“Apakah Suma-tayhiap memang semenakutkan itu?” tanya sang kaisar.
“Ketinggian ilmunya sukar diukur, karena jiwa dan pikirannya pun sulit di duga. Selama ini ia telah hidup tenang bersama keluarganya, mengharapkan lahirnya seorang anak. Tapi putranya ini tewas sebelum sempat dilahirkan. Istrinya pun terluka. Dia sendiri pun terluka dalam yang sangat berat. Kita hanya bisa berharap bahwa pengobatannya berhasil,” jawab Cio San.
“Jika memang berhasil, apakah ada kemungkinan ilmunya meningkat dengan begitu tajam?” tanya kaisar lagi.
“Sejauh pengalaman hamba, kemungkinannya memang seperti itu. Dendam bisa menambah kekuatan seseorang. Amarah akan menambah daya tempurnya. Meskipun amarah mungkin akan membuka banyak titik kelemahan, hamba pikir Suma Sun pasti akan berhasil menutupi titik kelemahan ini."
“Saat Hongswee mengalahkannya di dermaga, apakah karena Hongswee melihat titik kelemahannya itu?” tanya sang kaisar lagi. Cio San cukup heran juga mengetahui bahwa ternyata sang kaisar pun mengetahui peristiwa pertempuran dirinya dan Suma Sun di dermaga.
“Suma Sun adalah petarung yang mampu menyesuaikan diri. Sekali saja sebuah jurus atau serangan berhasil kepada dirinya, saat itu pula ia akan belajar untuk menutupi kelemahannya. Jurus yang sama tak akan pernah bisa digunakan menghadapi Suma Sun dua kali,” jelas Cio San.
“Hmmm, sangat menarik. Jadi bagaimana cara Hongswee mengalahkannya dulu di dermaga?” sang kaisar rupanya masih penasaran.
“Saat itu hamba sudah kalah, untung saja Suma-hujin (nyonya Suma- Ang Lin Hua) menolong hamba dengan menyerang suaminya sendiri dari arah belakang. Tanpa campur tangannya, hamba tentu sudah tewas,” kata Cio San.
“Begitu rupanya,” tukas sang kaisar. “Banyak orang bilang, Suma Sun memang tidak memiliki ilmu pedang tertinggi, tidak memiliki ginkang (ilmu meringinkan tubuh) tertinggi, tapi ia tidak dapat dibunuh. Justru ia lah yang membunuh orang.”
“Ungkapan ini sepertinya tidak terlalu berlebihan, yang Muila,” kata Cio San. Tiba-tiba saja Cio San merinding sendiri. Bagaimana jika kaisar menganggap Suma Sun adalah ancaman bagi negara, dan mencoba menyingkirkannya?
Ia tidak berani berpikir.
Kereta berjalan cukup jauh, ketika tiba-tiba berhenti.
“Mengapa berhenti?” tanya kaisar kepada Li Ping Han yang sedang berada di depan.
“Ada seseorang datang menuju kemari,” jawab Li Ping Han.
Segera Cio San mengerti kenapa kereta itu berhenti. Daerah yang mereka lalui seharusnya bersih dari siapapun. Karena siapapun yang akan berpapasan dengan kaisar, harus melewati 5 sastrawan yang menjaga di depan.
“Tidak ada kabar dari burung merpati? Mengapa ia bisa lewat?” tanya kaisar lagi.
“Inilah yang hamba herankan, paduka,” jawab Li Ping Han.
Kaisar lalu menekan sebuah tuas. Dengan segara bagian dalam kereta berubah menjadi sebuah benteng pertahanan yang amat kuat. Sangat mengagumkan!
Orang yang datang di depan sana semakin mendekat. Kaisar mengintip dari sebuah lubang kecil di balik “benteng pertahanan” itu. “Aku tidak kenal orang ini. Ia mungkin menyamar. Apakah Hongswee mengenalnya?”
Kini Cio San yang mengintip melalui lubang itu, ia pun hanya bisa menggeleng.
Terdengar suara Li Ping Han, “Selamat siang, enghiong (pendekar). Kami ingin bertanya, apakah tuan melihat 5 orang sahabat kami di depan sana?”
Orang itu menjawab dengan sopan, suaranya terdengar berat dan gagah, “Tidak tuan. Sepanjang hari cayhe (saya) berjalan, tidak bertemu seorang pun kecuali rombongan tentara yang sudah sangat jauh perginya.”
Mendengar suara ini, Syafina terhenyak. Cio San mngetahui ini dan bertanya dengan perlahan, “Kau kenal?”
Syafina tidak menjawab, ia hanya mengintip dari lubang kereta. Wajahnya memucat.
“Ia…., ia tunanganku…..,”
Entah kenapa Cio San merasa kata-kata ini sengaja diucapkan Syafina. Apakah perempuan memang selalu seperti ini?
“Turunlah, putri,” kata kaisar. Ia menekan tuas dan pintu pun terbuka.
Syafina pun turun dengan perlahan.
Lelaki gagah yang berada di hadapannya pun berubah wajahnya. Terasa seluruh beban di dalam hidupnya terhapus hilang saat ia menatap wajah putri yang cantik itu.
“Akhirnya aku menemukanmu, Sya!”
Syafina tidak menjawab apa-apa. Ia memang tidak dapat menjawab. Perempuan mana pun jika berada di dalam posisi seperti dirinya, tentu tak akan sanggup menjawab apa-apa.
Li Ping Han memerintah salah seorang anak buahnya untuk menyusul ke depan, melihat keadaan 5 sastrawan. Anak buah itu melesat dengan cepat. Ginkangnya sangat mengagumkan. Tetapi di saat seperti ini, kedua anak muda yang sedang berdiri berhadap-hadapan itu tidak perduli dengan ginkang seseorang.
“Mengapa kau ada di sini?” akhirnya Syafina berani bersuara.
“Aku…., aku…mencarimu,” jawab lelaki gagah itu.
“Mengapa begitu terlambat kau mencariku?”
“Aku harus menyelesaikan tugas rahasia dari guru. Segera setelah tugas itu selesai, aku langsung mencarimu, Sya.”
Bulir-bulir air berkumpul di pelupuk matanya. Perasaannya begitu bercampur aduk. Ia lari dari rumah justru karena lelaki ini. Ia pergi sejauh-jauhnya agar lelaki ini mengejarnya dan menjemputnya. Ia bahagia ketika kemudian lelaki ini benar-benar menemukannya. Ada perasaan marah mengapa lelaki ini tidak segera menemukannya.
Karena ia sendiri telah menemukan Cio San!
Syafina tidak tahu apakah ia harus tertawa atau menangis.
Begitu ingin ia berlari menuju lelaki ini, memeluknya dan melepas kerinduan. Di saat yang sama ia sendiri merasa kakinya terbelenggu oleh sebuah rantai yang tertaut pada seseorang di belakangnya.
Seseorang di sana!
Ia melangkah pelan-pelan. Setiap langkah diisinya dengan pertimbangan yang sebaik-baiknya. Ia harus memilih. Dan semakin dekat langkahnya kepada lelaki di hadapannya itu, semakin ia tahu bahwa hatinya tertinggal di belakang.
Dan ia pun memutuskan!
“Aku…sepertinya aku…tidak bisa…, aku..tidak mau pulang. Aku sudah menemukan….”
“Kau harus pulang, putri,” terdengar suara laki-laki di belakangnya
“Pulang?” Syafina bertanya dengan heran.
Herannya pun dengan amarah.
Ia telah memilih untuk menyerahkan seluruh jiwa dan cintanya untuk lelaki di belakangnya ini. Namun sang lelaki malah menyuruhnya pergi!
Hanya diperlukan sepersekian detik bagi perempuan untuk mengubah pendiriannya. Juga diperlulan sepersekian detik bagi seorang wanita untuk membenci lelaki yang dicintainya.
“Baik! Aku pulang!”
Ia menoleh pada Cio San dengan penuh amarah. Seolah-olah seluruh hatinya sudah hancur berantakan.
“Kita tak akan bertemu lagi!”
Ingin rasanya Cio San berkata untuk membiarkan takdir langit yang memutuskan. Tetapi ia diam saja.
Syafina bergerak ke arah kereta, ia menjura kepada kaisar, “Saya mohon diri. Terima kasih atas kebaikan padu…,”
Sang kaisar segera memotongnya dan berkata, “Aih, tidak perlu banyak aturan begini, liehiap (pendekar wanita), sebagai sesama orang persilatan kita kan harus selalu saling membantu,”
Syafina mengangguk dan tersenyum. Tetapi air matanya telah berlinang. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada Cio San. Bagi seorang wanita, terkadang ucapan “selamat tinggal” pun tidak pantas diucapkan untuk seorang lelaki. Walaupun sebagian besar lelaki seperti ini pernah mengisi hati mereka.
Sekali lagi Cio San merasakan kejamnya kata “pernah”.
“Pernah” bukanlah sebuah kata yang sederhana. Ia adalah kata yang menjarah jiwa.
“Mari pergi,” Syafina tersenyum sambil menggandeng tangan lelaki gagah itu.
Ingin rasanya Cio San menampar dirinya sendiri, namun ia tidak bisa. Ia terpaksa membiarkan wanita yang dicintainya pergi, karena ia memiliki alasan.
Alasannya yang paling utama bahwa adalah ia sendiri pernah terluka. Ia pernah merasakan perihnya perasaan ketika orang yang ia cintai pergi dengan orang lain. Tetapi ia justru rela merasakan perasaan itu lagi karena ia tidak ingin lelaki lain merasakan hal yang sama.
Ia tidak ingin menjadi penyebab kepedihan hati lelaki lain. Ia tidak ingin merebut kebahagiaan orang lain.
Ia memang selalu berpikir tentang orang lain. Ia tidak pernah berpikir tentang dirinya sendiri. Jika orang lain menyakiti perasaannya, ia tak akan membalas. Ia cukup bahagia jika ia sendiri tidak menyakiti hati orang lain.
Lalu bagaimana dengan hati Syafina?
Cio San di pilihan yang sulit. Haruskah ia menyakiti Syafina ataukah menyakiti lelaki itu? Tetapi di dalam keadaan ini, Syafina adalah tunangan yang sah dari lelaki itu. Ditinjau dari sudut manapun, ia lah yang berada sebagai orang ketiga di dalam hubungan ini.
Kereta masih berhenti. Pengawal yang pergi ke depan belum kembali. Cio San masih berdiri mematung memandang sepasang kekasih yang bertemu kembali dan kini telah pergi menjauh.
Jika ia tidak menyuruhnya pergi, wanita itu tak akan pergi.
Jika seorang wanita telah pergi, ia tidak akan kembali.
Jika ia tidak kembali, maka ia tak menjadi jodohnya.
Jodoh adalah sebuah hal yang amat sangat sulit dimengerti. Jika jodoh, ia akan datang. Tetapi jika tidak diusahakan, jodoh tak akan datang. Padahal, mau berusaha sekuat apapun, jika bukan jodoh, tentu tak akan datang. Lalu bagaimana seorang manusia harus bersikap?
Cio San hanya bisa mengasihani dirinya sendiri dan mencoba percaya, bahwa jika jodoh, seorang wanita yang telah akan kembali datang, kembali hidup, dan kembali cinta.
Itulah mungkin cinta yang sebenarnya. Takdir akan mengacaukan jalannya, tetapi pada akhirnya mereka akan bertemu di suatu tujuan.
Tetapi bagaimana jika Syafina bukan jodohnya?
Bagaimana pula jika Syafina bukan jodohnya hanya gara-gara Cio San menyuruhnya pergi?
Semua hal ini lebih memusingkan daripada rencana jahat dari penjahat yang paling culas sekalipun.
“Mengapa kau membiarkan nona itu pergi, hongswee?” kaisar kembali bertanya.
“Karena lelaki itu adalah tunangannya, paduka,” jawab Cio San.
“Bagaimana jika ternyata nona itu lebih mencintaimu daripada tunangannya itu?”
“Maka ia tak akan pergi,” jawab Cio San pelan.
“Bagaimana ia tidak pergi, jika justru kaulah yang mengusirnya pergi?”
Cio San tak dapat menjawabnya.
Ia tak dapat pula menjawab, lelaki macam apa dirinya ini. Yang membiarkan gadis yang ia cintai untuk pergi. Padahal ia tahu si gadis berharap bahwa ia akan menariknya kembali ke dalam pelukannya, memintanya untuk tidak pergi.
Tetapi ia justru memintanya untuk pergi!
Lelaki macam apakah Cio San?
Apakah ia terlalu mengutamakan kegagahan sehingga menyampingkan kebahagiaan diri sendiri?
Para pendekar sejati memang tidak ada yang bahagia. Mereka kesepian. Karena mereka tidak seperti manusia umumnya. Justru karena mereka tidak seperti manusia umumnya, maka mereka melakukan hal-hal yang tidak dapat dipahami orang lain. Banyak orang menganggap mereka tolol dan dungu. Banyak orang menganggap mereka munafik.
Tetapi hanya langit yang mengetahui ketulusan hati mereka. Karena perbuatan-perbuatan mereka sanggup menggetarkan langit!
Sang pengawal yang baru kembali dari tugasnya menyelidiki keadaan di depan sana, kini sudah kembali.
“Jejak para siucay (sastrawan) menghilang dengan aneh. Tidak ada bekas pertempuran atau apa pun,” lapor sang pengawal itu.
“Biarkan hamba yang menyelidiki, paduka,” pinta Cio San.
“Silahkan!” jawab sang kaisar.
Cio San melesat pergi. Sepanjang jalan ia tidak melihat hal yang mencurigakan. Jejak para sastrawan ini pun berhenti di satu titik. Setelah itu mereka semua menghilang! Ia memeriksa dengan seksama. Sungguh tak ada satu hal pun yang menarik perhatian di sepanjang jalan.
Otaknya berpikir cepat. Ia menoleh ke atas dan memperhatikan ranting-ranting pohon. Segera tubuhnya pun melayang dan melenting ke atas ranting pohon. Di pepohonan yang tinggi menjulang itu ia memperhatikan rantingnya satu persatu. Meskipun tidak terlihat dengan mata telanjang, Cio San dapat memperhatikan bahwa ada beberapa dahan yang sedikit patah dari batangnya. Patahannya hanya sedikit sekali. Tidak sampai membuat dahan-dahan terlepas dari batangnya. Besar robekan dahan ini hanya beberapa ujung kuku. Tetapi ia dapat melihatnya.
Dengan hati-hati ia memeriksa seluruh dahan, dan mencoba mengikuti patahan-patahan yang sangat kecil itu. Matanya sangat awas. Gerak tubuhnya pun sangat lincah meloncat kesana kemari mengikuti jejak patahan dahan.
Hingga ia sampai kepada sebuah sungai. Kemana pun ke 5 Siucay ini pergi, ia tak akan bisa melacaknya melalui jalur sungai, karena ia tahu, sungai ini akan bertemu dengan sebuah sungai besar yang menjadi lintas utama kendaraan perairan.
Ia memutuskan untuk kembali. Secepat kilat ia telah kembali di hadapan kaisar. “Hongswee menemukan jejak mereka?” tanya kaisar.
“Ia paduka. Tetapi jejak itu menuju sungai, tapi hamba tak dapat menyusuri jejak mereka melalui sungai,” tukas Cio San.
“Kira-kira apa yang terjadi?”
“Menurut pandangan hamba, mereka mungkin memang sengaja pergi menghilang. Atau ada orang sakti yang mampu melumpuhkan mereka tanpa mereka bisa melawan sama sekali,” kata Cio San.
“Apa? Bagaimana mungkin seseorang dapat melumpuhkan mereka tanpa perlawanan sama sekali? Orang sesakti apa dia? Mengapa pihak musuh memiliki orang setangguh ini?”
Cio San tak dapat menjawab. Ia mempunyai tebakannya sendiri, tetapi ia tak akan mengatakannya kepada siapa pun sebelum ia benar-benar membuktikan siapa orang ini. Manusia jahat yang bersembunyi di balik bayang-bayang. Pelaku utama semua kejahatan ini!
“Apa yang harus kita lakukan, pengawal Li?” tanya kaisar kepada Li Ping Han.
“Menurut hamba, kita harus tetap meneruskan perjalanan,” jawabnya tenang.
“Baiklah,” jawab kaisar.
Ketenangan Li Ping Han cukup mengagumkan. Cio San jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati, bagaimana kemampuan yang sebenarnya dari pengawal terpercaya kaisar ini? Ia memutuskan untuk memperhatikan lebih jauh tentang orang ini.
Perjalanan pun dimulai kembali. Sepanjang perjalanan pikiran Cio San memang tak bisa lepas dari dua kejadian ini. Perginya Syafina dan hilangnya kelima siucay. Apakah kedua peristiwa ini saling berkaitan? Jika iya, apa kaitannya?
Wajah kaisar sendiri menampakan sedikit kekhawatiran, tetapi keagungan dan ketenangannya masih tampak jelas. Ia mencoba untuk memulai percakapan dengan santai, “Jika perang ini selesai, kuharap kau mau pergi ke Qara Del,”
Qara Del adalah daerah tempat tinggal Syafina.
“Apakah ada tugas dari paduka?”
“Tidak. Tetapi aku hanya merasa kau benar-benar harus menemui nona itu lagi,” jelas sang kaisar. “Aku tahu kau memintanya pergi sebenarnya adalah untuk melindunginya dari peperangan ini. Melindunginya dari setiap permasalahan yang kau hadapi. Karena kau berpikir, kau hanya mendatangkan masalah ke dalam hidup orang lain. Apakah aku salah menduga?”
Cio San tak dapat menjawab. Ia hanya mampu tersenyum. Ia memang pernah berpikir seperti ini, kata-kata kaisar ini justru menambah keyakinannya sendiri. Ia mungkin tidak pantas bahagia. Hidup sebagaimana manusia pada umumnya. Ia mungkin ditakdirkan untuk terjebak di berbagai macam urusan kehidupan. Sehingga ia tidak memiliki kehidupannya sendiri.
Ia merasa bahwa ia memiliki hak untuk tidak berbahagia. Jika orang boleh berbahagia, mengapa ia tidak boleh bersedih? Di dalam kesedihan ada kenikmatan yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang terluka. Ia terlalu terbiasa dengan kesedihan, sampai-sampai ia merasa aneh jika hidupnya tidak diliputi kesedihan.
Apakah karena kesedihan ia mampu bertahan hingga saat ini?
“Kau tahu bukan, bahwa kesedihan dapat melahirkan kekuatannya tersendiri. Di masa lalu, ada seorang pendekar besar yang menciptakan ilmu pukulan maha dahsyat yang berdasarkan perasaan sedih ini,” tukas sang kaisar.
“Apakah yang paduka maksud adalah Sin-tiauw enghiong Yo-tayhiap?” tentu saja semua orang persilatan tahu siapa Yo-tayhiap ini.
“Benar. Ilmu pukulannya amat sakti dan tak ada satu orang pun yang sanggup mempelajarinya. Kau tahu nama ilmu itu?”
Cio San mengangguk, “Tapak Duka Nestapa,”
Kaisar tersenyum senang. “Benar sekali!”
0 Response to "EPISODE 2 BAB 52 KEMBALI DATANG, KEMBALI HIDUP, KEMBALI CINTA"
Posting Komentar