Malam itu, dua belas buah perahu berhenti dan membuang jangkar, tidak berani melanjutkan perjalanan karena daerah itu berbahaya, banyak terdapat bukit-bukit es yang mengambang dan dapat tertabrak perahu. Apalagi malam itu gelap sekali. Cin Liong juga menghentikan perahunya dan melepas jangkar, berlindung di belakang sebuah bukit es. Akan tetapi, pada keesokan harinya, sebelum terjadi kesibukan di perahu-perahu besar itu, dia sudah mendahului mereka dan mendayung perahunya menuju ke pulau itu. Pagi itu masih gelap, kabut tebal menyelimuti pulau sehingga dengan mudah Cin Liong dapat mendarat.
Dengan berindap-indap dia mendaki tebing pulau itu. Sebuah pulau batu karang yang sebagian tertutup salju. Akan tetapi, setelah tiba di tebing yang paling tinggi, yaitu di bagian barat pulau, dan memandang ke sekeliling, dia tidak melihat adanya bangunan!
Padahal, menurut penuturan orang tuanya, katanya di tengah pulau itu terdapat sebuah bangunan besar yang kuno, yang disebut Istana Pulau Es! Benarkah ini pulau itu? Kalau benar, mana istananya?
Dia berada di puncak tebing itu, menanti sampai sinar matahari pagi perlahan-lahan mengusir kabut yang menghalangi pandangannya. Cuaca menjadi semakin terang dan dia dapat melihat jelas, akan tetapi bukan istana yang dilihatnya, melainkan serombongan orang yang mendaki tebing itu dari berbagai jurusan dengan gerakan cepat dan lincah!
Dia terkejut sekali, akan tetapi tidak melihat jalan untuk menyembunyikan diri. Ketika dia berlari ke kiri, dari situpun sudah nampak beberapa orang berlarian naik, demikian pula dari kanan dan depan, sedangkan di sebelah belakangnya adalah tebing curam yang tidak mungkin dapat dituruninya. Tebing itu amat curam, dalamnya tidak karang dari seratus meter dan di bawah tebing itu nampak air laut menggelora dan menghantami dinding tebing sehingga menjadi lekuk dalam seperti guha besar.
Cin Liong lalu bersikap pura-pura sebagai seorang nelayan yang tersesat ke pulau itu. Maka dia sengaja bersikap tenang dan pura-pura tidak tahu bahwa ada orang-orang naik ke puncak tebing itu dari tiga jurusan. Setelah mereka dekat, barulah dia pura-pura kaget, memandang dan bangkit berdiri.
“Cu-wi siapakah dan hendak pergi ke manakah?” Cin Liong bertanya dengan muka bodoh.
“Siapa engkau?” bentak seorang di antara mereka yang usianya tidak kurang dari enam puluh tahun dan bersikap galak.
“Saya seorang nelayan yang kemalaman dan terpaksa bermalam di sini dan....”
“Tangkap pembohong ini! Dia tentu mata-mata Pulau Es!”
Empat orang menerjang maju hendak menangkap Cin Liong. Pemuda ini maklum bahwa sekali tertawan, tentu dia akan celaka. Orang-orang ini adalah gembong-gembong kaum sesat yang kejam. Andaikata dia benar seorang nelayan biasa yang tidak berdosa sekalipun tentu akan celaka kalau tertawan oleh mereka, apalagi dia yang hanya seorang nelayan palsu. Maka begitu empat orang itu menerjang maju, diapun bergerak cepat dan menggerakkan kaki tangannya. Dua orang terkena tamparannya dan terpelanting, akan tetapi yang dua orang lagi agaknya cukup lihai sehingga dapat mengelak dengan cepat!
Dan mereka semua kini merasa yakin bahwa pemuda tampan itu bukan nelayan biasa, maka terjadilah pengeroyokan di atas puncak tebing karang itu! Cin Liong mengamuk untuk mempertahankan diri dan segera dia memperoleh kenyataan betapa para pengeroyok itu sungguh bukan orang sembarangan, melainkan rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh! Dan mereka itu menyerangnya secara bertubi-tubi, mempergunakan senjata-senjata yang ampuh. Sedikitnya ada dua puluh orang yang menyerangnya.
Cin Liong adalah seorang panglima yang sudah seringkali melakukan pertempuran dan menghadapi pengeroyokan-pengeroyokan. Namun, harus diakuinya bahwa baru sekali ini dia menghadapi pengeroyokan orang-orang yang lihai ilmu silatnya.
Bagaimanapun juga, tingkat kepandaian para pengeroyok itu masih jauh di bawah tingkatnya, maka biarpun dia hanya bertangan kosong menghadapi puluhan batang senjata tajam, dia masih mampu mempertahankan diri dan merobohkan beberapa orang lagi, dan hanya pakaiannya saja yang robek tergores senjata tajam sedangkan luka ringan dideritanya pada pahanya yang tergores pedang pada saat paha itu tidak dilindungi sin-kang.
Pemuda ini adalah putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir, maka tentu saja sin-kangnya sudah kuat sekali dan dia dapat melindungi tubuhnya dengan hawa yang amat kuat terhadap serangan senjata tajam. Akan tetapi, pengerahan tenaga itu tentu saja tidak mungkin dilakukan terus-menerus dan pada saat kosong itulah pahanya tergores pedang tadi. Lukanya mengucurkan darah, akan tetapi tidak membuat gerakannya menjadi lemah, bahkan sebaliknya, dia mengamuk makin ganas bagaikan seekor naga mengamuk.
Akan tetapi, tiba-tiba muncul dua orang kakek yang begitu menyerangnya membuat pemuda ini terhuyung-huyung. Mereka itu adalah Hek-i Mo-ong sendiri dan seorang saikong yang mukanya brewokan dan yang memegang sebatang thi-pian (cambuk besi) berekor lima. Orang ini bukan lain adalah Ngo-bwe Sai-kong yang lihai, ketua dari Im-yang-pai.
“Tar-tar-tar-tarrr....!”
Cambuk besi itu melecut-lecut dan meledak-ledak dengan dahsyatnya. Cin Liong sedang menghadapi serangan-serangan tangan kosong Hek-i Mo-ong yang luar biasa berbahayanya itu, kini diserang oleh cambuk besi, menjadi repot bukan main. Pundak dan pangkal lengannya, juga pahanya telah terkena lecutan yang seperti kepala ular mematuk-matuk ke arah jalan darah yang mematikan. Biarpun Cin Liong masih dapat melindungi tubuhnya, namun tetap saja kulit dan daging bagian yang terkena lecutan menjadi robek-robek. Darah mengucur keluar dan dia masih terus didesak oleh Hek-i Mo-ong yang mulai merasa penasaran sekali.
Raja Iblis ini sekarang merasa pernah melihat Cin Liong, akan tetapi dia lupa lagi di mana. Dia hanya merasa yakin bahwa seorang pemuda yang memiliki kepandaian sehebat itu, tentu merupakan seorang pendekar di pihak musuh yang sudah sepatutnya kalau dibasmi. Maka diapun tidak malu-malu untuk mengeroyoknya bersama Ngo-bwe Sai-kong, walaupun dia merasa tidak akan kalah andaikata dia harus menghadapinya satu lawan satu. Kini, satu-satunya tujuan hatinya adalah membasmi semua keluarga pendekar, dimulai dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Maka, dia menganggap perkelahian ini sebagai suatu perjuangan dan tidak lagi perduli tentang etika atau kesopanan dalam dunia persilatan.
Setelah terdesak hebat sekali, Cin Liong maklum bahwa dia harus mengadu nyawa. Tidak ada jalan untuk meloloskan diri di pulau kosong ini. Dia seperti seekor harimau yang masuk perangkap, dan tahu bahwa pihak musuh takkan mengampuninya dan pasti akan membunuhnya. Maka, jalan satu-satunya hanyalah membunuh atau dibunuh! Sejak tadi, dia hanya mempergunakan ilmu-ilmu silat biasa seperti yang pernah dipelajarinya dari ayah bundanya. Akan tetapi, melihat keadaannya yang amat berbahaya, diapun lalu teringat akan ilmu-ilmu simpanannya, ilmu-ilmu dari ayahnya yang hanya boleh dipergunakan kalau keadaan sudah terlalu memaksa. Apalagi kini dia melihat betapa dua orang kakek yang sudah terlampau berat baginya itu dibantu lagi oleh sedikitnya tujuh orang yang mulai menyerangnya dari pelbagai jurusan!
“Hyaaaaaatttt....!” Cin Liong mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya bergerak aneh, memanjang ke depan seperti seekor naga dan gerakan kedua lengannya seperti cakar naga, kakinya menyambar-nyambar seperti ekor naga dan empat orang pengeroyok terpelanting ke kanan kiri dan tewas seketika karena tulang-tulang tubuh mereka remuk-remuk!
“Ah, dia murid Istana Gurun Pasir!”
Tiba-tiba Hek-i Mo-ong berseru kaget dan diapun mendesak ke depan. Ngo-bwe Sai-kong juga terkejut mendengar ini dan thi-pian di tangannya itu menyerang makin ganas. Sebuah di antara ujung cambuk besi itu mematuk ke arah ubun-ubun kepala Cin Liong. Bagian ini tidak dapat dilindungi terlalu kuat dan tidak mungkin dia berani menerima patukan ujung cambuk yang digerakkan dengan sin-kang kuat itu, maka Cin Liong terhuyung ke belakang ketika melompat. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hek-i Mo-ong.
Selagi tubuh pemnda itu masih berada di udara, dia mendesak maju dan mendorong dengan kedua telapak tangannya yang terbuka. Angin pukulan dahsyat menyambar keluar. Cin Liong tak dapat mengelak lagi, terpaksa mendorongkan kedua tangan untuk menyambut. Akan tetapi, karena tubuhnya belum menginjak tanah, ketika kedua tenaga bertemu, tubuhnya terdorong keras ke belakang dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kao Cin Liong terjengkang dan meluncur turun ke bawah tebing yang amat curam itu! Hek-i Mo-ong tertawa bergelak dan lari ke tepi tebing, diikuti oleh Ngo-bwe Sai-kong dan para anak buah mereka. Suara ketawa kakek itu masih bergema keras bersama dengan melayangnya tubuh pemuda itu ke bawah.
Mereka semua dapat melihat betapa tubuh itu menimpa air laut yang muncrat ke atas, kemudian tubuh itu tenggelam dan lenyap ditelan ombak yang membuih putih dan berkejaran menghantam karang! Tentu tubuh pemuda itu tenggelam, atau dicaplok ikan besar, atau dihempaskan oleh ombak ke batu karang dan hancur luluh! Dari atas itu saja, semua orang dapat melihat betapa tidak ada harapan sama sekali untuk hidup bagi orang yang sudah terjatuh ke tempat itu, apalagi dari ketinggian ini!
Akan tetapi, Hek-i Mo-ong dan para kawannya itu lupa bahwa urusan mati hidup bukanlah urusan manusia, dalam arti kata bahwa bukan manusia yang menentukan mati hidupnya seseorang. Bahkan mati hidup dirinya sendiripun merupakan rahasia bagi manusia. Oleh karena itu, mana mungkin mereka itu dapat memastikan bahwa pemuda yang terjatuh ke dalam laut dari tebing curam itu sudah tentu akan mati? Orang baru dapat menentukan mati hidupnya seseorang kalau dia sudah melihat keadaan orang itu. Yang ada hanya kenyataan, hidup ataukah mati. Akan tetapi, selagi hidup, tidak mungkin dapat menentukan dan mengenal tentang kematian, kecuali hanya melalui kira-kira dan anggapan-anggapan dan pendapat-pendapat kosong belaka, atau ikut-ikutan menurut pendapat orang-orang terdahulu atau kepercayaan-kepercayaan yang dianut masing-masing. Selagi jasmani masih hidup, tidak mungkin dapat merasakan bagaimana kematian itu. Baru keadaan tidur saja tidak dapat diketahui oleh kesadaran, apalagi keadaan mati.
Akan tetapi, kematian jasmani merupakan perobahan yang wajar. Ada kematian lain yang amat ditakuti manusia, yaitu kematian yang merupakan pelepasan dari semua ikatan! Inilah yang membuat orang menjadi takut untuk menghadapi kematian. Ikatan dengan benda yang disayangnya, dengan manusia lain yang dicintanya, dengan kedudukan, nama besar dan sebagainya yang kesemuanya itu dianggap amat menyenangkan. Jadi hakekatnya, orang takut mati karena enggan berpisah dari kesenangan!
Ketika dia terjengkang dan merasa betapa tubuhnya meluncur ke bawah, tahulah Cin Liong bahwa dia telah terjatuh ke bawah tebing. Dia sadar besar bahwa nyawanya terancam maut. Akan tetapi, gemblengan batin yang diterimanya sejak kecil membuat pemuda ini selalu waspada dan sedikitpun tidak menjadi panik. Biarpun tubuhnya melayang dari tempat begitu tinggi sedangkan di bawahnya menanti maut berupa air laut berombak yang susul-menyusul menghantam batu karang, namun dia tetap waspada dan dalam waktu beberapa detik itu saja otaknya telah membuat perhitungan yang masak. Dia tahu bahwa musuh-musuhnya yang lihai dan berjumlah banyak itu tentu mengamati kejatuhannya dari atas.
Kalau mereka melihat bahwa dia dapat menyelamatkan diri, tentu mereka akan mengejarnya dengan perahu-perahu mereka dan kalau hal ini terjadi, dia akan celaka. Maka, kalau dia dapat menyelamatkan diri dari kejatuhan ini, dia harus dapat berpura-pura tewas ditelan air laut dan hal ini membutuhkan perhitungan dan tindakan seketika yang matang.
Pertama-tama, dia harus dapat mengatur agar jatuhnya ke air tidak sampai terbanting keras, terutama kepalanya karena hal itu akan membuat dia pingsan dan sekali pingsan celakalah dia, tentu mati tenggelam atau kalau terapungpun tentu akan dibunuh oleh orang-orang itu, atau dihempaskan ombak menghantam batu karang! Maka, pertama-tama dia harus mengatur keseimbangan dirinya dan jatuh ke air dalam keadaan yang menguntungkan dirinya. Setelah itu, dia harus dapat menyelam dan mencari jalan agar tidak timbul kembali dan hal ini dapat dilakukan kalau dia dapat menyelam dan berenang memasuki guha di bawah tebing. Di situ dia akan selamat dan tidak akan nampak dari atas. Pikiran dan perhitungan masak ini dilakukan dalam waktu beberapa detik saja selagi tubuhnya meluncur ke bawah.
Dengan berindap-indap dia mendaki tebing pulau itu. Sebuah pulau batu karang yang sebagian tertutup salju. Akan tetapi, setelah tiba di tebing yang paling tinggi, yaitu di bagian barat pulau, dan memandang ke sekeliling, dia tidak melihat adanya bangunan!
Padahal, menurut penuturan orang tuanya, katanya di tengah pulau itu terdapat sebuah bangunan besar yang kuno, yang disebut Istana Pulau Es! Benarkah ini pulau itu? Kalau benar, mana istananya?
Dia berada di puncak tebing itu, menanti sampai sinar matahari pagi perlahan-lahan mengusir kabut yang menghalangi pandangannya. Cuaca menjadi semakin terang dan dia dapat melihat jelas, akan tetapi bukan istana yang dilihatnya, melainkan serombongan orang yang mendaki tebing itu dari berbagai jurusan dengan gerakan cepat dan lincah!
Dia terkejut sekali, akan tetapi tidak melihat jalan untuk menyembunyikan diri. Ketika dia berlari ke kiri, dari situpun sudah nampak beberapa orang berlarian naik, demikian pula dari kanan dan depan, sedangkan di sebelah belakangnya adalah tebing curam yang tidak mungkin dapat dituruninya. Tebing itu amat curam, dalamnya tidak karang dari seratus meter dan di bawah tebing itu nampak air laut menggelora dan menghantami dinding tebing sehingga menjadi lekuk dalam seperti guha besar.
Cin Liong lalu bersikap pura-pura sebagai seorang nelayan yang tersesat ke pulau itu. Maka dia sengaja bersikap tenang dan pura-pura tidak tahu bahwa ada orang-orang naik ke puncak tebing itu dari tiga jurusan. Setelah mereka dekat, barulah dia pura-pura kaget, memandang dan bangkit berdiri.
“Cu-wi siapakah dan hendak pergi ke manakah?” Cin Liong bertanya dengan muka bodoh.
“Siapa engkau?” bentak seorang di antara mereka yang usianya tidak kurang dari enam puluh tahun dan bersikap galak.
“Saya seorang nelayan yang kemalaman dan terpaksa bermalam di sini dan....”
“Tangkap pembohong ini! Dia tentu mata-mata Pulau Es!”
Empat orang menerjang maju hendak menangkap Cin Liong. Pemuda ini maklum bahwa sekali tertawan, tentu dia akan celaka. Orang-orang ini adalah gembong-gembong kaum sesat yang kejam. Andaikata dia benar seorang nelayan biasa yang tidak berdosa sekalipun tentu akan celaka kalau tertawan oleh mereka, apalagi dia yang hanya seorang nelayan palsu. Maka begitu empat orang itu menerjang maju, diapun bergerak cepat dan menggerakkan kaki tangannya. Dua orang terkena tamparannya dan terpelanting, akan tetapi yang dua orang lagi agaknya cukup lihai sehingga dapat mengelak dengan cepat!
Dan mereka semua kini merasa yakin bahwa pemuda tampan itu bukan nelayan biasa, maka terjadilah pengeroyokan di atas puncak tebing karang itu! Cin Liong mengamuk untuk mempertahankan diri dan segera dia memperoleh kenyataan betapa para pengeroyok itu sungguh bukan orang sembarangan, melainkan rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh! Dan mereka itu menyerangnya secara bertubi-tubi, mempergunakan senjata-senjata yang ampuh. Sedikitnya ada dua puluh orang yang menyerangnya.
Cin Liong adalah seorang panglima yang sudah seringkali melakukan pertempuran dan menghadapi pengeroyokan-pengeroyokan. Namun, harus diakuinya bahwa baru sekali ini dia menghadapi pengeroyokan orang-orang yang lihai ilmu silatnya.
Bagaimanapun juga, tingkat kepandaian para pengeroyok itu masih jauh di bawah tingkatnya, maka biarpun dia hanya bertangan kosong menghadapi puluhan batang senjata tajam, dia masih mampu mempertahankan diri dan merobohkan beberapa orang lagi, dan hanya pakaiannya saja yang robek tergores senjata tajam sedangkan luka ringan dideritanya pada pahanya yang tergores pedang pada saat paha itu tidak dilindungi sin-kang.
Pemuda ini adalah putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir, maka tentu saja sin-kangnya sudah kuat sekali dan dia dapat melindungi tubuhnya dengan hawa yang amat kuat terhadap serangan senjata tajam. Akan tetapi, pengerahan tenaga itu tentu saja tidak mungkin dilakukan terus-menerus dan pada saat kosong itulah pahanya tergores pedang tadi. Lukanya mengucurkan darah, akan tetapi tidak membuat gerakannya menjadi lemah, bahkan sebaliknya, dia mengamuk makin ganas bagaikan seekor naga mengamuk.
Akan tetapi, tiba-tiba muncul dua orang kakek yang begitu menyerangnya membuat pemuda ini terhuyung-huyung. Mereka itu adalah Hek-i Mo-ong sendiri dan seorang saikong yang mukanya brewokan dan yang memegang sebatang thi-pian (cambuk besi) berekor lima. Orang ini bukan lain adalah Ngo-bwe Sai-kong yang lihai, ketua dari Im-yang-pai.
“Tar-tar-tar-tarrr....!”
Cambuk besi itu melecut-lecut dan meledak-ledak dengan dahsyatnya. Cin Liong sedang menghadapi serangan-serangan tangan kosong Hek-i Mo-ong yang luar biasa berbahayanya itu, kini diserang oleh cambuk besi, menjadi repot bukan main. Pundak dan pangkal lengannya, juga pahanya telah terkena lecutan yang seperti kepala ular mematuk-matuk ke arah jalan darah yang mematikan. Biarpun Cin Liong masih dapat melindungi tubuhnya, namun tetap saja kulit dan daging bagian yang terkena lecutan menjadi robek-robek. Darah mengucur keluar dan dia masih terus didesak oleh Hek-i Mo-ong yang mulai merasa penasaran sekali.
Raja Iblis ini sekarang merasa pernah melihat Cin Liong, akan tetapi dia lupa lagi di mana. Dia hanya merasa yakin bahwa seorang pemuda yang memiliki kepandaian sehebat itu, tentu merupakan seorang pendekar di pihak musuh yang sudah sepatutnya kalau dibasmi. Maka diapun tidak malu-malu untuk mengeroyoknya bersama Ngo-bwe Sai-kong, walaupun dia merasa tidak akan kalah andaikata dia harus menghadapinya satu lawan satu. Kini, satu-satunya tujuan hatinya adalah membasmi semua keluarga pendekar, dimulai dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Maka, dia menganggap perkelahian ini sebagai suatu perjuangan dan tidak lagi perduli tentang etika atau kesopanan dalam dunia persilatan.
Setelah terdesak hebat sekali, Cin Liong maklum bahwa dia harus mengadu nyawa. Tidak ada jalan untuk meloloskan diri di pulau kosong ini. Dia seperti seekor harimau yang masuk perangkap, dan tahu bahwa pihak musuh takkan mengampuninya dan pasti akan membunuhnya. Maka, jalan satu-satunya hanyalah membunuh atau dibunuh! Sejak tadi, dia hanya mempergunakan ilmu-ilmu silat biasa seperti yang pernah dipelajarinya dari ayah bundanya. Akan tetapi, melihat keadaannya yang amat berbahaya, diapun lalu teringat akan ilmu-ilmu simpanannya, ilmu-ilmu dari ayahnya yang hanya boleh dipergunakan kalau keadaan sudah terlalu memaksa. Apalagi kini dia melihat betapa dua orang kakek yang sudah terlampau berat baginya itu dibantu lagi oleh sedikitnya tujuh orang yang mulai menyerangnya dari pelbagai jurusan!
“Hyaaaaaatttt....!” Cin Liong mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya bergerak aneh, memanjang ke depan seperti seekor naga dan gerakan kedua lengannya seperti cakar naga, kakinya menyambar-nyambar seperti ekor naga dan empat orang pengeroyok terpelanting ke kanan kiri dan tewas seketika karena tulang-tulang tubuh mereka remuk-remuk!
“Ah, dia murid Istana Gurun Pasir!”
Tiba-tiba Hek-i Mo-ong berseru kaget dan diapun mendesak ke depan. Ngo-bwe Sai-kong juga terkejut mendengar ini dan thi-pian di tangannya itu menyerang makin ganas. Sebuah di antara ujung cambuk besi itu mematuk ke arah ubun-ubun kepala Cin Liong. Bagian ini tidak dapat dilindungi terlalu kuat dan tidak mungkin dia berani menerima patukan ujung cambuk yang digerakkan dengan sin-kang kuat itu, maka Cin Liong terhuyung ke belakang ketika melompat. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hek-i Mo-ong.
Selagi tubuh pemnda itu masih berada di udara, dia mendesak maju dan mendorong dengan kedua telapak tangannya yang terbuka. Angin pukulan dahsyat menyambar keluar. Cin Liong tak dapat mengelak lagi, terpaksa mendorongkan kedua tangan untuk menyambut. Akan tetapi, karena tubuhnya belum menginjak tanah, ketika kedua tenaga bertemu, tubuhnya terdorong keras ke belakang dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kao Cin Liong terjengkang dan meluncur turun ke bawah tebing yang amat curam itu! Hek-i Mo-ong tertawa bergelak dan lari ke tepi tebing, diikuti oleh Ngo-bwe Sai-kong dan para anak buah mereka. Suara ketawa kakek itu masih bergema keras bersama dengan melayangnya tubuh pemuda itu ke bawah.
Mereka semua dapat melihat betapa tubuh itu menimpa air laut yang muncrat ke atas, kemudian tubuh itu tenggelam dan lenyap ditelan ombak yang membuih putih dan berkejaran menghantam karang! Tentu tubuh pemuda itu tenggelam, atau dicaplok ikan besar, atau dihempaskan oleh ombak ke batu karang dan hancur luluh! Dari atas itu saja, semua orang dapat melihat betapa tidak ada harapan sama sekali untuk hidup bagi orang yang sudah terjatuh ke tempat itu, apalagi dari ketinggian ini!
Akan tetapi, Hek-i Mo-ong dan para kawannya itu lupa bahwa urusan mati hidup bukanlah urusan manusia, dalam arti kata bahwa bukan manusia yang menentukan mati hidupnya seseorang. Bahkan mati hidup dirinya sendiripun merupakan rahasia bagi manusia. Oleh karena itu, mana mungkin mereka itu dapat memastikan bahwa pemuda yang terjatuh ke dalam laut dari tebing curam itu sudah tentu akan mati? Orang baru dapat menentukan mati hidupnya seseorang kalau dia sudah melihat keadaan orang itu. Yang ada hanya kenyataan, hidup ataukah mati. Akan tetapi, selagi hidup, tidak mungkin dapat menentukan dan mengenal tentang kematian, kecuali hanya melalui kira-kira dan anggapan-anggapan dan pendapat-pendapat kosong belaka, atau ikut-ikutan menurut pendapat orang-orang terdahulu atau kepercayaan-kepercayaan yang dianut masing-masing. Selagi jasmani masih hidup, tidak mungkin dapat merasakan bagaimana kematian itu. Baru keadaan tidur saja tidak dapat diketahui oleh kesadaran, apalagi keadaan mati.
Akan tetapi, kematian jasmani merupakan perobahan yang wajar. Ada kematian lain yang amat ditakuti manusia, yaitu kematian yang merupakan pelepasan dari semua ikatan! Inilah yang membuat orang menjadi takut untuk menghadapi kematian. Ikatan dengan benda yang disayangnya, dengan manusia lain yang dicintanya, dengan kedudukan, nama besar dan sebagainya yang kesemuanya itu dianggap amat menyenangkan. Jadi hakekatnya, orang takut mati karena enggan berpisah dari kesenangan!
Ketika dia terjengkang dan merasa betapa tubuhnya meluncur ke bawah, tahulah Cin Liong bahwa dia telah terjatuh ke bawah tebing. Dia sadar besar bahwa nyawanya terancam maut. Akan tetapi, gemblengan batin yang diterimanya sejak kecil membuat pemuda ini selalu waspada dan sedikitpun tidak menjadi panik. Biarpun tubuhnya melayang dari tempat begitu tinggi sedangkan di bawahnya menanti maut berupa air laut berombak yang susul-menyusul menghantam batu karang, namun dia tetap waspada dan dalam waktu beberapa detik itu saja otaknya telah membuat perhitungan yang masak. Dia tahu bahwa musuh-musuhnya yang lihai dan berjumlah banyak itu tentu mengamati kejatuhannya dari atas.
Kalau mereka melihat bahwa dia dapat menyelamatkan diri, tentu mereka akan mengejarnya dengan perahu-perahu mereka dan kalau hal ini terjadi, dia akan celaka. Maka, kalau dia dapat menyelamatkan diri dari kejatuhan ini, dia harus dapat berpura-pura tewas ditelan air laut dan hal ini membutuhkan perhitungan dan tindakan seketika yang matang.
Pertama-tama, dia harus dapat mengatur agar jatuhnya ke air tidak sampai terbanting keras, terutama kepalanya karena hal itu akan membuat dia pingsan dan sekali pingsan celakalah dia, tentu mati tenggelam atau kalau terapungpun tentu akan dibunuh oleh orang-orang itu, atau dihempaskan ombak menghantam batu karang! Maka, pertama-tama dia harus mengatur keseimbangan dirinya dan jatuh ke air dalam keadaan yang menguntungkan dirinya. Setelah itu, dia harus dapat menyelam dan mencari jalan agar tidak timbul kembali dan hal ini dapat dilakukan kalau dia dapat menyelam dan berenang memasuki guha di bawah tebing. Di situ dia akan selamat dan tidak akan nampak dari atas. Pikiran dan perhitungan masak ini dilakukan dalam waktu beberapa detik saja selagi tubuhnya meluncur ke bawah.
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 012"
Posting Komentar