“Maaf, kalau begitu kami tidak berani mengganggu kegembiraan keluarga Bu-enghiong. Biarlah kami datang besok pagi saja,” kata Kao Kok Cu.
“Ah, kenapa sungkan-sungkan? Silakan kami tahu bahwa Sam-wi merasa sungkan dan canggung karena kami tidak mengundang. Akan tetapi, biarlah sekarang kami mengundang Sam-wi untuk hadir dan duduk sebagai tamu kami yang terhormat.”
Kao Kok Cu memandang kepada isterinya. Wan Ceng adalah orang yang berhati keras dan terbuka. Kini melihat sikap tuan rumah, ia pun mengangguk kepada suaminya dan wanita gagah ini melepaskan kalungnya yang dihias mainan seekor naga emas mata mutiara biru yang amat indah. Setelah mereka masuk ke dalam ruangan itu, diikuti pandang mata seluruh tamu, juga pandang mata Bu Siok Lan yang mukanya sebentar berubah pucat dan sebentar berubah merah, Wan Ceng memelopori keluarganya, menghampiri Siok Lan dan berkata,
“Kami merasa gembira sekali memperoleh kesempatan untuk mengucapkan selamat atas pertunanganmu, Nona Bu Siok Lan. Dan sebagai tanda bahwa kami sekeluarga ikut merasa gembira, terimalah sebuah tanda mata dari kami ini!” Wan Ceng menyerahkan kalungnya yang amat indah itu.
Siok Lan girang sekali melihat sikap wanita gagah perkasa ini. Setelah ia memandang kepada ayah bundanya dan melihat isyarat yang menyetujui, ia pun lalu memakai kalung itu dibantu oleh Wan Ceng, lalu menghaturkan terima kasih. Peristiwa ini seolah-olah memecahkan semua dinding pemisah di antara mereka dan tiga orang tamu agung ini segera memberi selamat kepada Bu Seng Kin, kepada Nandini, bahkan mereka bertiga lalu diperkenalkan dengan calon suami Siok Lan, yaitu Cia Han Beng. Ketika mendengar siapa adanya tamu-tamu agung itu, tentu saja Han Beng terkejut setengah mati dan memandang kepada pria berlengan buntung itu dengan penuh kagum.
Nama besar Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir tentu saja sudah seringkali didengarnya dan tidak disangkanya bahwa kini dia akan berhadapan dengan pendekar itu, bahkan menerima ucapan selamat atas pertunangannya. Di lain pihak, ketika mendengar bahwa tunangan Siok Lan adalah murid utama dari Kun-lun-pai, keluarga Kao juga merasa kagum.
Mereka bertiga lalu dijamu sebagai tamu-tamu kehormatan dan semua orang bergembira-ria pada pesta sederhana itu. Di dalam percakapan mereka selanjutnya, kedua pihak adalah orang-orang yang berjiwa pendekar, hanya persoalan politik saja yang memisahkan mereka menjadi golongan patriot yang anti pemerintah dan golongan yang membantu pemerintah. Akan tetapi, keluarga Bu ini maklum bahwa belum tentu pembantu-pembantu pemerintah merupakan penjilat-penjilat yang hanya haus akan kekuasaan dan harta belaka. Mereka melihat kenyataan betapa orang seperti Kao Cin Liong itu biarpun menjadi seorang panglima, namun dia menjadi panglima karena ingin menenteramkan kehidupan rakyat, dan dia pun berani menentang ketidakadilan di kalangan atas.
Dalam kesempatan itu pula, menjelang bubar pesta, Kao Kok Cu memperoleh kesempatan baik untuk menyatakan isi hatinya kepada pihak tuan rumah.
“Bu-enghiong, sesungguhnya amat janggallah apa yang akan kami kemukakan ini, dan kalau tidak mengingat bahwa keluarga Bu adalah keluarga gagah perkasa yang seperti juga kami tentu akan lebih dapat menerima keterbukaan dan kejujuran, agaknya kami tidak akan berani mengemukakan maksud hati kami ini.”
Bu Seng Kin memandang tajam penuh selidik, juga penuh keheranan hati.
“Ah, urusan apakah gerangan yang dikandung dalam hati Kao-taihiap? Memang lebih baik segala urusan dikeluarkan melalui mulut dan diperbincangkan sampai beres, daripada disimpan di dalam hati dan dapat menimbulkan penyakit.”
Kao Kok Cu menarik napas panjang, lalu memandang kepada Cin Liong yang bersikap tenang saja. Kemudian memandang kepada isterinya. Melihat sikap suaminya yang kelihatan amat sungkan itu, Wan Ceng merasa kasihan dan ia pun berkata dengan terus terang kepada Bu Seng Kin,
“Beginilah, Bu-enghiong. Terus terang saja kami datang mengunjungi keluargamu adalah untuk melakukan lamaran terhadap puterimu....”
“Ehh....!” Puteri Nandini bangkit berdiri dan mukanya menjadi pucat. Wan Ceng tersenyum.
“Maaf, tentu saja kami tidak gila untuk meminang puterimu yang telah mengikat jodoh dengan orang lain. Maksud kami adalah melamar Bu Ci Sian.”
Nandini duduk kembali dan mukanya menjadi merah lagi. Bu Seng Kin terbelalak, lalu pandang matanya nampak muram.
“Untuk putera tunggal Ji-wi?” tanya Bu Seng Kin kepada suami isteri itu sambil memandang kepada Kao Cin Liong.
Kini Kao Kok Cu yang menjawab karena pertanyaan itu terasa amat tidak menyedapkan hatinya,
“Bu-enghiong, sekali lagi kami mohon maaf. Tentu engkau sendiri mengerti bahwa soal perjodohan adalah soal hati dari orang yang bersangkutan. Kami orang tua sekalipun tidak berhak mencampuri dan kami sebagai orang tua hanyalah melaksanakan saja hasrat hati anak yang bersangkutan. Jadi, tentu engkau maklum pula bahwa putera kami telah jatuh cinta kepada puterimu, yaitu Bu Ci Sian karena inilah kami mengajukan pinangan.”
Ucapan pendekar sakti berlengan satu itu sudah cukup jelas. Di situ terkandung penyesalan bahwa keluarga Kao pernah menolak usul ikatan jodoh dan kini malah mengajukan pinangan untuk puteri keluarga Bu yang lain. Semua itu dilakukan karena permintaan anak, dan juga dia mengingatkan bahwa jodoh adalah urusan hati, urusan cinta kasih antara kedua orang muda, oleh karena itu dapat saja terjadi seperti keadaan mereka, yaitu menolak Siok Lan dan meminang Ci Sian. Bu Seng Kin mengangguk-angguk, tersenyum dan mengelus jenggotnya. Kemudian dia menarik napas panjang dan berkata,
“Kao-taihiap tentu percaya kalau saya katakan bahwa kami sekeluarga merasa terhormat sekali dengan pinangan ini, dan sekiranya anakku Ci Sian itu setuju, tentu dengan hati dan tangan terbuka akan kami terima pinangan ini. Akan tetapi, hendaknya Sam-wi mengerti keadaan kami dan anak kami itu. Pernah Sam-wi saksikan sendiri sikap anak itu terhadap saya, dan ibunya sudah tiada. Agaknya, dalam urusan perjodohannya, saya pun sama sekali tidak dapat memutuskannya. Anakku itu agaknya.... ah lebih dekat dengan suhengnya daripada dengan kami, dan ini.... saya tidak dapat menyalahkannya. Sudahlah, tentu Sam-wi mengerti, yang jelas, saya akan merasa berbangga sekali kalau dapat mempunyai mantu seperti Jenderal Muda Kao Cin Liong. Akan tetapi, saya tidak berkuasa atas diri Ci Sian. Sebaiknya kalau Sam-wi menghubungi Ci Sian secara langsung saja. Kalau ia menerima, kami akan berbahagia sekali. Akan tetapi kalau ia menolak, saya pun tidak dapat berbuat apa-apa. Nah, hanya inilah yang dapat saya katakan sebagai jawaban atas pinangan Sam-wi.”
Keluarga Kao merasa puas dan gembira dengan jawaban itu. Memang mereka pun mengerti bahwa antara Ci Sian dan ayah kandungnya ini tidak ada hubungan yang baik.
Dan tentang perjodohan gadis itu tentu berada di tangan gadis itu sendiri. Hal ini dimengerti benar oleh Cin Liong yang sudah mengenal watak Ci Sian. Akan tetapi, Bu Seng Kin adalah ayah kandung Ci Sian, dan melewatinya dalam urusan perjodohan Ci Sian sungguh dapat diartikan sebagai penghinaan. Kini, mereka telah menyampaikan pinangan kepada pendekar itu dan biarpun pendekar itu tidak dapat memutuskan, namun pada dasarnya pendekar Bu telah menyetujui kalau puterinya berjodoh dengan Cin Liong dan ini sudah cukup bagi pemuda itu.
Ketika pesta bubar, mereka berpamit dan menghaturkan terima kasih. Setelah keluar dari kota Cin-an, Cin Liong tidak ikut dengan ayah bundanya yang hendak pulang kembali ke utara, ke tempat tinggal mereka, yaitu di Istana Gurun Pasir.
“Aku akan pergi ke kota raja lebih dulu,” kata pemuda itu, “Setelah melapor kepada Pangeran yang kini telah menjadi Kaisar, aku akan minta cuti dan akan pergi mencari Ci Sian sampai dapat. Setelah bertemu dan memperoleh keputusan, barulah aku akan menyusul Ayah dan Ibu pulang ke utara.”
Ayah dan ibu itu memberi banyak nasihat sebelum mereka berpisah, atau lebih banyak ibunya yang menghujaninya dengan nasihat-nasihat agar berhati-hati dan sebagainya.
Ayahnya Kao Kok Cu, tidak banyak bicara, hanya berkata dengan suara yang berwibawa,
“Cin Liong, satu hal harus kau ingat bahwa perjodohan hanya dapat dilaksanakan apabila keinginan itu hanya terdapat dari kedua pihak! Kalau keinginan itu hanya terdapat di satu pihak saja, kelak akan mendatangkan banyak masalah dalam rumah tangga. Dan ingat, cinta kasih bukan berarti harus menikah! Tapi kalau keduanya ada cinta kasih, menikah merupakan jalan yang paling tepat. Syukurlah andaikata gadis itu juga menghendaki perjodohan denganmu. Kalau ia tidak setuju, hal itu wajar saja dan tidak sepatutnya menyengsarakan perasaan hatimu.”
Pesan ayahnya ini meninggalkan kesan mendalam di hati Cin Liong. Dia tahu bahwa kalau sampai Ci Sian menolak cintanya, menolak menjadi isterinya, dia akan menderita pukulan batin, hatinya akan terasa sakit. Akan tetapi dia melihat pula kebenaran ucapan ayahnya, maka dia pun sudah bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun.
“Ah, kenapa sungkan-sungkan? Silakan kami tahu bahwa Sam-wi merasa sungkan dan canggung karena kami tidak mengundang. Akan tetapi, biarlah sekarang kami mengundang Sam-wi untuk hadir dan duduk sebagai tamu kami yang terhormat.”
Kao Kok Cu memandang kepada isterinya. Wan Ceng adalah orang yang berhati keras dan terbuka. Kini melihat sikap tuan rumah, ia pun mengangguk kepada suaminya dan wanita gagah ini melepaskan kalungnya yang dihias mainan seekor naga emas mata mutiara biru yang amat indah. Setelah mereka masuk ke dalam ruangan itu, diikuti pandang mata seluruh tamu, juga pandang mata Bu Siok Lan yang mukanya sebentar berubah pucat dan sebentar berubah merah, Wan Ceng memelopori keluarganya, menghampiri Siok Lan dan berkata,
“Kami merasa gembira sekali memperoleh kesempatan untuk mengucapkan selamat atas pertunanganmu, Nona Bu Siok Lan. Dan sebagai tanda bahwa kami sekeluarga ikut merasa gembira, terimalah sebuah tanda mata dari kami ini!” Wan Ceng menyerahkan kalungnya yang amat indah itu.
Siok Lan girang sekali melihat sikap wanita gagah perkasa ini. Setelah ia memandang kepada ayah bundanya dan melihat isyarat yang menyetujui, ia pun lalu memakai kalung itu dibantu oleh Wan Ceng, lalu menghaturkan terima kasih. Peristiwa ini seolah-olah memecahkan semua dinding pemisah di antara mereka dan tiga orang tamu agung ini segera memberi selamat kepada Bu Seng Kin, kepada Nandini, bahkan mereka bertiga lalu diperkenalkan dengan calon suami Siok Lan, yaitu Cia Han Beng. Ketika mendengar siapa adanya tamu-tamu agung itu, tentu saja Han Beng terkejut setengah mati dan memandang kepada pria berlengan buntung itu dengan penuh kagum.
Nama besar Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir tentu saja sudah seringkali didengarnya dan tidak disangkanya bahwa kini dia akan berhadapan dengan pendekar itu, bahkan menerima ucapan selamat atas pertunangannya. Di lain pihak, ketika mendengar bahwa tunangan Siok Lan adalah murid utama dari Kun-lun-pai, keluarga Kao juga merasa kagum.
Mereka bertiga lalu dijamu sebagai tamu-tamu kehormatan dan semua orang bergembira-ria pada pesta sederhana itu. Di dalam percakapan mereka selanjutnya, kedua pihak adalah orang-orang yang berjiwa pendekar, hanya persoalan politik saja yang memisahkan mereka menjadi golongan patriot yang anti pemerintah dan golongan yang membantu pemerintah. Akan tetapi, keluarga Bu ini maklum bahwa belum tentu pembantu-pembantu pemerintah merupakan penjilat-penjilat yang hanya haus akan kekuasaan dan harta belaka. Mereka melihat kenyataan betapa orang seperti Kao Cin Liong itu biarpun menjadi seorang panglima, namun dia menjadi panglima karena ingin menenteramkan kehidupan rakyat, dan dia pun berani menentang ketidakadilan di kalangan atas.
Dalam kesempatan itu pula, menjelang bubar pesta, Kao Kok Cu memperoleh kesempatan baik untuk menyatakan isi hatinya kepada pihak tuan rumah.
“Bu-enghiong, sesungguhnya amat janggallah apa yang akan kami kemukakan ini, dan kalau tidak mengingat bahwa keluarga Bu adalah keluarga gagah perkasa yang seperti juga kami tentu akan lebih dapat menerima keterbukaan dan kejujuran, agaknya kami tidak akan berani mengemukakan maksud hati kami ini.”
Bu Seng Kin memandang tajam penuh selidik, juga penuh keheranan hati.
“Ah, urusan apakah gerangan yang dikandung dalam hati Kao-taihiap? Memang lebih baik segala urusan dikeluarkan melalui mulut dan diperbincangkan sampai beres, daripada disimpan di dalam hati dan dapat menimbulkan penyakit.”
Kao Kok Cu menarik napas panjang, lalu memandang kepada Cin Liong yang bersikap tenang saja. Kemudian memandang kepada isterinya. Melihat sikap suaminya yang kelihatan amat sungkan itu, Wan Ceng merasa kasihan dan ia pun berkata dengan terus terang kepada Bu Seng Kin,
“Beginilah, Bu-enghiong. Terus terang saja kami datang mengunjungi keluargamu adalah untuk melakukan lamaran terhadap puterimu....”
“Ehh....!” Puteri Nandini bangkit berdiri dan mukanya menjadi pucat. Wan Ceng tersenyum.
“Maaf, tentu saja kami tidak gila untuk meminang puterimu yang telah mengikat jodoh dengan orang lain. Maksud kami adalah melamar Bu Ci Sian.”
Nandini duduk kembali dan mukanya menjadi merah lagi. Bu Seng Kin terbelalak, lalu pandang matanya nampak muram.
“Untuk putera tunggal Ji-wi?” tanya Bu Seng Kin kepada suami isteri itu sambil memandang kepada Kao Cin Liong.
Kini Kao Kok Cu yang menjawab karena pertanyaan itu terasa amat tidak menyedapkan hatinya,
“Bu-enghiong, sekali lagi kami mohon maaf. Tentu engkau sendiri mengerti bahwa soal perjodohan adalah soal hati dari orang yang bersangkutan. Kami orang tua sekalipun tidak berhak mencampuri dan kami sebagai orang tua hanyalah melaksanakan saja hasrat hati anak yang bersangkutan. Jadi, tentu engkau maklum pula bahwa putera kami telah jatuh cinta kepada puterimu, yaitu Bu Ci Sian karena inilah kami mengajukan pinangan.”
Ucapan pendekar sakti berlengan satu itu sudah cukup jelas. Di situ terkandung penyesalan bahwa keluarga Kao pernah menolak usul ikatan jodoh dan kini malah mengajukan pinangan untuk puteri keluarga Bu yang lain. Semua itu dilakukan karena permintaan anak, dan juga dia mengingatkan bahwa jodoh adalah urusan hati, urusan cinta kasih antara kedua orang muda, oleh karena itu dapat saja terjadi seperti keadaan mereka, yaitu menolak Siok Lan dan meminang Ci Sian. Bu Seng Kin mengangguk-angguk, tersenyum dan mengelus jenggotnya. Kemudian dia menarik napas panjang dan berkata,
“Kao-taihiap tentu percaya kalau saya katakan bahwa kami sekeluarga merasa terhormat sekali dengan pinangan ini, dan sekiranya anakku Ci Sian itu setuju, tentu dengan hati dan tangan terbuka akan kami terima pinangan ini. Akan tetapi, hendaknya Sam-wi mengerti keadaan kami dan anak kami itu. Pernah Sam-wi saksikan sendiri sikap anak itu terhadap saya, dan ibunya sudah tiada. Agaknya, dalam urusan perjodohannya, saya pun sama sekali tidak dapat memutuskannya. Anakku itu agaknya.... ah lebih dekat dengan suhengnya daripada dengan kami, dan ini.... saya tidak dapat menyalahkannya. Sudahlah, tentu Sam-wi mengerti, yang jelas, saya akan merasa berbangga sekali kalau dapat mempunyai mantu seperti Jenderal Muda Kao Cin Liong. Akan tetapi, saya tidak berkuasa atas diri Ci Sian. Sebaiknya kalau Sam-wi menghubungi Ci Sian secara langsung saja. Kalau ia menerima, kami akan berbahagia sekali. Akan tetapi kalau ia menolak, saya pun tidak dapat berbuat apa-apa. Nah, hanya inilah yang dapat saya katakan sebagai jawaban atas pinangan Sam-wi.”
Keluarga Kao merasa puas dan gembira dengan jawaban itu. Memang mereka pun mengerti bahwa antara Ci Sian dan ayah kandungnya ini tidak ada hubungan yang baik.
Dan tentang perjodohan gadis itu tentu berada di tangan gadis itu sendiri. Hal ini dimengerti benar oleh Cin Liong yang sudah mengenal watak Ci Sian. Akan tetapi, Bu Seng Kin adalah ayah kandung Ci Sian, dan melewatinya dalam urusan perjodohan Ci Sian sungguh dapat diartikan sebagai penghinaan. Kini, mereka telah menyampaikan pinangan kepada pendekar itu dan biarpun pendekar itu tidak dapat memutuskan, namun pada dasarnya pendekar Bu telah menyetujui kalau puterinya berjodoh dengan Cin Liong dan ini sudah cukup bagi pemuda itu.
Ketika pesta bubar, mereka berpamit dan menghaturkan terima kasih. Setelah keluar dari kota Cin-an, Cin Liong tidak ikut dengan ayah bundanya yang hendak pulang kembali ke utara, ke tempat tinggal mereka, yaitu di Istana Gurun Pasir.
“Aku akan pergi ke kota raja lebih dulu,” kata pemuda itu, “Setelah melapor kepada Pangeran yang kini telah menjadi Kaisar, aku akan minta cuti dan akan pergi mencari Ci Sian sampai dapat. Setelah bertemu dan memperoleh keputusan, barulah aku akan menyusul Ayah dan Ibu pulang ke utara.”
Ayah dan ibu itu memberi banyak nasihat sebelum mereka berpisah, atau lebih banyak ibunya yang menghujaninya dengan nasihat-nasihat agar berhati-hati dan sebagainya.
Ayahnya Kao Kok Cu, tidak banyak bicara, hanya berkata dengan suara yang berwibawa,
“Cin Liong, satu hal harus kau ingat bahwa perjodohan hanya dapat dilaksanakan apabila keinginan itu hanya terdapat dari kedua pihak! Kalau keinginan itu hanya terdapat di satu pihak saja, kelak akan mendatangkan banyak masalah dalam rumah tangga. Dan ingat, cinta kasih bukan berarti harus menikah! Tapi kalau keduanya ada cinta kasih, menikah merupakan jalan yang paling tepat. Syukurlah andaikata gadis itu juga menghendaki perjodohan denganmu. Kalau ia tidak setuju, hal itu wajar saja dan tidak sepatutnya menyengsarakan perasaan hatimu.”
Pesan ayahnya ini meninggalkan kesan mendalam di hati Cin Liong. Dia tahu bahwa kalau sampai Ci Sian menolak cintanya, menolak menjadi isterinya, dia akan menderita pukulan batin, hatinya akan terasa sakit. Akan tetapi dia melihat pula kebenaran ucapan ayahnya, maka dia pun sudah bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun.
**** 183 ****
0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 183"
Posting Komentar