Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 025

Karena para datuk kaum sesat memang menganggap keluarga Pulau Es sebagai musuh bebuyutan nomor satu, setelah melihat kesaktian Hek-i Mo-ong, ada empat orang datuk yang bersedia untuk membantunya. Mereka itu adalah Ngo-bwe Sai-kong yang akhirnya tewas di tangan nenek Lulu, kemudian Ulat Seribu yang tewas di tangan nenek Nirahai, Eng-jiauw Siauw-ong Liok Can Sui ketua Eng-jiauw-pang yang tewas di tangan Cin Liong, dan Jai-hwa Siauw-ok yang merupakan satu-satunya pembantu yang dapat lolos dari Pulau Es dalam keadaan hidup.

Akan tetapi, biarpun dia dan sekutunya berhasil menewaskan dua orang nenek, isteri dari Pendekar Super Sakti, dia sendiri hampir saja tewas ketika berusaha membunuh Pendekar Super Sakti Suma Han dan terpaksa melarikan diri bersama Jai-hwa Siauw-ok dan sisa anak buahnya. Dia dan sekutunya tidak lari jauh dan masih mengintai, maka dapat dibayangkan betapa girang rasa hatinya melihat Pulau Es terbakar habis, dan melihat betapa empat orang muda itu melarikan diri dari Pulau Es.

Hek-i Mo-ong cepat mengajak orang-orangnya untuk menghadang dan akhirnya dia berhasil menawan cucu Pendekar Super Sakti sedangkan Si Penjahat Cabul Jai-hwa Siauw-ok agaknya melarikan cucu perempuan majikan Pulau Es itu, sedangkan dua orang muda lain, seorang cucu laki-laki pendekar itu dan seorang putera Naga Sakti Gurun Pasir, telah tewas ditelan ombak!

“Betapa membanggakan hasil hasil besar itu,” pikirnya girang.

Keluarga Pulau Es telah dapat dibinasakannya dan sebagai bukti, dia membawa seorang cucu majikan Pulau Es sebagai tawanan! Dan Pulau Es itu sendiri telah hancur dan lenyap! Hasil ini akan mengangkat namanya, dan akan memudahkan dia untuk menjagoi dunia kang-ouw! Dan dia tahu betapa semua datuk kaum sesat yang tidak berani ikut atau merasa ragu-ragu membantunya, kini menanti di bukit kecil itu seperti yang telah mereka janjikan, menanti untuk melihat apakah usaha besarnya yang menggemparkan dunia penjahat itu berhasil!






Biarpun dia kehilangan tiga orang rekan dan puluhan orang anak buah yang tewas dalam penyerbuan Pulau Es itu, namun dia berhasil menghancurkan keluarga Pulau Es dan menawan seorang cucunya. Dia mendongkol karena Jai-hwa Siauw-ok memisahkan diri melarikan cucu perempuan keluarga Suma, akan tetapi dia membiarkan saja karena perbuatan itupun merupakan pukulan hebat terhadap nama keluarga Pulau Es dan merupakan bahan cerita yang baik baginya. Dia akan menceritakan kepada para tokoh kaum sesat bahwa seorang cucu perempuan keluarga yang tadinya amat ditakuti dunia hitam itu kini menjadi permainan Jai-hwa Siauw-ok yang sudah terkenal buas terhadap wanita yang telah dirampasnya!

Akan tetapi ada suatu hal yang mengejutkan hatinya, yaitu kalau dia teringat akan pengalamannya ketika menyerang Pendekar Super Sakti Suma Han. Ternyata bahwa menghadapi pendekar itu, dia sama sekali tidak berdaya! Segala ilmu kepandaiannya seperti punah dan tiada gunanya! Padahal, selama beberapa tahun ini dia telah tekun bertapa untuk memperdalam ilmu silatnya dan memperkuat ilmu sihirnya. Ternyata kini bahwa kepandaiannya sama sekali tidak ada artinya ketika dia menyerang kakek tua renta itu.

Mulailah dia kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri yang tadinya dia anggap sudah tidak ada tandingannya lagi. Dan musuh-musuhnya masih begitu banyak. Dan musuh-musuhnya bukanlah orang-orang lemah, walaupun kiranya tidak mungkin sehebat Pendekar Super Sakti. Karena itu, dia harus mengumpulkan rekan-rekannya untuk memperkuat kedudukannya.

Yang menyambut kedatangan Hek-i Mo-ong cukup banyak. Ada dua puluh orang lebih tokoh-tokoh dunia hitam bersama anak buah mereka sudah berkumpul di dalam hutan itu, tinggal di pondok-pondok dan kemah-kemah darurat. Kepala-kepala gerombolan ganas, ketua-ketua perkumpulan sesat, tokoh-tokoh perorangan dari bermacam kalangan, semua telah berkumpul untuk mendengar bagaimana hasil usaha Hek-i Mo-ong yang bersama rekan-rekannya kabarnya pergi menyerbu Pulau Es.

Begitu kereta berhenti, Hek-i Mo-ong sambil menggandeng tangan seorang anak laki-laki yang mukanya agak pucat akan tetapi sepasang matanya memandang berani, muncul dari pintu kereta. Raja Iblis ini menggandeng tangan Ceng Liong dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya diangkat ke atas menerima sambutan orang-orang dari golongan sesat itu sambil berkata dengan suara nyaring dan bernada gembira,

“Kawan-kawan sekalian, ketahuilah bahwa keluarga Pulau Es telah kami binasakan, bahkan pulau itu sendiri telah habis dimakan api dan tenggelam! Dan semua penghuninya telah dapat kami binasakan dan kami tawan.”

Ucapan ini disambut dengan sorak-sorai oleh para penjahat dari dunia hitam itu. Mereka itu adalah penjahat-penjahat yang sudah mengenal baik nama keluarga Pu1au Es, bahkan sebagian besar di antara mereka pernah merasakan ampuhnya tangan keluarga itu.

Memang keluarga Pulau Es merupakan keluarga pendekar yang berilmu tinggi dan sejak puluhan tahun telah menentang dunia kejahatan sehingga banyaklah kaum penjahat yang menaruh dendam sakit hati terhadap keluarga pendekar itu.

Siapakah yang tidak mengenal keluarga Pulau Es? Pendekar Super Sakti Suma Han sendiri pernah menggegerkan dunia persilatan dengan ilmu silatnya yang amat tinggi, bahkan di samping ilmu silatnya, diapun terkenal sekali dengan ilmu sihirnya sehingga dijuluki Pendekar Siluman! Juga dua orang isteri pendekar sakti itu amat ditakuti dunia penjahat. Terutama sekali Puteri Nirahai yang dahulu sering memimpin pasukan pemerintah sebagai seorang panglima wanita yang sudah banyak menghancurkan pemberontak-pemberontak dan gerombolan-gerombolan penjahat. Nama Lulu isteri ke dua dari pendekar itupun pernah dikenal orang. Selain sang pendekar sakti bersama dua orang isterinya itu, juga keluarga mereka terkenal sebagai pendekar-pendekar yang ditakuti dan dibenci oleh golongan hitam.

Puteri mereka, yaitu Puteri Milana, puteri tunggal Suma Han dan Nirahai, juga merupakan seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, di samping suaminya yang lebih lihai lagi yaitu Gak Bun Beng.

Kedua orang putera dari Pendekar Super Sakti juga amat terkenal, yaitu Suma Kian Le dan Suma Kian Bu. Terutama sekali Suma Kian Bu yang demikian lihai dan terkenalnya sehingga dijuluki Pendekar Siluman Kecil oleh dunia penjahat karena persamaannya dengan Pendekar Siluman, ayahnya.

Kalau mantu pria keluarga itu, yaitu Gak Bun Beng, amat gagah perkasa, maka dua orang mantu wanita mereka tak kalah terkenalnya. Isteri Suma Kian Lee bernama Kim Hwee Li, seorang wanita perkasa yang bahkan pernah malang melintang sebagai seorang gadis dari dunia hitam yang murtad dan memalingkan mukanya menentang dunia kejahatan itu sendiri, maka tentu saja iapun dianggap musuh oleh dunia penjahat.

Mantu wanita ke dua bernama Teng Siang In, juga seorang pendekar wanita, bahkan mantu ini memiliki ilmu sihir seperti ayah mertuanya, dan biarpun ilmu sihirnya tidak sehehat Pendekar Super Sakti, namun kalau ia pergunakan, cukup membuat repot lawannya. Demikianlah keadaan keluarga Suma itu yang dimusuhi oleh dunia hitam, maka tentu saja pengumuman Hek-i Mo-ong bahwa Pulau Es telah tenggelam dan keluarganya telah terbasmi disambut dengan sorak-sorai gembira.

Akan tetapi, yang menyambut dengan sorak-sorai itu hanyalah para penjahat dari tingkatan rendah saja. Para tokoh hitam yang hadir di situ, tidak dapat menerima begitu mudah saja keterangan Hek-i Mo-ong. Bagi mereka ini, mereka tahu benar betapa hebatnya keluarga Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, bahkan mereka tidak berani maju ketika Hek-i Mo-ong mengajak mereka bersekutu untuk menyerbu pulau keramat itu.

“Mo-ong, bagaimana kami bisa yakin bahwa keluarga Pulau Es sudah dibinasakan? Engkau berangkat berlima dan pulang hanya sendirian saja. Mana buktinya bahwa usaha penyerbuan ke Pulau Es itu berhasil baik?” terdengar seorang di antara para tokoh itu bertanya.

Pertanyaan ini didukung oleh banyak tokoh yang lain.
“Ya, mana buktinya?” Suara mereka susul-menyusul sehingga suasana menjadi riuh.

“Kalian tidak percaya kepadaku?”

Suara Hek-i Mo-ong terdengar lantang penuh kemarahan sehingga semua orang terkejut dan gentar, suara berisik tadipun padam dan semua orang memandang kepada tokoh yang baru keluar dari kereta itu. Melihat ini, dengan hati gembira Hek-i Mo-ong lalu tertawa. Seperti juga bentakannya tadi, suara ketawanya mengandung khi-kang yang amat kuat sehingga menggetarkan jantung semua orang yang hadir di situ.

“Ha-ha-ha-ha! Kalian ingin bukti? Lihat baik-baik! Bocah ini adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti Suma Han.”

Berkata demikian, Hek-i Mo-ong lalu dengan gerakan tiba-tiba melontarkan tubuh Ceng Liong ke atas. Tubuh itu terlempar ke udara. Ceng Liong merasa terkejut sekali, akan tetapi dia diam saja, bahkan lalu menarik kaki tangannya yang lelah dan lemah. Ketika tubuhnya meluncur turun, Hek-i Mo-ong menyambutnya dan melemparkannya kepada para pembantunya yang berada di belakangnya.

“Gantung kakinya di pohon itu agar semua orang dapat melihatnya!”

Dengan girang anak buahnya melakukan perintah ini, akan tetapi mereka sudah kapok untuk berlancang tangan sehingga tidak ada yang mengganggu Ceng Liong kecuali menggantungnya di pohon dengan kepala di bawah, dengan mengikat kedua pergelangan kakinya seperti yang diperintahkan kepada mereka. Tidak ada tangan yang berani mengganggu, menamparpun tidak.

Sementara itu, Hek-i Mo-ong sudah menuju ke tempat terbuka di mana terdapat batu-batu dan bangku-bangku kasar di mana para tokoh itu berkumpul. Maka berceritalah Hek-i Mo-ong tentang penyerbuannya ke Pulau Es.

Ceng Liong yang digantung pada kedua kakinya itu, mendengarkan saja dan dia mengambil keputusan untuk menghadapi kematian seperti cucu sejati dari Pendekar Super Sakti! Dia tidak pernah mengeluh dan diam-diam dia malah melakukan samadhi sambil tergantung seperti itu. Dia merasa betapa detak jantungnya menjadi aneh, apalagi ketika dia mengikuti jalan darahnya dan menghimpun hawa sakti di pusar.

Tiba-tiba saja, hawa sakti yang diterimanya dari kakeknya dua minggu yang lalu, kini berputar-putar dan mendatangkan kehangatan, akan tetapi kepalanya yang tadinya seperti berputar itu menjadi semakin ringan dan yang lebih aneh, panca inderanya menjadi amat tajam sehingga dengan mata terpejam, telinganya dapat mendengarkan suara dari jauh!

Cerita Hek-i Mo-ong terdengar semua olehnya, demikian jelasnya, bahkan dia dapat menangkap tarikan napas dan detak jantung orang-orang yang duduk tidak lebih dari lima meter dari tempat dia tergantung!

Dua minggu yang lalu, pada suatu malam ketika dia tertidur, seperti mimpi saja dia merasa dibangunkan oleh kakeknya, kemudian digandeng oleh kakeknya dan diajak ke luar kamar. Malam itu tiada bulan akan tetapi langit amat cerah, membentang biru penuh dengan bintang-bintang yang gemerlapan amat indahnya. Kakeknya mengajaknya ke tepi pantai yang landai dan di situ kakeknya menyuruh dia duduk bersila berhadapan dengan kakeknya.

“Ceng Liong, aku akan memindahkan hawa sakti ke dalam pusarmu dan dapat kau jadikan pusat pengerahan sin-kang kelak kalau engkau sudah pandai mengendalikannya. Sudah kulihat dan engkaulah yang tepat untuk mewarisinya. Akan tetapi ingat, kekuatan ini dapat menjadi dahsyat sekali dan kalau disalah gunakan, kelak hanya akan memukul dirimu sendiri. Nah, ulurkan kedua lenganmu dan buka semua jalan darah, hentikan semua kesibukan dalam diri dan batinmu.”

Seperti dalam mimpi saja dia lalu menempelkan kedua tangannya kepada telapak tangan kakeknya dan di malam yang teramat dingin itu, yang dapat membuat semua air membeku, dia merasakan kehangatan luar biasa memasuki tubuhnya melalui kedua tangannya, makin lama semakin panas sampai dia hampir tidak tahan lagi, lalu perlahan-lahan menjadi dingin dan semakin dingin sampai dia merasakan seluruh darahnya membeku, kemudian berbalik menjadi panas lagi.

Dihantam serangan hawa panas dan dingin berganti-ganti ini, akhirnya dia tak ingat apa-apa lagi dan setelah sadar, tahu-tahu dia telah berada di dalam air membeku, duduk bersila seperti semula, akan tetapi bukan di tempat semula melainkan telah terendam air beku sampai ke pinggangnya. Kakeknya juga duduk bersila di depannya.

Kisah Para Pendekar Pulau Es







Related Posts:

0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 025"

Posting Komentar