“Kerahkan hawa panas dari pusar ke bawah untuk melawan dingin,” kakeknya berkata lirih namun suaranya mengandung daya pembangkit yang demikian kuatnya sehingga seolah-olah suara atau perintah itulah yang menggerakkan hawa di pusarnya.
Tiba-tiba dia merasa betapa hawa dingin yang menembus tulang-tulang di bagian bawah tubuhnya itu melenyap, terganti dengan hawa hangat yang amat menyenangkan! Akan tetapi, tubuhnya bagian atas berkeringat dan terasa panas sekali!
“Kerahkan sebagian hawa dari pusar ke atas untuk melawan panas! Gunakan pernapasan untuk mengatur pembagian hawa....” kembali kakeknya berkata dan tangan kakeknya menyentuh dan menekan kedua pundaknya.
Mula-mula dia merasa betapa sukarnya membagi hawa sakti dalam tubuh itu menjadi dua, bagian bawah melawan dingin dan bagian atas melawan panas. Akan tetapi begitu kedua pundaknya ditekan, mulailah dia dapat mengatur keseimbangan itu, seolah-olah ada hawa keluar dari kedua tangan kakeknya yang membimbingnya menguasai dan mengatur hawa dalam tubuhnya sendiri.
Semalam suntuk dia dilatih dan tanpa disadarinya, dia telah mewarisi sumber pembangkit tenaga sin-kang dari kakeknya! Semua ini teringat kembali oleh Ceng Liong ketika dalam keadaan tergantung kakinya itu dia mengalami hal yang luar biasa anehnya, yaitu ketika hawa sakti yang diterima dari kakeknya itu bergerak dan mendatangkan hal-hal aneh, mempertajam panca inderanya!
Setelah Hek-i Mo-ong selesai bercerita, menyombongkan hasil usahanya yang telah membakar Istana Pulau Es dan membinasakan keluarga Pulau Es, dia tertawa dan menutup ceritanya.
“Hua-ha-ha, hancurlah sudah musuh nomor satu kita semua! Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya itu telah tewas. Seorang cucunya, gadis cantik itu, tentu akan hancur pula karena terjatuh ke tangan Jai-hwa Siauw-ok! Siapa tidak tahu keganasan Siauw-ok terhadap wanita? Dan seorang cucu pria terjatuh ke laut, bersama jenderal muda musuh kita pula, putera Naga Sakti Gurun Pasir itu. Mereka berdua tak mungkin dapat hidup ditelan ombak badai itu. Tinggal yang seorang ini, cucu keluarga Pulau Es yang tidak kubunuh karena hendak kuperlihatkan kalian semua. Ha-ha-ha!”
“Maaf, Mo-ong, kukira keadaannya belum begitu membesarkan hati sehingga kita boleh tergesa-gesa bergembira dengan hasil itu.”
Semua orang menoleh dan memandang kepada orang yang bicara. Begitu beraninya orang ini bicara yang sedikit banyak merupakan celaan terhadap Mo-ong, atau mengecilkan arti pembinasaan Pulau Es itu.
Hek-i Mo-ong sendiri dengan perlahan menoleh dan membalikkan tubuh menghadapi orang yang bicara itu. Semua orang menghentikau suara mereka dan keadaan menjadi hening karena mereka semua ingin mendengar apa yang akan dibicarakan antara dua orang ini. Apalagi setelah semua orang melihat bahwa yang bicara itu adalah orang yang amat aneh, dan yang tadi tidak mereka lihat berada di situ. Agaknya orang ini, seperti setan saja, tahu-tahu muncul di situ dan berani mencela Hek-i Mo-ong. Sebaliknya, Begitu Hek-i Mo-ong melihat orang itu, alisnya yang berkerut itu membuyar dan wajahnya berseri, mulutnya tertawa ramah.
“Ha-ha-ha, tadinya kusangka siapa yang berani lancang mencelaku. Kiranya See-thian Coa-ong! Ha-ha-ha, di antara sahabat sendiri, memang sebaiknya kalau kita bicara blak-blakan saja. Nah, jelaskan, kawan, mengapa kita tidak boleh bergembira dengan hasil baik ini?” Banyak di antara mereka terkejut mendengar disebutnya nama See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat) itu.
Nama itu adalah nama seorang tokoh besar dunia persilatan yang termasuk orang aneh, tak dapat dibilang berpihak kaum pendekar ataupun pendukung golongan sesat. Dia seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang berdiri bebas dalam keanehan mereka sendiri, tidak perduli akan golongan-golongan dan tidak mau mencampuri dalam arti kata tidak mau terlibat. Setelah kini mereka memandang penuh perhatian, diam-diam mereka mengakui akan keanehan orang ini, keanehan yang mengerikan.
See-thian Coa-ong ini bukanlah seorang Han. Hal itu jelas nampak dari wajahnya dan kulitnya. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun dan tubuhnya hampir telanjang bulat. Hanya ada kain cawat penutup tubuhnya. Kulitnya kehitaman dan karena sangat kurus, maka nampak tinggi sekali. Kepalanya botak kelimis. Kedua telinganya yang terlalu lebar itu dihias anting-anting perak. Kedua pergelangan tangannya yang hanya kulit membungkus tulang itu terhias gelang-gelang perak. Dan di lehernya terdapat kalung, bukan kalung perak atau emas, melainkan kalung hidup, yaitu seekor ular kobra belang yang amat berbisa. Ular seperti ini kalau menggigit, kabarnya tidak ada obatnya lagi dan si korban langsung mati! Melihat ular ini saja, mereka yang mengenal kehebatan racunnya, sudah merasa ngeri dan mereka yang berdiri dekat sudah menggeser tempatnya menjauh. Ada bau harum amis datang dari kakek ini.
Para pembaca cerita SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN tentu masih ingat kepada kakek aneh ini. Kurang lebih sepuluh sampai dua belas tahun yang lalu, See-thian Coa-ong pernah muncul dan pernah membimbing pendekar wanita Bu Ci Sian dalam ilmu menaklukkan ular-ular dan memperdalam ilmu silat pendekar itu. Kemudian kakek ini menghilang karena memang dia seorang perantau yang biasa berkelana ke gunung-gunung, terutama di Pegunungan Himalaya.
See-thian Coa-ong adalah seorang Nepal yang bernama Nilagangga. Akan tetapi, sejak mudanya dia sudah seringkali datang ke daerah Tiongkok sehingga dia menguasai pula Bahasa Han, dan juga dia mengenal banyak tokoh-tokoh dunia kang-ouw. Banyak pula dia mendapatkan ilmu-ilmu silat dari daerah Sin-kiang dan di daerah Sin-kiang inilah dia dahulu berkenalan dengan Hek-i Mo-ong. Ketika itu Hek-i Mo-ong masih memimpin perkumpulan Hek-i-mo di Sin-kiang. Itulah sebabnya mengapa peranakan Kozak ini bersikap ramah kepada Raja Ular itu.
“Hek-i Mo-ong, menurut ceritamu tadi, biarpnn engkau telah berhasil membinasakan Pulau Es dan para penghuninya, akan tetapi engkaupun kehilangan banyak sekali kawan-kawanmu. Bahkan orang-orang yang lihai sekali seperti Ngo-bwe Sai-kong, Si Ulat Seribu, dan Eng-jiauw Siauw-ong telah tewas dalam penyerbuan itu, belum lagi dihitung banyaknya anak buahmu. Dan untuk semua pengorbanan itu, engkau hanya dapat menewaskan Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya, tiga orang yang sudah tua renta dan yang tanpa diserbu sekalipun akan mati sendiri tidak lama lagi. Apakah hal itu boleh dibuat gembira?”
Wajah Hek-i Mo-ong menjadi agak merah akan tetapi dia masih tersenyum lebar.
“Aha, Coa-ong! Agaknya engkau lupa bahwa pengorbanan seperti itu jauh terlalu ringan dan murah dibandingkan dengan hasilnya. Bayangkan saja! Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya! Dan Pulau Es juga terbakar habis. Belum lagi tiga orang cucu mereka tentu akan tewas, ditambah lagi Jenderal Muda Kao Cin Liong yang sudah banyak menimbulkan susah kepada kawan-kawan kita, terutama di barat.”
Kakek See-thian Coa-ong menghela napas panjang.
“Baiklah, baiklah.... katakanlah bahwa hasilnya cukup besar. Akan tetapi apakah kita dapat mengatakan bahwa kematian mereka itu akan membebaskan kalian dari lawan kalian ? Mo-ong, apakah artinya hasil itu kalau engkau ingat bahwa di sana masih hidup keturunan Pulau Es yang amat lihai? Lupakah engkau kepada Puteri Milana, puteri Pendekar Super Sakti dan suaminya orang she Gak yang amat lihai itu? Dan lupakah engkau kepada putera-putera Pendekar Super Sakti yang bernama Suma Kian Lee dan terutama sekali Suma Kian Bu Si Pendekar Siluman Kecil? Dan juga, kalau benar Jenderal Muda Kao Cin Liong tewas, engkau harus berani menghadapi Naga Sakti Gurun Pasir! Dan.... ah, masih banyak lagi para pendekar sakti yang akan merupakan lawan berat bagimu, Hek-i Mo-ong. Lupakah engkau kepada keluarga Bu-taihiap yang kini tinggal di kota raja? Bu-taihiap dan isteri-isterinya saja sudah amat lihai, apalagi mantunya! Tentu engkau tidak akan melupakan Kam Hong yang dijuluki Pendekar Suling Emas itu, bukan? Juga keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Hemm, aku sendiri sebagai orang luar merasa khawatir akan masa depanmu, Hek-i Mo-ong!”
Wajah Hek-i Mo-ong yang tadinya merah itu kini menjadi agak pucat. Diingatkan kepada para pendekar sakti itu, jantungnya berdebar tegang dan hatinya kecut. Rasa gentar menyelinap di sanubarinya karena apa yang diucapkan oleh Raja Ular itu sama sekali tidak keliru. Mereka semua itu adalah orang-orang hebat dan harus diakuinya bahwa ketika menghadapi Pendekar Suling Emas Kam Hong dia terdesak hebat, dan nyaris tewas kalau tidak mempergunakan sihirnya untuk melarikan diri.
“Wah, bukan main....! Belum tentu dalam seratus tahun sekali ditemukan seorang anak seperti ini! Bahan yang luar biasa hehatnya, sungguh seorang anak ajaib, seorang dengan tubuh dewasa! Cukup pantas untuk menjadi tempat tinggal titisan Dalai Lama!”
Teriakan penuh kagum ini menarik perhatian semua orang, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri, yang tertegun mendengar ucapan See-thian Coa-ong tadi, menoleh dan dia melihat seorang kakek pengemis sedang memeriksa tubuh Ceng Liong yang tergantung jungkir balik. Kakek itu memutar-mutar tubuh itu, menyentuh sana-sini dan berulang-ulang mengeluarkan pujiannya.
“Aih, tengkoraknya menandakan bahwa otaknya melebihi otak anak biasa, menjendol di sini, rata di sini.... ah, dan telinga ini! Hemmm.... tulang yang kuat dan bersih, bukan main!”
Kakek itu tentu usianya tidak kurang dari tujuh puluh tahun, dan dilihat dari pakaiannya, mudah diduga bahwa dia adalah seorang pengemis. Pakaian yang tambal-tambalan kusut dan rambut awut-awutan, tubuhnya tinggi kurus seperti orang yang selalu kekurangan makan. Matanya lebar kadang-kadang terbelalak. Ketiak kirinya mengempit sebatang tongkat bambu, dan di pinggangnya tergantung sebuah kantung butut yang berisi sebuah ciu-ouw (guci arak) kuningan dan sebuah mangkok retak.
Biarpun kakek ini nampaknya demikian miskin sederhana, namun Hek-i Mo-ong mengenalnya sebagai seorang tokoh kang-ouw yang juga berdiri bebas seperti See-thian Coa-ong Nilagangga. Tokoh pengemis ini termasuk seorang tokoh ugal-ugalan yang aneh, tidak pernah berpihak sana-sini. Akan tetapi dia merupakan seorang tokoh yang amat terkenal di daerah selatan.
Dialah Koai-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Bertongkat Aneh) Bhok Sun, seorang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan menganggap dunia inilah tempat tinggalnya, tanah menjadi lantainya, langit menjadi atapnya. Maka, biarpun dia ini merupakan seorang tokoh di daerah selatan, tidak aneh melihat dia kini tiba-tiba muncul di tempat yang jauh di utara.
Melihat kakek ini meraba-raba dan memuji-muji Ceng Liong, semua orang tertarik dan mereka mulai mendekati anak itu dan merubungnya.
“Darahnya murni dan ada hawa sin-kang yang amat luar biasa di dalam tubuhnya, berpusat di pusar dan mengalir di seluruh tubuh! Demi iblis, belum pernah aku melihat yang seperti ini!”
See-thian Coa-ong Nilagangga menjadi tertarik sekali dan diapun mendekat. Kepala ular cobra yang melingkari lehernya itu terjulur dan hampir menyentuh muka Ceng Liong, akan tetapi anak ini sedikitpun tidak kelihatan takut, bahkan dengan sepasang matanya yang tajam dia memandang kepala ular itu dan sungguh aneh, ular itu nampak gelisah dan berusaha menjauhkan kepalanya ketika See-thian Coa-ong mendekati Ceng Liong, seolah-olah ada sesuatu pada diri anak itu yang membuat binatang itu gelisah. Segera terdengar seruan-seruan kagum dari See-thian Coa-ong dalam bahasa asing. Hek-i Mo-ong mengerti apa yang diucapkan oleh See-thian Coa-ong itu.
“Aihh, Raja Cobra sampai takut terhadap anak ini! Bukan main....!” Dia meraba-raba kepala dan leher serta pundak Ceng Liong, lalu melanjutkan, “....memang hebat! Anak ini tubuhnya sekuat naga!”
Seperti dua orang kakek yang hendak membeli seekor ayam jago aduan, Koai-tung Sin-kai dan See-thian Coa-ong meraba-raba dan memeriksa Ceng Liong, menekan perutnya, memijat dada dan pundak, membelai kaki tangan, melihat mata, hidung, mulut dan telinga, meraba tulang-tulangnya.
“Ha-ha-ha, Raja Ular, ternyata matamu tajam juga dapat mengenal seorang sin-tong (anak ajaib) yang bertulang dewa!” Kakek Pengemis itu tertawa.
“Siapa yang tidak mengenal senjata pusaka adalah seorang tolol dan buta! Dan anak ini lebih berharga daripada sebuah senjata pusaka! Kalau kuberi kepandaianku kepadanya, dia bisa menjadi sepuluh kali lebih pandai daripada aku. Dia akan menjadi murid yang terbaik di dunia ini!”
“Eeiitt, eeitt, Coa-ong, enak saja kau bicara! Akulah orang pertama yang menemukan bakat anak ini dan akulah yang patut menjadi gurunya!”
Tiba-tiba dia merasa betapa hawa dingin yang menembus tulang-tulang di bagian bawah tubuhnya itu melenyap, terganti dengan hawa hangat yang amat menyenangkan! Akan tetapi, tubuhnya bagian atas berkeringat dan terasa panas sekali!
“Kerahkan sebagian hawa dari pusar ke atas untuk melawan panas! Gunakan pernapasan untuk mengatur pembagian hawa....” kembali kakeknya berkata dan tangan kakeknya menyentuh dan menekan kedua pundaknya.
Mula-mula dia merasa betapa sukarnya membagi hawa sakti dalam tubuh itu menjadi dua, bagian bawah melawan dingin dan bagian atas melawan panas. Akan tetapi begitu kedua pundaknya ditekan, mulailah dia dapat mengatur keseimbangan itu, seolah-olah ada hawa keluar dari kedua tangan kakeknya yang membimbingnya menguasai dan mengatur hawa dalam tubuhnya sendiri.
Semalam suntuk dia dilatih dan tanpa disadarinya, dia telah mewarisi sumber pembangkit tenaga sin-kang dari kakeknya! Semua ini teringat kembali oleh Ceng Liong ketika dalam keadaan tergantung kakinya itu dia mengalami hal yang luar biasa anehnya, yaitu ketika hawa sakti yang diterima dari kakeknya itu bergerak dan mendatangkan hal-hal aneh, mempertajam panca inderanya!
Setelah Hek-i Mo-ong selesai bercerita, menyombongkan hasil usahanya yang telah membakar Istana Pulau Es dan membinasakan keluarga Pulau Es, dia tertawa dan menutup ceritanya.
“Hua-ha-ha, hancurlah sudah musuh nomor satu kita semua! Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya itu telah tewas. Seorang cucunya, gadis cantik itu, tentu akan hancur pula karena terjatuh ke tangan Jai-hwa Siauw-ok! Siapa tidak tahu keganasan Siauw-ok terhadap wanita? Dan seorang cucu pria terjatuh ke laut, bersama jenderal muda musuh kita pula, putera Naga Sakti Gurun Pasir itu. Mereka berdua tak mungkin dapat hidup ditelan ombak badai itu. Tinggal yang seorang ini, cucu keluarga Pulau Es yang tidak kubunuh karena hendak kuperlihatkan kalian semua. Ha-ha-ha!”
“Maaf, Mo-ong, kukira keadaannya belum begitu membesarkan hati sehingga kita boleh tergesa-gesa bergembira dengan hasil itu.”
Semua orang menoleh dan memandang kepada orang yang bicara. Begitu beraninya orang ini bicara yang sedikit banyak merupakan celaan terhadap Mo-ong, atau mengecilkan arti pembinasaan Pulau Es itu.
Hek-i Mo-ong sendiri dengan perlahan menoleh dan membalikkan tubuh menghadapi orang yang bicara itu. Semua orang menghentikau suara mereka dan keadaan menjadi hening karena mereka semua ingin mendengar apa yang akan dibicarakan antara dua orang ini. Apalagi setelah semua orang melihat bahwa yang bicara itu adalah orang yang amat aneh, dan yang tadi tidak mereka lihat berada di situ. Agaknya orang ini, seperti setan saja, tahu-tahu muncul di situ dan berani mencela Hek-i Mo-ong. Sebaliknya, Begitu Hek-i Mo-ong melihat orang itu, alisnya yang berkerut itu membuyar dan wajahnya berseri, mulutnya tertawa ramah.
“Ha-ha-ha, tadinya kusangka siapa yang berani lancang mencelaku. Kiranya See-thian Coa-ong! Ha-ha-ha, di antara sahabat sendiri, memang sebaiknya kalau kita bicara blak-blakan saja. Nah, jelaskan, kawan, mengapa kita tidak boleh bergembira dengan hasil baik ini?” Banyak di antara mereka terkejut mendengar disebutnya nama See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat) itu.
Nama itu adalah nama seorang tokoh besar dunia persilatan yang termasuk orang aneh, tak dapat dibilang berpihak kaum pendekar ataupun pendukung golongan sesat. Dia seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang berdiri bebas dalam keanehan mereka sendiri, tidak perduli akan golongan-golongan dan tidak mau mencampuri dalam arti kata tidak mau terlibat. Setelah kini mereka memandang penuh perhatian, diam-diam mereka mengakui akan keanehan orang ini, keanehan yang mengerikan.
See-thian Coa-ong ini bukanlah seorang Han. Hal itu jelas nampak dari wajahnya dan kulitnya. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun dan tubuhnya hampir telanjang bulat. Hanya ada kain cawat penutup tubuhnya. Kulitnya kehitaman dan karena sangat kurus, maka nampak tinggi sekali. Kepalanya botak kelimis. Kedua telinganya yang terlalu lebar itu dihias anting-anting perak. Kedua pergelangan tangannya yang hanya kulit membungkus tulang itu terhias gelang-gelang perak. Dan di lehernya terdapat kalung, bukan kalung perak atau emas, melainkan kalung hidup, yaitu seekor ular kobra belang yang amat berbisa. Ular seperti ini kalau menggigit, kabarnya tidak ada obatnya lagi dan si korban langsung mati! Melihat ular ini saja, mereka yang mengenal kehebatan racunnya, sudah merasa ngeri dan mereka yang berdiri dekat sudah menggeser tempatnya menjauh. Ada bau harum amis datang dari kakek ini.
Para pembaca cerita SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN tentu masih ingat kepada kakek aneh ini. Kurang lebih sepuluh sampai dua belas tahun yang lalu, See-thian Coa-ong pernah muncul dan pernah membimbing pendekar wanita Bu Ci Sian dalam ilmu menaklukkan ular-ular dan memperdalam ilmu silat pendekar itu. Kemudian kakek ini menghilang karena memang dia seorang perantau yang biasa berkelana ke gunung-gunung, terutama di Pegunungan Himalaya.
See-thian Coa-ong adalah seorang Nepal yang bernama Nilagangga. Akan tetapi, sejak mudanya dia sudah seringkali datang ke daerah Tiongkok sehingga dia menguasai pula Bahasa Han, dan juga dia mengenal banyak tokoh-tokoh dunia kang-ouw. Banyak pula dia mendapatkan ilmu-ilmu silat dari daerah Sin-kiang dan di daerah Sin-kiang inilah dia dahulu berkenalan dengan Hek-i Mo-ong. Ketika itu Hek-i Mo-ong masih memimpin perkumpulan Hek-i-mo di Sin-kiang. Itulah sebabnya mengapa peranakan Kozak ini bersikap ramah kepada Raja Ular itu.
“Hek-i Mo-ong, menurut ceritamu tadi, biarpnn engkau telah berhasil membinasakan Pulau Es dan para penghuninya, akan tetapi engkaupun kehilangan banyak sekali kawan-kawanmu. Bahkan orang-orang yang lihai sekali seperti Ngo-bwe Sai-kong, Si Ulat Seribu, dan Eng-jiauw Siauw-ong telah tewas dalam penyerbuan itu, belum lagi dihitung banyaknya anak buahmu. Dan untuk semua pengorbanan itu, engkau hanya dapat menewaskan Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya, tiga orang yang sudah tua renta dan yang tanpa diserbu sekalipun akan mati sendiri tidak lama lagi. Apakah hal itu boleh dibuat gembira?”
Wajah Hek-i Mo-ong menjadi agak merah akan tetapi dia masih tersenyum lebar.
“Aha, Coa-ong! Agaknya engkau lupa bahwa pengorbanan seperti itu jauh terlalu ringan dan murah dibandingkan dengan hasilnya. Bayangkan saja! Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya! Dan Pulau Es juga terbakar habis. Belum lagi tiga orang cucu mereka tentu akan tewas, ditambah lagi Jenderal Muda Kao Cin Liong yang sudah banyak menimbulkan susah kepada kawan-kawan kita, terutama di barat.”
Kakek See-thian Coa-ong menghela napas panjang.
“Baiklah, baiklah.... katakanlah bahwa hasilnya cukup besar. Akan tetapi apakah kita dapat mengatakan bahwa kematian mereka itu akan membebaskan kalian dari lawan kalian ? Mo-ong, apakah artinya hasil itu kalau engkau ingat bahwa di sana masih hidup keturunan Pulau Es yang amat lihai? Lupakah engkau kepada Puteri Milana, puteri Pendekar Super Sakti dan suaminya orang she Gak yang amat lihai itu? Dan lupakah engkau kepada putera-putera Pendekar Super Sakti yang bernama Suma Kian Lee dan terutama sekali Suma Kian Bu Si Pendekar Siluman Kecil? Dan juga, kalau benar Jenderal Muda Kao Cin Liong tewas, engkau harus berani menghadapi Naga Sakti Gurun Pasir! Dan.... ah, masih banyak lagi para pendekar sakti yang akan merupakan lawan berat bagimu, Hek-i Mo-ong. Lupakah engkau kepada keluarga Bu-taihiap yang kini tinggal di kota raja? Bu-taihiap dan isteri-isterinya saja sudah amat lihai, apalagi mantunya! Tentu engkau tidak akan melupakan Kam Hong yang dijuluki Pendekar Suling Emas itu, bukan? Juga keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Hemm, aku sendiri sebagai orang luar merasa khawatir akan masa depanmu, Hek-i Mo-ong!”
Wajah Hek-i Mo-ong yang tadinya merah itu kini menjadi agak pucat. Diingatkan kepada para pendekar sakti itu, jantungnya berdebar tegang dan hatinya kecut. Rasa gentar menyelinap di sanubarinya karena apa yang diucapkan oleh Raja Ular itu sama sekali tidak keliru. Mereka semua itu adalah orang-orang hebat dan harus diakuinya bahwa ketika menghadapi Pendekar Suling Emas Kam Hong dia terdesak hebat, dan nyaris tewas kalau tidak mempergunakan sihirnya untuk melarikan diri.
“Wah, bukan main....! Belum tentu dalam seratus tahun sekali ditemukan seorang anak seperti ini! Bahan yang luar biasa hehatnya, sungguh seorang anak ajaib, seorang dengan tubuh dewasa! Cukup pantas untuk menjadi tempat tinggal titisan Dalai Lama!”
Teriakan penuh kagum ini menarik perhatian semua orang, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri, yang tertegun mendengar ucapan See-thian Coa-ong tadi, menoleh dan dia melihat seorang kakek pengemis sedang memeriksa tubuh Ceng Liong yang tergantung jungkir balik. Kakek itu memutar-mutar tubuh itu, menyentuh sana-sini dan berulang-ulang mengeluarkan pujiannya.
“Aih, tengkoraknya menandakan bahwa otaknya melebihi otak anak biasa, menjendol di sini, rata di sini.... ah, dan telinga ini! Hemmm.... tulang yang kuat dan bersih, bukan main!”
Kakek itu tentu usianya tidak kurang dari tujuh puluh tahun, dan dilihat dari pakaiannya, mudah diduga bahwa dia adalah seorang pengemis. Pakaian yang tambal-tambalan kusut dan rambut awut-awutan, tubuhnya tinggi kurus seperti orang yang selalu kekurangan makan. Matanya lebar kadang-kadang terbelalak. Ketiak kirinya mengempit sebatang tongkat bambu, dan di pinggangnya tergantung sebuah kantung butut yang berisi sebuah ciu-ouw (guci arak) kuningan dan sebuah mangkok retak.
Biarpun kakek ini nampaknya demikian miskin sederhana, namun Hek-i Mo-ong mengenalnya sebagai seorang tokoh kang-ouw yang juga berdiri bebas seperti See-thian Coa-ong Nilagangga. Tokoh pengemis ini termasuk seorang tokoh ugal-ugalan yang aneh, tidak pernah berpihak sana-sini. Akan tetapi dia merupakan seorang tokoh yang amat terkenal di daerah selatan.
Dialah Koai-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Bertongkat Aneh) Bhok Sun, seorang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan menganggap dunia inilah tempat tinggalnya, tanah menjadi lantainya, langit menjadi atapnya. Maka, biarpun dia ini merupakan seorang tokoh di daerah selatan, tidak aneh melihat dia kini tiba-tiba muncul di tempat yang jauh di utara.
Melihat kakek ini meraba-raba dan memuji-muji Ceng Liong, semua orang tertarik dan mereka mulai mendekati anak itu dan merubungnya.
“Darahnya murni dan ada hawa sin-kang yang amat luar biasa di dalam tubuhnya, berpusat di pusar dan mengalir di seluruh tubuh! Demi iblis, belum pernah aku melihat yang seperti ini!”
See-thian Coa-ong Nilagangga menjadi tertarik sekali dan diapun mendekat. Kepala ular cobra yang melingkari lehernya itu terjulur dan hampir menyentuh muka Ceng Liong, akan tetapi anak ini sedikitpun tidak kelihatan takut, bahkan dengan sepasang matanya yang tajam dia memandang kepala ular itu dan sungguh aneh, ular itu nampak gelisah dan berusaha menjauhkan kepalanya ketika See-thian Coa-ong mendekati Ceng Liong, seolah-olah ada sesuatu pada diri anak itu yang membuat binatang itu gelisah. Segera terdengar seruan-seruan kagum dari See-thian Coa-ong dalam bahasa asing. Hek-i Mo-ong mengerti apa yang diucapkan oleh See-thian Coa-ong itu.
“Aihh, Raja Cobra sampai takut terhadap anak ini! Bukan main....!” Dia meraba-raba kepala dan leher serta pundak Ceng Liong, lalu melanjutkan, “....memang hebat! Anak ini tubuhnya sekuat naga!”
Seperti dua orang kakek yang hendak membeli seekor ayam jago aduan, Koai-tung Sin-kai dan See-thian Coa-ong meraba-raba dan memeriksa Ceng Liong, menekan perutnya, memijat dada dan pundak, membelai kaki tangan, melihat mata, hidung, mulut dan telinga, meraba tulang-tulangnya.
“Ha-ha-ha, Raja Ular, ternyata matamu tajam juga dapat mengenal seorang sin-tong (anak ajaib) yang bertulang dewa!” Kakek Pengemis itu tertawa.
“Siapa yang tidak mengenal senjata pusaka adalah seorang tolol dan buta! Dan anak ini lebih berharga daripada sebuah senjata pusaka! Kalau kuberi kepandaianku kepadanya, dia bisa menjadi sepuluh kali lebih pandai daripada aku. Dia akan menjadi murid yang terbaik di dunia ini!”
“Eeiitt, eeitt, Coa-ong, enak saja kau bicara! Akulah orang pertama yang menemukan bakat anak ini dan akulah yang patut menjadi gurunya!”
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 026"
Posting Komentar