“Wah, dia malah memaki-maki kita! Perlu apa dibiarkan hidup lagi?” bentak seorang yang tadi pernah merasakan lezatnya tendangan kaki anak ini, yang membuat perutnya mulas dan sampai sekarang masih terasa nyerinya. Dia sudah menerjang dan membacokkan goloknya ke arah leher Ceng Liong. Anak ini tak dapat mengelak, akan tetapi dia tidak berkedip, memandang datangnya golok yang akan memenggal lehernya, sedikitpun tidak kelihatan takut.
“Plakkk!” Golok ini terpental dan orang yang membacokkan golok itu terjungkal.
“Lancang! Siapa suruh membunuhnya?”
Hek-i Mo-ong membentak marah dan sekali lagi dia menggerakkan tubuh, tahu-tahu kakinya menendang dan orang yang tadinya hendak membunuh Ceng Liong, kini mengeluarkan jeritan mengerikan ketika tubuhnya terlempar keluar dari perahu dan jatuh ke dalam laut, terus tenggelam karena tendangan tadi sudah membunuhnya! Memang demikianlah kehidupan di antara kaum sesat itu. Keras dan kejam, setiap kesalahan betapapun kecilnya tentu akan dihukum secara keji. Hal ini membuat semua anak buah takut dan taat kepada pimpinannya.
Akan tetapi, sikap Hek-i Mo-ong yang menyelamatkan bocah tawanan itu membuat semua anak buahnya terheran-heran dan bingung. Biasanya, perbuatan kejam para anak buah terhadap musuh bahkan dianjurkan oleh pemimpin ini. Kenapa sekarang orang yang hendak membunuh bocah yang menjadi musuh ini malah dibunuh oleh Hek-i Mo-ong?
Mereka semua memandang dengan sinar mata mengandung penuh rasa penasaran. Hal ini diketahui oleh Hek-i Mo-ong. Dia menjambak rambut kepala Ceng Liong, memaksa muka anak itu menghadapinya dan dia menyeringai.
“Huh, siapapun di dunia ini tidak boleh merampas anak ini dari tanganku. Aku sendiri yang akan menyiksanya sampai mampus!”
Mendengar ucapan ini, mengertilah para anak buah penjahat itu dan merekapun tersenyum menyeringai dengan hati lega. Pantas saja teman mereka tadi dibunuh, kiranya teman itu hampir saja mengecewakan hati Hek-i Mo-ong, merampas calon korbannya.
Ceng Liong sendiri tertegun ketika melihat kenyataan bahwa nyawanya yang sudah nyaris melayang di bawah bacokan golok tadi kini telah diselamatkan oleh Hek-i Mo-ong, musuh besarnya! Sejenak dia menjadi bingung. Dia menganggap kakek raksasa ini sebagai musuh nomor satu karena selain kakek ini merupakan orang yang paling sakti dalam rombongan musuh yang menyerbu Pulau Es, juga kakek ini jelas merupakan pemimpin mereka yang paling berkuasa. Akan tetapi, kini musuh nomor satu ini telah menyelamatkan nyawanya.
Semenjak kecil, orang tua dan juga para nenek dan kakek di Pulau Es telah menekankan dalam batinnya bahwa seorang pendekar haruslah mengenal dan pandai membalas budi memegang teguh janji, dan tidak mendendam. Mana mungkin kini dia akan memusuhi, apa lagi mendendam, kepada seorang yang telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut? Dia telah berhutang nyawa kepada Hek-i Mo-ong! Kenyataan ini membuat anak itu tidak banyak mengeluarkan suara lagi dan dia hanya bergantung lemas pada kedua kakinya yang terlibat tali, bahkan dia lalu memejamkan kedua matanya. Tubuhnya letih dan terasa nyeri semua, perih-perih semua luka di tubuhnya, kepalanya pening dan akhirnya anak itupun terkulai pingsan.
Setelah siuman kembali, Ceng Liong mendapatkan dirinya berada di sebuah bilik kecil dan kosong, seperti kerangkeng anjing. Dia rebah begitu saja di atas lantai. Ketika dia bangkit duduk, hampir dia mengeluh karena terasa tubuhnya nyeri semua. Akan tetapi, ternyata ada orang yang telah mengobati luka-lukanya dengan semacam obat yang berwarna merah. Obat inilah agaknya yang membuat luka-lukanya terasa perih, akan tetapi luka-luka itupun mengering. Pakaiannya masih compang-camping, bekas bacokan-bacokan ketika dia dikeroyok tadi. Tadi? Atau kemarin? Dia tidak tahu lagi. Dia tidak tahu bahwa sudah semalam dia menggeletak pingsan atau tidur di lantai bilik perahu ini.
Dari guncangan dan ayunan yang dirasakannya, diapun tahu bahwa dia masih berada di dalam perahu dan diapun teringat bahwa dia telah menjadi tawanan Hek-i Mo-ong. Dia melihat hidangan dan air minum tak jauh dari kakinya. Seketika dia merasa betapa tubuhnya lemas, perutnya lapar dan mulutnya haus. Tidak perduli apa makanan itu dan dari siapa, yang penting adalah menjaga kesehatannya, pikirnya. Setelah kesehatannya pulih, baru dia akan melihat perkembangan untuk menentukan tindakan.
Ceng Liong lalu menyambar tempat air dan minum. Segar sekali rasanya, walaupun hanya air tawar dingin saja. Lalu diapun mulai makan, tidak lahap dan tidak terlalu banyak, hanya sekedar mengisi perutnya yang kosong. Setelah selesai makan, diapun memeriksa daun pintu dan jendela bilik itu yang ternyata amat kuat, tertutup jeruji-jeruji besi. Agaknya bilik ini memang dibuat khusus untuk tempat tawanan! Dan diapun melihat empat orang penjaga duduk di luar bilik. Ketika mereka bercakap-cakap, dia lalu mendekati pintu dan mendengarkan.
“Kita ini anak buah Jai-hwa Siauw-ok, sekarang malah mengabdi kepada Hek-i Mo-ong.” terdengar seorang di antara mereka mengomel.
“Hushh, perlu apa mengomel? Kita malah untung besar. Lihat saja teman-teman banyak yang tewas sejak kita menyerbu Pulau Es. Dan Jai-hwa Siauw-ok setelah berhasil menangkap gadis itu lalu memisahkan diri dan pergi meninggalkan kita semua!”
“Hemm, gadis Pulau Es itu memang cantik manis, heh-heh!”
“Dan kita tahu tidak ada kesukaan lain melebihi memetik bunga-bunga muda bagi pemimpin kita itu!”
“Yang dua orang lagi tentu mati ditelan air laut dalam badai itu!”
“Sayangnya, Jai-hwa Siauw-ok meninggalkan kita yang menjadi anak buahnya begitu saja, lalu bagaimana dengan kita yang tanpa pimpinan ini?”
“Kenapa ribut-ribut? Menjadi anak buah Hek-i Mo-ong lebih enak. Dia lebih berpengaruh, lebih sakti, dan juga lebih kaya dan royal dari pada Siauw-ok.”
Mendengarkan percakapan itu, Ceng Liong mengerutkan alisnya. Sungguh merupakan berita yang amat buruk. Agaknya encinya Suma Hui telah tertawan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Biarpun dia masih kecil, namun sebagai putera pendekar sakti, dia dapat menduga apa artinya jai-hwa (Pemetik Bunga), lebih-lebih Siauw-ok (Si Jahat Kecil) itu. Tentu encinya itu terancam bahaya yang mengerikan pula. Akan tetapi, dia tidak begitu mengkhawatirkan Suma Hui karena bagaimanapun juga, percakapan anak buah penjahat tadi menyatakan bahwa dara itu masih hidup. Dan selama masih hidup, ada saja harapan untuk meloloskan diri. Yang membuat dia khawatir adalah berita tentang Suma Ciang Bun dan Kao Cin Liong. Mereka berdua itu terlempar ke laut dan siapakah akan mampu menyelamatkan diri dari ancaman gelombang air laut dalam badai itu? Betapapun lihainya kakaknya, Ciang Bun atau keponakannya, Cin Liong, mereka berdua itu takkan mampu berbuat banyak terhadap amukan air laut dalam badai.
“Akan tetapi kenapa Mo-ong bersusah payah membawa bocah setan ini? Bukankah dia bilang hendak menyiksanya sampai mati? Bocah itu enak-enak di dalam bilik dan kita yang harus berpayah-payah menjaga siang malam, bahkan dia diberi makan lagi! Apa sih maksudnya?”
“Hushh, perlu apa mencampuri? Tugas kita hanya mentaati perintah!”
“Pula, masa begitu saja engkau tidak tahu?” sambung suara lain. “Biasa, kalau hendak memotong ayam, bukankah sebaiknya dibikin gemuk dulu?”
“Ha-ha-ha, engkau benar!”
“Hemm, jangan main-main. Aku mendengar bahwa anak itu hendak dibawa sebagai bukti keberhasilan penyerbuan kita ke Pulau Es dan di depan para datuk itulah baru dia akan dibunuh.”
“Ya, kabarnya akan dijadikan korban sembahyangan roh para kawan yang telah tewas di tangan keluarga Pulau Es selama ini.”
Ceng Liong sudah mendengar cukup. Dia menggedor pintu biliknya dan berseru nyaring,
“Heiii, anjing-anjing penjaga di luar, jangan berisik! Aku mau tidur, tahu?”
Empat orang penjaga itu bangkit berdiri, saling pandang lalu mereka mengepal tinju dan memandang ke arah pintu bilik itu dengan mata melotot dan muka merah.
“Bocah keparat!”
“Kurobek mulutnya!”
“Kalau aku yang diberi tugas membunuhnya kelak, akan kukerat dia sepotong demi sepotong!”
Akan tetapi Ceng Liong sudah tidak memperdulikan mereka lagi dan diapun mengusir segala kekhawatirannya tentang kakak-kakaknya dan Cin Liong, dengan cara duduk bersila dan tenggelam dalam samadhi.
Beberapa hari kemudian, perahu-perahu yang hanya tinggal tiga buah banyaknya itu karena yang sebuah dibawa oleh Jai-hwa Siauw-ok, agaknya terpisah atau memisahkan diri, mendarat di sebuah pesisir yang landai. Pantai Lautan Kuning ini berada di Propinsi Kiang-su dan ternyata di situ telah menanti sebuah kereta dan terdapat pula rombongan orang yang membawa banyak kuda.
Hek-i Mo-ong lalu membawa Ceng Liong yang digandeng tangannya memasuki kereta yang segera dilarikan, ditarik oleh dua ekor kuda besar. Para anak buah, sebagian ditinggalkan di perahu itu dan sebagian pula menunggang kuda mengiringkan kereta. Kereta dan rombongan itu membalap ke arah barat.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya rombongan itu berhenti di sebuah hutan yang lebat, yang berada di lereng sebuah bukit di perbatasan antara Propinsi Kiang-su dan Propinsi An-hwi, di lembah Sungai Huai. Tempat inilah yang terpilih untuk pertemuan para datuk itu.
Siapakah adanya Hek-i Mo-ong? Para pembaca cerita SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN tentu telah mengenalnya. Hek-i Mo-ong adalah seorang kakek raksasa yang bernama Phang Kui. Dia masih peranakan Bangsa Kozak, bertubuh tinggi besar.
Rambutnya putih semua sejak muda dan matanya agak kebiruan. Dahulu pernah dia mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal sebagai perkumpulan sesat. Anak buahnya dikenal sebagai gerombolan iblis yang amat kejam dan jahat, merupakan pasukan yang kuat dan berpengaruh di daerah Sin-kiang. Belasan tahun yang lalu, dengan dibantu oleh delapan orang murid kepala yang dikenal dengan sebutan Hek-i Pat-mo (Delapan Iblis Baju Hitam) Hek-i Mo-ong memimpin gerombolannya, seolah-olah menjadi raja kecil di daerah Sin-kiang dan semua pejabat setempat menjadi sekutunya.
Akan tetapi akhirnya perkumpulannya ini dihancurkan oleh sepasang pendekar sakti, yaitu keturunan Pendekar Suling Emas yang bernama Kam Hong bersama gadis yang kini menjadi isterinya, bernama Bu Ci Sian. Delapan orang murid kepala yang menjadi tangan kanannya itu tewas, bahkan Hek-i Mo-ong terpaksa harus melarikan diri dan meninggalkan lereng Ci-lian-san.
Usahanya untuk bergabung dengan Im-kan Ngo-ok dan membalas dendam ternyata gagal, bahkan Im-kan Nga-ok tewas semua oleh para pendekar muda (baca SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN ). Hancurlah semua impian Hek-i Mo-ong untuk membalas dendam, bahkan dia sendiri terpaksa melarikan diri lagi.
Selama beberapa tahun dia menyembunyikan diri, tidak berani keluar dan bertapa sambil memperdalam ilmu-ilmunya. Biarpun dia sudah menjadi semakin tua, namun dia tidak pernah mampu menghilangkan dendamnya dan juga cita-citanya untuk menguasai dunia kang-ouw.
Kehancuran perkumpulan dan namanya membuat dia sakit hati dan dia mengambil keputusan untuk bangkit kembali. Dia berhasil memperdalam ilmunya, kemudian menghimpun beberapa orang datuk kaum sesat dan diajaklah mereka itu untuk melakukan suatu hal yang akan menggemparkan dunia persilatan dan sekaligus mengangkat namanya setinggi langit. Yaitu menyerbu Pulau Es!
“Plakkk!” Golok ini terpental dan orang yang membacokkan golok itu terjungkal.
“Lancang! Siapa suruh membunuhnya?”
Hek-i Mo-ong membentak marah dan sekali lagi dia menggerakkan tubuh, tahu-tahu kakinya menendang dan orang yang tadinya hendak membunuh Ceng Liong, kini mengeluarkan jeritan mengerikan ketika tubuhnya terlempar keluar dari perahu dan jatuh ke dalam laut, terus tenggelam karena tendangan tadi sudah membunuhnya! Memang demikianlah kehidupan di antara kaum sesat itu. Keras dan kejam, setiap kesalahan betapapun kecilnya tentu akan dihukum secara keji. Hal ini membuat semua anak buah takut dan taat kepada pimpinannya.
Akan tetapi, sikap Hek-i Mo-ong yang menyelamatkan bocah tawanan itu membuat semua anak buahnya terheran-heran dan bingung. Biasanya, perbuatan kejam para anak buah terhadap musuh bahkan dianjurkan oleh pemimpin ini. Kenapa sekarang orang yang hendak membunuh bocah yang menjadi musuh ini malah dibunuh oleh Hek-i Mo-ong?
Mereka semua memandang dengan sinar mata mengandung penuh rasa penasaran. Hal ini diketahui oleh Hek-i Mo-ong. Dia menjambak rambut kepala Ceng Liong, memaksa muka anak itu menghadapinya dan dia menyeringai.
“Huh, siapapun di dunia ini tidak boleh merampas anak ini dari tanganku. Aku sendiri yang akan menyiksanya sampai mampus!”
Mendengar ucapan ini, mengertilah para anak buah penjahat itu dan merekapun tersenyum menyeringai dengan hati lega. Pantas saja teman mereka tadi dibunuh, kiranya teman itu hampir saja mengecewakan hati Hek-i Mo-ong, merampas calon korbannya.
Ceng Liong sendiri tertegun ketika melihat kenyataan bahwa nyawanya yang sudah nyaris melayang di bawah bacokan golok tadi kini telah diselamatkan oleh Hek-i Mo-ong, musuh besarnya! Sejenak dia menjadi bingung. Dia menganggap kakek raksasa ini sebagai musuh nomor satu karena selain kakek ini merupakan orang yang paling sakti dalam rombongan musuh yang menyerbu Pulau Es, juga kakek ini jelas merupakan pemimpin mereka yang paling berkuasa. Akan tetapi, kini musuh nomor satu ini telah menyelamatkan nyawanya.
Semenjak kecil, orang tua dan juga para nenek dan kakek di Pulau Es telah menekankan dalam batinnya bahwa seorang pendekar haruslah mengenal dan pandai membalas budi memegang teguh janji, dan tidak mendendam. Mana mungkin kini dia akan memusuhi, apa lagi mendendam, kepada seorang yang telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut? Dia telah berhutang nyawa kepada Hek-i Mo-ong! Kenyataan ini membuat anak itu tidak banyak mengeluarkan suara lagi dan dia hanya bergantung lemas pada kedua kakinya yang terlibat tali, bahkan dia lalu memejamkan kedua matanya. Tubuhnya letih dan terasa nyeri semua, perih-perih semua luka di tubuhnya, kepalanya pening dan akhirnya anak itupun terkulai pingsan.
Setelah siuman kembali, Ceng Liong mendapatkan dirinya berada di sebuah bilik kecil dan kosong, seperti kerangkeng anjing. Dia rebah begitu saja di atas lantai. Ketika dia bangkit duduk, hampir dia mengeluh karena terasa tubuhnya nyeri semua. Akan tetapi, ternyata ada orang yang telah mengobati luka-lukanya dengan semacam obat yang berwarna merah. Obat inilah agaknya yang membuat luka-lukanya terasa perih, akan tetapi luka-luka itupun mengering. Pakaiannya masih compang-camping, bekas bacokan-bacokan ketika dia dikeroyok tadi. Tadi? Atau kemarin? Dia tidak tahu lagi. Dia tidak tahu bahwa sudah semalam dia menggeletak pingsan atau tidur di lantai bilik perahu ini.
Dari guncangan dan ayunan yang dirasakannya, diapun tahu bahwa dia masih berada di dalam perahu dan diapun teringat bahwa dia telah menjadi tawanan Hek-i Mo-ong. Dia melihat hidangan dan air minum tak jauh dari kakinya. Seketika dia merasa betapa tubuhnya lemas, perutnya lapar dan mulutnya haus. Tidak perduli apa makanan itu dan dari siapa, yang penting adalah menjaga kesehatannya, pikirnya. Setelah kesehatannya pulih, baru dia akan melihat perkembangan untuk menentukan tindakan.
Ceng Liong lalu menyambar tempat air dan minum. Segar sekali rasanya, walaupun hanya air tawar dingin saja. Lalu diapun mulai makan, tidak lahap dan tidak terlalu banyak, hanya sekedar mengisi perutnya yang kosong. Setelah selesai makan, diapun memeriksa daun pintu dan jendela bilik itu yang ternyata amat kuat, tertutup jeruji-jeruji besi. Agaknya bilik ini memang dibuat khusus untuk tempat tawanan! Dan diapun melihat empat orang penjaga duduk di luar bilik. Ketika mereka bercakap-cakap, dia lalu mendekati pintu dan mendengarkan.
“Kita ini anak buah Jai-hwa Siauw-ok, sekarang malah mengabdi kepada Hek-i Mo-ong.” terdengar seorang di antara mereka mengomel.
“Hushh, perlu apa mengomel? Kita malah untung besar. Lihat saja teman-teman banyak yang tewas sejak kita menyerbu Pulau Es. Dan Jai-hwa Siauw-ok setelah berhasil menangkap gadis itu lalu memisahkan diri dan pergi meninggalkan kita semua!”
“Hemm, gadis Pulau Es itu memang cantik manis, heh-heh!”
“Dan kita tahu tidak ada kesukaan lain melebihi memetik bunga-bunga muda bagi pemimpin kita itu!”
“Yang dua orang lagi tentu mati ditelan air laut dalam badai itu!”
“Sayangnya, Jai-hwa Siauw-ok meninggalkan kita yang menjadi anak buahnya begitu saja, lalu bagaimana dengan kita yang tanpa pimpinan ini?”
“Kenapa ribut-ribut? Menjadi anak buah Hek-i Mo-ong lebih enak. Dia lebih berpengaruh, lebih sakti, dan juga lebih kaya dan royal dari pada Siauw-ok.”
Mendengarkan percakapan itu, Ceng Liong mengerutkan alisnya. Sungguh merupakan berita yang amat buruk. Agaknya encinya Suma Hui telah tertawan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Biarpun dia masih kecil, namun sebagai putera pendekar sakti, dia dapat menduga apa artinya jai-hwa (Pemetik Bunga), lebih-lebih Siauw-ok (Si Jahat Kecil) itu. Tentu encinya itu terancam bahaya yang mengerikan pula. Akan tetapi, dia tidak begitu mengkhawatirkan Suma Hui karena bagaimanapun juga, percakapan anak buah penjahat tadi menyatakan bahwa dara itu masih hidup. Dan selama masih hidup, ada saja harapan untuk meloloskan diri. Yang membuat dia khawatir adalah berita tentang Suma Ciang Bun dan Kao Cin Liong. Mereka berdua itu terlempar ke laut dan siapakah akan mampu menyelamatkan diri dari ancaman gelombang air laut dalam badai itu? Betapapun lihainya kakaknya, Ciang Bun atau keponakannya, Cin Liong, mereka berdua itu takkan mampu berbuat banyak terhadap amukan air laut dalam badai.
“Akan tetapi kenapa Mo-ong bersusah payah membawa bocah setan ini? Bukankah dia bilang hendak menyiksanya sampai mati? Bocah itu enak-enak di dalam bilik dan kita yang harus berpayah-payah menjaga siang malam, bahkan dia diberi makan lagi! Apa sih maksudnya?”
“Hushh, perlu apa mencampuri? Tugas kita hanya mentaati perintah!”
“Pula, masa begitu saja engkau tidak tahu?” sambung suara lain. “Biasa, kalau hendak memotong ayam, bukankah sebaiknya dibikin gemuk dulu?”
“Ha-ha-ha, engkau benar!”
“Hemm, jangan main-main. Aku mendengar bahwa anak itu hendak dibawa sebagai bukti keberhasilan penyerbuan kita ke Pulau Es dan di depan para datuk itulah baru dia akan dibunuh.”
“Ya, kabarnya akan dijadikan korban sembahyangan roh para kawan yang telah tewas di tangan keluarga Pulau Es selama ini.”
Ceng Liong sudah mendengar cukup. Dia menggedor pintu biliknya dan berseru nyaring,
“Heiii, anjing-anjing penjaga di luar, jangan berisik! Aku mau tidur, tahu?”
Empat orang penjaga itu bangkit berdiri, saling pandang lalu mereka mengepal tinju dan memandang ke arah pintu bilik itu dengan mata melotot dan muka merah.
“Bocah keparat!”
“Kurobek mulutnya!”
“Kalau aku yang diberi tugas membunuhnya kelak, akan kukerat dia sepotong demi sepotong!”
Akan tetapi Ceng Liong sudah tidak memperdulikan mereka lagi dan diapun mengusir segala kekhawatirannya tentang kakak-kakaknya dan Cin Liong, dengan cara duduk bersila dan tenggelam dalam samadhi.
Beberapa hari kemudian, perahu-perahu yang hanya tinggal tiga buah banyaknya itu karena yang sebuah dibawa oleh Jai-hwa Siauw-ok, agaknya terpisah atau memisahkan diri, mendarat di sebuah pesisir yang landai. Pantai Lautan Kuning ini berada di Propinsi Kiang-su dan ternyata di situ telah menanti sebuah kereta dan terdapat pula rombongan orang yang membawa banyak kuda.
Hek-i Mo-ong lalu membawa Ceng Liong yang digandeng tangannya memasuki kereta yang segera dilarikan, ditarik oleh dua ekor kuda besar. Para anak buah, sebagian ditinggalkan di perahu itu dan sebagian pula menunggang kuda mengiringkan kereta. Kereta dan rombongan itu membalap ke arah barat.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya rombongan itu berhenti di sebuah hutan yang lebat, yang berada di lereng sebuah bukit di perbatasan antara Propinsi Kiang-su dan Propinsi An-hwi, di lembah Sungai Huai. Tempat inilah yang terpilih untuk pertemuan para datuk itu.
Siapakah adanya Hek-i Mo-ong? Para pembaca cerita SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN tentu telah mengenalnya. Hek-i Mo-ong adalah seorang kakek raksasa yang bernama Phang Kui. Dia masih peranakan Bangsa Kozak, bertubuh tinggi besar.
Rambutnya putih semua sejak muda dan matanya agak kebiruan. Dahulu pernah dia mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal sebagai perkumpulan sesat. Anak buahnya dikenal sebagai gerombolan iblis yang amat kejam dan jahat, merupakan pasukan yang kuat dan berpengaruh di daerah Sin-kiang. Belasan tahun yang lalu, dengan dibantu oleh delapan orang murid kepala yang dikenal dengan sebutan Hek-i Pat-mo (Delapan Iblis Baju Hitam) Hek-i Mo-ong memimpin gerombolannya, seolah-olah menjadi raja kecil di daerah Sin-kiang dan semua pejabat setempat menjadi sekutunya.
Akan tetapi akhirnya perkumpulannya ini dihancurkan oleh sepasang pendekar sakti, yaitu keturunan Pendekar Suling Emas yang bernama Kam Hong bersama gadis yang kini menjadi isterinya, bernama Bu Ci Sian. Delapan orang murid kepala yang menjadi tangan kanannya itu tewas, bahkan Hek-i Mo-ong terpaksa harus melarikan diri dan meninggalkan lereng Ci-lian-san.
Usahanya untuk bergabung dengan Im-kan Ngo-ok dan membalas dendam ternyata gagal, bahkan Im-kan Nga-ok tewas semua oleh para pendekar muda (baca SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN ). Hancurlah semua impian Hek-i Mo-ong untuk membalas dendam, bahkan dia sendiri terpaksa melarikan diri lagi.
Selama beberapa tahun dia menyembunyikan diri, tidak berani keluar dan bertapa sambil memperdalam ilmu-ilmunya. Biarpun dia sudah menjadi semakin tua, namun dia tidak pernah mampu menghilangkan dendamnya dan juga cita-citanya untuk menguasai dunia kang-ouw.
Kehancuran perkumpulan dan namanya membuat dia sakit hati dan dia mengambil keputusan untuk bangkit kembali. Dia berhasil memperdalam ilmunya, kemudian menghimpun beberapa orang datuk kaum sesat dan diajaklah mereka itu untuk melakukan suatu hal yang akan menggemparkan dunia persilatan dan sekaligus mengangkat namanya setinggi langit. Yaitu menyerbu Pulau Es!
**** 024 ****
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilis 024"
Posting Komentar