itu terlepas dari tangan Hong Bu. Pemuda ini melangkah mundur dan menjura.
“Kam-taihiap, saya Sim Hong Bu yang mewakili keluarga Cu mengaku bahwa di tanganku, Koai-liong Kiam-sut telah kalah melawan Kim-siauw Kiam-sut!” Lalu dia menjura lagi dan mengambil pedangnya dari atas tanah.
“Saudara Sim Hong Bu, engkau terlalu merendah. Koai-liong Kiam-sut hebat bukan main dan kalau toh aku dapat mengunggulimu sedikit, hal itu bukan karena ilmunya, melainkan karena engkau kalah matang dalam latihan dan pengalaman. Ilmu pedangmu hebat bukan main!”
“Apa ini? Saling mengalah dan saling merendah! Sim Hong bu, kakak seperguruanku memang lemah. Biarlah aku yang mewakili Kim-siauw Kiam-sut, ingin kucoba sampai di mana hebatnya Koai-liong Kiam-sut, dan antara kita tidak perlu ada sungkan-sungkanan dan mengalah segala macam!”
Berkata demikian, Ci Sian sudah menyerang dengan suling emasnya, serangan maut yang hebat sekali sehingga terpaksa Hong Bu menangkis.
“Cringggg....!” Bunga api berpijar saking kerasnya pertemuan senjata itu.
“Sumoi, jangan....!” teriak Kam Hong.
“Ci Sian, aku sudah mengaku kalah,” kata Hong Bu, suaranya mengandung kegetiran hati.
Dia telah patah hati dan dia tadi menghendaki tewas di tangan pendekar sakti Kam Hong, siapa kira pendekar itu mengalah dan dia kalah tanpa terluka sedikit pun. Hal ini membuatnya merasa perih sekali karena dibiarkan hidup menderita patah hati!
“Tidak, tadi Suheng telah banyak mengalah dan engkau sengaja membiarkan pedangmu lepas. Kau kira siapa aku ini? Anak kecil yang mudah saja dibodohi? Hayo, lawan aku, kalau engkau tidak berani dan kalau engkau takut, selanjutnya engkau harus mengaku sebagai seorang pengecut!”
“Ci Sian....!” Hong Bu berseru, jantungnya seperti ditusuk rasanya.
“Sumoi, engkau terlalu....!”
“Engkau berpihak kepadanya, Suheng? Boleh, kau berdua keroyoklah aku!”
Berkata demikian, Ci Sian sudah menyerang lagi kepada Hong Bu yang terpaksa harus menggerakkan pedang dan melindungi dirinya kalau tidak mau mati konyol. Hatinya berduka bukan main. Tentu saja pantang baginya untuk hidup sebagai pengecut! Maka terpaksa dia pun menangkis dan balas menyerang sehingga seaat kemudian mereka berdua telah bertanding dengan seru dan hebat.
Kam Hong berdiri bingung sekali, tidak mengerti mengapa sumoinya demikian marah dan membenci Hong Bu.Pada saat itu muncul tiga orang yang bukan lain adalah Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan Cu Pek In! Mereka bertiga itu akhirnya dapat menemukan jejak Sim Hong Bu dan tiba di tempat itu pada saat Hong Bu sedang bertanding dengan hebatnya melawan Ci Sian.
Melihat ini Cu Pek In sudah hendak meloncat untuk membantu suhengnya, akan tetapi Cu Kang Bu memegang lengannya. Pendekar ini melihat betapa Kam Hong berdiri di situ sejak mereka datang dan sama sekali tidak membantu Ci Sian. Oleh karena itu, kalau sekarang dia serombongan datang-datang lalu membantu Sim Hong Bu, sungguh hal ini merupakan suatu kecurangan yang membikin malu. Inilah sebabnya maka dia mencegah keponakannya untuk membantu Hong Bu. Dan pendekar tinggi besar ini pun sudah memandang penuh dengan kekaguman karena pertandingan antara mereka itu sungguh hebat luar biasa. Baru sekaranglah dia dapat mengagumi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang diwarisi oleh Hong Bu, akan tetapi dia juga berkesempatan menyaksikan kehebatan suling emas di tangan dara itu. Hebat sekali! Kedua ilmu itu sungguh merupakan ilmu yang jarang dapat ditemukan tandingannya di dunia ini.
Akan tetapi hanya Kam Hong seorang yang sudah dapat mengenal kedua ilmu itu dan dapat mengikuti pertandingah itu dengan amat jelas yang melihat kenyataan betapa Sim Hong Bu kini selalu mengalah terhadap Ci Sian! Kalau tadi dia sendiri mengalah terhadap Sim Hong Bu, mengalah sedikit saja, kini Hong Bu mengalah secara keterlaluan! Pemuda itu tidak pernah melakukan serangan yang sungguh-sungguh, sebaliknya, Ci Sian yang melakukan serangan dengan jurus-jurus terampuh dari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut.
Sementara itu, ketika Hong Bu melihat datangnya susioknya dan dua orang wanita yang tidak dilihatnya jelas karena dia didesak hebat oleh lawan, hatinya terguncang dan kedukaannya memuncak, maka ketika itu gerakannya menangkis kurang tepat dan kurang kuat.
“Tokkk!”
Ujung suling itu mengenai lehernya, dan biarpun dia sudah miringkan kepalanya, masih saja ujung suling itu mengenai pangkal lehernya. Serangan ini hebat sekali dan Hong Bu terjungkal dan terbanting, tak mampu bergerak lagi!
“Suheng....!”
Cu Pek In menjerit dan menubruk tubuh itu sedangkan Kam Hong sudah menarik tangan Ci Sian yang juga terbelalak memandang ke arah Hong Bu, wajahnya agak pucat karena ia tidak bermaksud membunuh Hong Bu dan kini melihat pemuda itu terjungkal, hatinya merasa ngeri karena ia khawatir kalau-kalau ia telah kelepasan tangan membunuh orang yang sebenarnya amat disukainya itu!
Pek In sudah menangis sambil memeluk tubuh Hong Bu yang tak bergerak seperti mayat itu. Mata pemuda itu mendelik dan mukanya pucat, napasnya berhenti! Cu Kang Bu cepat memeriksa dan mengurut beberapa jalan darah di dada, punggung dan leher, maka nampaklah Hong Bu mengeluh lirih dan napasnya pun berjalan kembali.
“Dia akan sembuh....” kata Cu Kang Bu dan melihat ini, Kam Hong dan Ci Sian merasa lega bukan main.
“Maafkan kami!” kata Kam Hong sambil menjura ke arah Cu Kang Bu, kemudian ia memegang tangan sumoinya dan menariknya pergi meninggalkan tempat itu.
Kam Hong maklum bahwa jika dibiarkan sumoinya berada di situ lebih lama lagi, bukan tidak mungkin timbul kesalah pahaman baru dengan keluarga Cu. Dia tidak menghendaki hal ini, apalagi di situ terdapat pula Yu Hwi, bekas tunangannya dan hal ini pun membuat dia merasa tidak enak sekali. Dan agaknya Cu Kang Bu juga tidak ingin mencari urusan. Dia sudah melihat betapa jago dari keluarga Cu telah kalah dan dia tahu bahwa melawan Pendekar Suling Emas dan sumoinya yang amat lihai itu dia dan isterinya tidak akan menang.
Cu Pek In sudah memondong tubuh Hong Bu.
“Mari kita mencari tempat yang baik untuk merawatnya,” kata gadis itu kepada pamannya.
“Baik, akan tetapi biarkan aku memondongnya, Pek In,” kata pamannya.
“Biarlah, Paman, biarlah aku memondongnya,”
Pek In berkata dan mendekap tubuh pemuda itu seperti orang memondong anak kecil saja. Bagi seorang gadis seperti Pek In yang memiliki kepandaian cukup tinggi, memondong tubuh seorang dewasa bukan hal yang sukar.
Akhirnya mereka menemukan sebuah pondok kecil terpencil di luar dusun. Mereka menyewa pondok ini dari kakek petani yang memilikinya dan Pek In lalu merebahkan Hong Bu di atas dipan bambu sederhana yang berada di dalam kamar. Cu Kang Bu dan Yu Hwi segera memeriksa kembali keadaan pemuda itu. Mereka adalah suami isteri yang berilmu tinggi, bahkan Yu Hwi mengerti pula tentang ilmu pengobatan.
0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 187"
Posting Komentar