Sementara itu, Hek-i Mo-ong diam-diam berpikir. Semenjak dia tadi mendengar dan melihat See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai memuji-muji Ceng Liong, hatinya tergerak. Diapun melihat kenyataan betapa banyaknya musuh yang amat lihai dan harus diakuinya bahwa seorang diri saja kiranya tidak mungkin bagi dia untuk menandingi semua musuh-musuhnya itu. Kalau saja dia bisa dibantu oleh seorang yang memiliki bakat seperti anak ini! Kalau saja anak ini dapat menjadi muridnya dan kelak membelanya! Juga, dengan adanya anak ini di tangannya, anak ini dapat menjadi semacam sandera, semacam perisai baginya apabila sewaktu-waktu dia didesak oleh keluarga Pulau Es. Dia harus dapat menguasai anak ini dengan sihirnya!
Maka diapun segera mengerahkan kekuatan sihirnya dan memandang wajah anak itu, berusaha menguasai pandang matanya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga memerintahkan anak itu untuk tidur.
Akan tetapi, kembali dia mengalami hal yang amat aneh. Ada tenaga penolakan yang amat kuat sekali pada pandang mata anak itu dan dia merasa jantungnya tergetar hebat! Sedemikian hebatnya getaran itu sehingga cepat-cepat dia menghentikan pengerahan tenaga sihirnya, karena kalau dilanjutkan, entah siapa yang akan celaka, dia ataukah anak itu! Dia teringat bahwa anak ini adalah cucu dari Pendekar Siluman yang memiliki kekuatan sihir luar biasa, maka diam-diam dia merasa ngeri sendiri.
Benar kata dua orang kakek tadi. Anak ini adalah seorang anak luar biasa dan kalau dapat menjadi muridnya, dia seperti mendapatkan sebuah senjata pusaka yang amat ampuh dan yang akan mampu melindunginya!
Ceng Liong sendiri tidak sadar bahwa kembali dia telah diserang dengan kekuatan sihir.
Dia hanya merasa betapa tajamnya pandang mata kakek iblis itu. Akan tetapi hal ini dianggapnya sebagai hal yang patut dikagumi. Dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong adalah seorang yang amat lihai dan sakti, penuh wibawa, tidak seperti tokoh-tokoh sesat lainnya. Biarpun dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong juga seorang tokoh sesat, akan tetapi seorang tokoh yang tinggi tingkatnya, bukan manusia sembarangan saja.
“Mo-ong, sekali waktu aku pasti akan membalas budimu yang dua kali itu,” kata Ceng Liong lagi.
Sementara itu, semua tokoh sesat dan anak buahnya sudah mengepung tempat itu dan pada wajah mereka terbayang rasa penasaran. Mereka tadi ikut gembira mendengar akan terbasminya Pulau Es dan para penghuninya dan mereka sudah mengharapkan akan melihat cucu dalam Pendekar Super Sakti itu disiksa di depan mata mereka sampai mati.
Apalagi mengingat betapa anak ini telah menjadi sebab keributan dan perkelahian di antara mereka sendiri yang menjatuhkan banyak korban pula. Yang lebih penasaran dan sakit hati adalah para tokoh dan anak buah Eng-jiauw-pang yang telah kehilangan ketua mereka yang tewas di tangan Kao Cin Liong ketika ketua mereka ikut menyerbu ke Pulau Es. Juga para tokoh dan anak buah Im-yang-pai karena ketua mereka, Ngo-bwe Sai-kong yang tewas oleh nenek Lulu di Pulau Es, merasa sakit hati dan mereka ingin melihat cucu Pendekar Super Sakti itu mati di depan mata mereka.
“Harap Mo-ong cepat menyiksa dan membunuhnya, terserah bagaimanapun caranya!”
Ucapan ini mendapat dukungan banyak orang dan keadaan menjadi bising kembali. Wajah orang-orang itu menjadi beringas dan sikap mereka mengancam ketika mereka semua memandang kepada Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong.
Hek-i Mo-ong memandang kepada mereka dan mengeluarkan kata-kata yang lantang,
“Sobat-sobat semua! Aku mengundang kalian berkumpul di sini hanya untuk memberitahukan kabar akan berhasilnya kami menyerbu Pulan Es. Sepatutnya kalian bergembira, bahwa bocah ini dan mengenai dia, serahkan saja kepadaku karena akulah yang berhak atas dirinya. Nah, sakarang aku akan pergi dan jangan kalian menggangguku lagi!”
Setelah berkata demikian, sekali renggut Hek-i Mo-ong telah mematahkan tali yang menggantung kaki anak itu dan memondong tubuh Ceng Liong, dibawanya berloncatan seperti terbang cepatnya. Para tokoh sesat itu tentu saja merasa penasaran dan tidak puas.
Akan tetapi, siapakah yang berani menentang kehendak Hek-i Mo-ong, apalagi setelah iblis itu berhasil menghancurkan Pulau Es? Mereka bersungut-sungut lalu bubaran, meninggalkan tempat itu yang menjadi sunyi kembali.
Sementara itu, seperti terbang cepatnya, Hek-I Mo-ong berlari sambil memondong tubuh Ceng Liong. Anak ini tidak takut, akan tetapi diam-diam merasa heran melihat sikap Hek-i Mo-ong yang berubah-ubah itu. Dia tidak tahu bagaimana jalan pikiran kakek iblis ini, akan tetapi dia ingat benar bahwa bagaimanapun juga, iblis ini telah menyelamatkan nyawanya sampai dua kali berturut-turut. Dia tahu bahwa tanpa campur tangan iblis ini, tentu dia telah tewas di tangan para penjahat yang haus darah.
Tiba-tiba, ketika kakek itu tiba di padang rumput yang amat sunyi, dia berhenti dan melemparkan tubuh Ceng Liong ke atas tanah. Anak itu cepat bangkit berdiri dan memandang kepada kakek itu.
“Hek-i Mo-ong, engkau hendak membawaku ke manakah?” tanyanya berani.
“Bocah yang berhati naga, siapakah namamu?”
“Namaku Suma Ceng Liong.”
Kakek itu mengangguk-angguk. Namanya berarti Naga Hijau dan memang anak ini seperti seekor naga.
“Ceng Liong, apa maksudmu mengatakan bahwa engkau berhutang budi dan hendak membalas budi itu?”
“Engkau telah menolongku dua kali dan sekali waktu tentu aku akan membalas budimu itu.”
“Benarkah itu? Apakah engkau tidak menganggapku sebagai musuh?”
Ceng Liong mengerutkan alisnya. Dia teringat bahwa kakek ini bersama kawan-kawannya telah menyerbu Pulau Es, akan tetapi diapun teringat akan wejangan mendiang kakeknya bahwa dia tidak boleh mendendam, maka diapun menggeleng kepalanya.
“Ceng Liong, tahukah engkau bahwa aku membawamu sebagai tawanan untuk kubunuh?”
Ceng Liong menggeleng kepala.
“Aku tidak percaya! Kalau engkau ingin melihat aku mati tentu engkau tidak akan menolongku dari tangan mereka yang ingin membunuhku!”
“Hemm, aku mencegah mereka karena aku tidak mau didahului. Sudahlah! Sekarang, engkau boleh memilih. Engkau menjadi muridku atau engkau mati sekarang juga. Hayo pilih!”
Ceng Liong tertawa, akan tetapi suara ketawanya itu hanya tiba-tiba saja dan mendadak pula ketawanya terhenti. Diam-diam Hek-i Mo-ong bergidik. Bocah ini memiliki sifat aneh, dingin dan keras bukan main.
“Hek-i Mo-ong, pertanyaanmu itu sungguh terdengar lucu. Betapa mudahnya memilih satu di antara dua itu. Yang satu adalah kematian yang tak mungkin dapat kuelakkan lagi kalau memang engkau hendak membunuhku, dan yang ke dua adalah hidup dan menjadi murid seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti engkau. Tentu saja aku memilih menjadi muridmu.”
Hek-i Mo-ong mendengus untuk menutupi rasa gembiranya.
“Bagus, kalau begitu mulai saat ini engkau menjadi muridku, murid tunggal karena aku sudah tidak mempunyai murid lagi.”
“Agaknya aku tidak mempunyai pilihan lain, Hek-i Mo-ong aku mau menjadi muridmu dan mempelajari ilmu-ilmu darimu, akan tetapi terus terang saja, aku tidak sudi mempelajari kejahatan-kejahatan dan kesesatan-kesesatan. Aku seorang keturunan pendekar dan aku tidak sudi menjadi orang jahat. Menurut wejangan mendiang kakekku, lebih baik mati sebagai manusia baik daripada hidup sebagai manusia jahat.”
“Ha-ha-ha, engkau tahu apa tentang kebaikan dan kejahatan? Kebaikan atau kejahatan mana bisa dipelajari? Sudahlah, aku hanya mengajarkan ilmu-ilmuku agar tidak kubawa mati. Asal engkau belajar dengan tekun dan berhasil mewarisi ilmu-ilmuku dan engkau bersikap sebagai seorang murid yang berbakti, sudah cukup bagiku.”
“Akan tetapi, biarpun aku menerima pelajaran-pelajaran darimu dan aku menjadi muridmu, akan tetapi aku tidak mau menyebut suhu kepadamu.”
“Ehhh? Mengapa?” kakek itu membentak, penasaran.
“Aku adalah keturunan keluarga Pulau Es yang memiliki ilmu keturunan. Boleh aku mempelajari ilmu-ilmu lain untuk meluaskan pengetahuan, akan tetapi aku tidak boleh berguru kepada aliran lain,” jawab anak itu dengan suara mantap karena memang yang diucapkannya itu adalah ajaran ayah bundanya.
“Hemm, lalu engkau akan memanggil apa padaku?” tanya Hek-i Mo-ong makin penasaran.
“Panggilan apa lagi? Tentu seperti orang-orang lain menyebutmu, Mo-ong.”
Biasanya, Hek-i Mo-ong sudah merasa bangga kalau disebut Mo-ong (Raja Iblis) karena bagi seorang tokoh sesat, makin serem panggilannya, makin banggalah hatinya. Akan tetapi kini hatinya terasa kecewa dan kecut juga mendengar betapa muridnya sendiri akan menyebutnya Mo-ong, bukan suhu.
“Dan engkau tidak akan berbakti sebagai murid, melainkan menganggapku sebagai musuh? Begitukah?”
Dia sudah marah sekali dan andaikata anak itu mengangguk atau menyatakan benar demikian, mungkin saja dia sudah turun tangan terus membunuh cucu Pendekar Super Sakti itu.
Akan tetapi dengan tenang Ceng Liong mengeleng kepalanya.
“Sudah kukatakan bahwa aku hutang nyawa dua kali kepadamu, Mo-ong, dan kalau engkau mengajarkan ilmu-ilmu kepadaku, berarti budimu bertambah besar. Dan aku bukanlah keturunan orang-orang yang suka melupakan budi atau yang membalas budi kebaikan dengan kejahatan. Tidak, aku tidak akan membiarkan budi-budimu tanpa terbalas.”
Hek-i Mo-ong termenung. Anak ini memang bukan bocah biasa. Ada dua keuntungan besar baginya kalau dia mengambil anak ini sebagai murid. Pertama, dia memiliki sandera yang amat berharga. Ke dua, dia memperoleh seorang murid yang tiada keduanya dan bukan tidak mungkin kalau murid inilah yang kelak menjunjung tinggi namanya dan bahkan melindunginya dari ancaman musuh-musuhnya. Teringat akan hal ini, dia lalu tertawa bergelak, menyambar tubuh anak itu dan dibawanya berlari cepat.
“Ha-ha-ha, mulai sekarang engkau menjadi muridku dan mari kau ikut bersamaku ke barat!”
Demikianlah, semenjak terjadinya penyerbuan ke Pulau Es yang mengakibatkan terbakar dan lenyapnya Pulau Es, terjadi perobahan besar sekali dalam kehidupan Suma Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Sebagai seorang keturunan keluarga yang terkenal sebagai keluarga pendekar-pendekar yang kenamaan, secara tiba-tiba saja dia menjadi murid seorang datuk kaum sesat nomor satu yang juga amat terkenal dalam kesesatannya. Sungguh anak ini telah pindah ke dalam keadaan yang sama sekali bertentangan dengan keadaannya semula, sejak dia lahir sampai dia berusia sepuluh tahun itu.
Maka diapun segera mengerahkan kekuatan sihirnya dan memandang wajah anak itu, berusaha menguasai pandang matanya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga memerintahkan anak itu untuk tidur.
Akan tetapi, kembali dia mengalami hal yang amat aneh. Ada tenaga penolakan yang amat kuat sekali pada pandang mata anak itu dan dia merasa jantungnya tergetar hebat! Sedemikian hebatnya getaran itu sehingga cepat-cepat dia menghentikan pengerahan tenaga sihirnya, karena kalau dilanjutkan, entah siapa yang akan celaka, dia ataukah anak itu! Dia teringat bahwa anak ini adalah cucu dari Pendekar Siluman yang memiliki kekuatan sihir luar biasa, maka diam-diam dia merasa ngeri sendiri.
Benar kata dua orang kakek tadi. Anak ini adalah seorang anak luar biasa dan kalau dapat menjadi muridnya, dia seperti mendapatkan sebuah senjata pusaka yang amat ampuh dan yang akan mampu melindunginya!
Ceng Liong sendiri tidak sadar bahwa kembali dia telah diserang dengan kekuatan sihir.
Dia hanya merasa betapa tajamnya pandang mata kakek iblis itu. Akan tetapi hal ini dianggapnya sebagai hal yang patut dikagumi. Dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong adalah seorang yang amat lihai dan sakti, penuh wibawa, tidak seperti tokoh-tokoh sesat lainnya. Biarpun dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong juga seorang tokoh sesat, akan tetapi seorang tokoh yang tinggi tingkatnya, bukan manusia sembarangan saja.
“Mo-ong, sekali waktu aku pasti akan membalas budimu yang dua kali itu,” kata Ceng Liong lagi.
Sementara itu, semua tokoh sesat dan anak buahnya sudah mengepung tempat itu dan pada wajah mereka terbayang rasa penasaran. Mereka tadi ikut gembira mendengar akan terbasminya Pulau Es dan para penghuninya dan mereka sudah mengharapkan akan melihat cucu dalam Pendekar Super Sakti itu disiksa di depan mata mereka sampai mati.
Apalagi mengingat betapa anak ini telah menjadi sebab keributan dan perkelahian di antara mereka sendiri yang menjatuhkan banyak korban pula. Yang lebih penasaran dan sakit hati adalah para tokoh dan anak buah Eng-jiauw-pang yang telah kehilangan ketua mereka yang tewas di tangan Kao Cin Liong ketika ketua mereka ikut menyerbu ke Pulau Es. Juga para tokoh dan anak buah Im-yang-pai karena ketua mereka, Ngo-bwe Sai-kong yang tewas oleh nenek Lulu di Pulau Es, merasa sakit hati dan mereka ingin melihat cucu Pendekar Super Sakti itu mati di depan mata mereka.
“Harap Mo-ong cepat menyiksa dan membunuhnya, terserah bagaimanapun caranya!”
Ucapan ini mendapat dukungan banyak orang dan keadaan menjadi bising kembali. Wajah orang-orang itu menjadi beringas dan sikap mereka mengancam ketika mereka semua memandang kepada Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong.
Hek-i Mo-ong memandang kepada mereka dan mengeluarkan kata-kata yang lantang,
“Sobat-sobat semua! Aku mengundang kalian berkumpul di sini hanya untuk memberitahukan kabar akan berhasilnya kami menyerbu Pulan Es. Sepatutnya kalian bergembira, bahwa bocah ini dan mengenai dia, serahkan saja kepadaku karena akulah yang berhak atas dirinya. Nah, sakarang aku akan pergi dan jangan kalian menggangguku lagi!”
Setelah berkata demikian, sekali renggut Hek-i Mo-ong telah mematahkan tali yang menggantung kaki anak itu dan memondong tubuh Ceng Liong, dibawanya berloncatan seperti terbang cepatnya. Para tokoh sesat itu tentu saja merasa penasaran dan tidak puas.
Akan tetapi, siapakah yang berani menentang kehendak Hek-i Mo-ong, apalagi setelah iblis itu berhasil menghancurkan Pulau Es? Mereka bersungut-sungut lalu bubaran, meninggalkan tempat itu yang menjadi sunyi kembali.
Sementara itu, seperti terbang cepatnya, Hek-I Mo-ong berlari sambil memondong tubuh Ceng Liong. Anak ini tidak takut, akan tetapi diam-diam merasa heran melihat sikap Hek-i Mo-ong yang berubah-ubah itu. Dia tidak tahu bagaimana jalan pikiran kakek iblis ini, akan tetapi dia ingat benar bahwa bagaimanapun juga, iblis ini telah menyelamatkan nyawanya sampai dua kali berturut-turut. Dia tahu bahwa tanpa campur tangan iblis ini, tentu dia telah tewas di tangan para penjahat yang haus darah.
Tiba-tiba, ketika kakek itu tiba di padang rumput yang amat sunyi, dia berhenti dan melemparkan tubuh Ceng Liong ke atas tanah. Anak itu cepat bangkit berdiri dan memandang kepada kakek itu.
“Hek-i Mo-ong, engkau hendak membawaku ke manakah?” tanyanya berani.
“Bocah yang berhati naga, siapakah namamu?”
“Namaku Suma Ceng Liong.”
Kakek itu mengangguk-angguk. Namanya berarti Naga Hijau dan memang anak ini seperti seekor naga.
“Ceng Liong, apa maksudmu mengatakan bahwa engkau berhutang budi dan hendak membalas budi itu?”
“Engkau telah menolongku dua kali dan sekali waktu tentu aku akan membalas budimu itu.”
“Benarkah itu? Apakah engkau tidak menganggapku sebagai musuh?”
Ceng Liong mengerutkan alisnya. Dia teringat bahwa kakek ini bersama kawan-kawannya telah menyerbu Pulau Es, akan tetapi diapun teringat akan wejangan mendiang kakeknya bahwa dia tidak boleh mendendam, maka diapun menggeleng kepalanya.
“Ceng Liong, tahukah engkau bahwa aku membawamu sebagai tawanan untuk kubunuh?”
Ceng Liong menggeleng kepala.
“Aku tidak percaya! Kalau engkau ingin melihat aku mati tentu engkau tidak akan menolongku dari tangan mereka yang ingin membunuhku!”
“Hemm, aku mencegah mereka karena aku tidak mau didahului. Sudahlah! Sekarang, engkau boleh memilih. Engkau menjadi muridku atau engkau mati sekarang juga. Hayo pilih!”
Ceng Liong tertawa, akan tetapi suara ketawanya itu hanya tiba-tiba saja dan mendadak pula ketawanya terhenti. Diam-diam Hek-i Mo-ong bergidik. Bocah ini memiliki sifat aneh, dingin dan keras bukan main.
“Hek-i Mo-ong, pertanyaanmu itu sungguh terdengar lucu. Betapa mudahnya memilih satu di antara dua itu. Yang satu adalah kematian yang tak mungkin dapat kuelakkan lagi kalau memang engkau hendak membunuhku, dan yang ke dua adalah hidup dan menjadi murid seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti engkau. Tentu saja aku memilih menjadi muridmu.”
Hek-i Mo-ong mendengus untuk menutupi rasa gembiranya.
“Bagus, kalau begitu mulai saat ini engkau menjadi muridku, murid tunggal karena aku sudah tidak mempunyai murid lagi.”
“Agaknya aku tidak mempunyai pilihan lain, Hek-i Mo-ong aku mau menjadi muridmu dan mempelajari ilmu-ilmu darimu, akan tetapi terus terang saja, aku tidak sudi mempelajari kejahatan-kejahatan dan kesesatan-kesesatan. Aku seorang keturunan pendekar dan aku tidak sudi menjadi orang jahat. Menurut wejangan mendiang kakekku, lebih baik mati sebagai manusia baik daripada hidup sebagai manusia jahat.”
“Ha-ha-ha, engkau tahu apa tentang kebaikan dan kejahatan? Kebaikan atau kejahatan mana bisa dipelajari? Sudahlah, aku hanya mengajarkan ilmu-ilmuku agar tidak kubawa mati. Asal engkau belajar dengan tekun dan berhasil mewarisi ilmu-ilmuku dan engkau bersikap sebagai seorang murid yang berbakti, sudah cukup bagiku.”
“Akan tetapi, biarpun aku menerima pelajaran-pelajaran darimu dan aku menjadi muridmu, akan tetapi aku tidak mau menyebut suhu kepadamu.”
“Ehhh? Mengapa?” kakek itu membentak, penasaran.
“Aku adalah keturunan keluarga Pulau Es yang memiliki ilmu keturunan. Boleh aku mempelajari ilmu-ilmu lain untuk meluaskan pengetahuan, akan tetapi aku tidak boleh berguru kepada aliran lain,” jawab anak itu dengan suara mantap karena memang yang diucapkannya itu adalah ajaran ayah bundanya.
“Hemm, lalu engkau akan memanggil apa padaku?” tanya Hek-i Mo-ong makin penasaran.
“Panggilan apa lagi? Tentu seperti orang-orang lain menyebutmu, Mo-ong.”
Biasanya, Hek-i Mo-ong sudah merasa bangga kalau disebut Mo-ong (Raja Iblis) karena bagi seorang tokoh sesat, makin serem panggilannya, makin banggalah hatinya. Akan tetapi kini hatinya terasa kecewa dan kecut juga mendengar betapa muridnya sendiri akan menyebutnya Mo-ong, bukan suhu.
“Dan engkau tidak akan berbakti sebagai murid, melainkan menganggapku sebagai musuh? Begitukah?”
Dia sudah marah sekali dan andaikata anak itu mengangguk atau menyatakan benar demikian, mungkin saja dia sudah turun tangan terus membunuh cucu Pendekar Super Sakti itu.
Akan tetapi dengan tenang Ceng Liong mengeleng kepalanya.
“Sudah kukatakan bahwa aku hutang nyawa dua kali kepadamu, Mo-ong, dan kalau engkau mengajarkan ilmu-ilmu kepadaku, berarti budimu bertambah besar. Dan aku bukanlah keturunan orang-orang yang suka melupakan budi atau yang membalas budi kebaikan dengan kejahatan. Tidak, aku tidak akan membiarkan budi-budimu tanpa terbalas.”
Hek-i Mo-ong termenung. Anak ini memang bukan bocah biasa. Ada dua keuntungan besar baginya kalau dia mengambil anak ini sebagai murid. Pertama, dia memiliki sandera yang amat berharga. Ke dua, dia memperoleh seorang murid yang tiada keduanya dan bukan tidak mungkin kalau murid inilah yang kelak menjunjung tinggi namanya dan bahkan melindunginya dari ancaman musuh-musuhnya. Teringat akan hal ini, dia lalu tertawa bergelak, menyambar tubuh anak itu dan dibawanya berlari cepat.
“Ha-ha-ha, mulai sekarang engkau menjadi muridku dan mari kau ikut bersamaku ke barat!”
Demikianlah, semenjak terjadinya penyerbuan ke Pulau Es yang mengakibatkan terbakar dan lenyapnya Pulau Es, terjadi perobahan besar sekali dalam kehidupan Suma Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Sebagai seorang keturunan keluarga yang terkenal sebagai keluarga pendekar-pendekar yang kenamaan, secara tiba-tiba saja dia menjadi murid seorang datuk kaum sesat nomor satu yang juga amat terkenal dalam kesesatannya. Sungguh anak ini telah pindah ke dalam keadaan yang sama sekali bertentangan dengan keadaannya semula, sejak dia lahir sampai dia berusia sepuluh tahun itu.
**** 028 ****
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 028"
Posting Komentar