Bermacam perasaan teraduk dalam hati Cia Han Beng ketika dia diam-diam meninggalkan kota raja. Ibunya telah tewas! Biarpun hal itu tidak diumumkan, namun dia dapat menduganya dengan jelas. Dia mendengar bahwa Kaisar tiba-tiba menderita sakit, dan menurut desas-desus yang didengarnya, penyakit Kaisar adalah luka yang keracunan.
Bagaimana Kaisar tiba-tiba menderita luka yang membuatnya menjadi sakit payah kalau bukan dilakukan oleh ibunya? Tentu ibunya telah menyerang Kaisar, nyaris berhasil, akan tetapi tentu telah menebus dengan nyawa sendiri. Hal ini dia yakin benar karena siapakah yang akan mampu lolos dengan selamat setelah percobaannya membunuh Kaisar?
Dia merasa berduka. Tentu saja! Ibu kandungnya telah tewas dan dia tidak dapat membayangkan bagaimana kematian ibunya itu. Ditangkap dan disiksa lebih dulu? Kiranya, tidak demikian. Ibunya bukan seorang bodoh, bahkan Ibunya memiliki ilmu silat yang lumayan. Kalau usahanya gagal, tentu ibunya tidak membiarkan dirinya ditangkap dan disiksa, melainkan membunuh diri. Kiranya hanya ada dua kemungkinan.
Ibunya mati bunuh diri setelah gagal, atau tewas di tangan Kaisar yang dia tahu memang memiliki kepandaian silat lebih tinggi daripada ibunya. Betapapun juga, Kaisar telah menderita luka parah sekali. Dia mendengar pula tentang diangkatnya Pangeran sebagai penggantinya dan mendengar tentang perubahan-perubahan yang dia lakukan oleh Pangeran yang bijaksana itu. Hal ini mengurangi kedukaannya dan kedukaan karena kematian ibunya itu terhibur oleh kebanggaan akan jasa ibunya! Ya, ibunya berjasa besar.
Ibunya telah berhasil, jauh lebih berhasil daripada usaha ratusan bahkan mungkin ribuan orang pendekar patriot! Ibunya telah menyerang Kaisar dengan langsung, dan telah memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan yang amat baik bagi para patriot! Ibunya seorang patriot sejati! Mengorbankan diri dan menghembuskan nyawa akan tetapi menolong nasib rakyat dan para pendekar! Patut dibanggakan!
Akan tetapi, di samping semua perasaan itu ketika dia meninggalkan kota raja, ada suatu perasaan duka yang masih menyelinap di dalam hatinya kalau dia teringat kepada Ci Sian. Dia mencinta dara itu. Akan tetapi dia melihat kenyataan bahwa dara itu tidak membalas cintanya, bahwa dara itu tidak mencintanya, dan pertentangan paham di antara mereka tentu akan merupakan jurang yang amat lebar yang akan memisahkan mereka.
Dengan adanya perbedaan paham tentang perjuangan itu kiranya tidaklah mungkin dapat terjalin pertalian kasih sayang di antara mereka. Dia bukan seorang pemuda yang berpikiran sempit, melainkan orang yang sejak kecil telah digembleng oleh berbagai kepahitan hidup sehingga tidak menurutkan perasaan belaka.
Akhirnya dia berkunjung ke Cin-an, diterima dengan amat ramah-tamah oleh keluarga Bu Seng Kin. Apalagi ketika keluarga Bu mendengar bahwa pemuda itu adalah putera dari selir Kaisar yang telah menyerang Kaisar dan mengakibatkan Kaisar terluka parah kemudian Kaisar tewas oleh lukanya itu, maka pandangan para patriot terhadap Cia Han Beng menjadi naik dan pemuda itu dianggap sebagai putera seorang patriot sejati.
Di dalam pertemuan antara Cia Han Beng dengan para patriot dan terutama dengan keluarga Bu di Cin-an itu, terjadilah kontak antara dua hati melalui sinar mata mereka, yaitu antara pemuda Kun-lun-pai ini dan Bu Siok Lan.
Kontak ini dimulai ketika pemuda itu untuk pertama kalinya datang memperkenalkan diri sebagai seorang sepaham, yaitu golongan patriot yang menentang penjajahan bangsa Mancu.
Karena ingin sekali mengukur kelihaian pemuda ini, maka Bu Seng Kin lalu mengajaknya ke lian-bu-thia dan di ruangan ini Bu-taihiap lalu minta kepada Han Beng untuk memperlihatkan ilmu silatnya dan sebagai pasangannya adalah Siok Lan. Tentu saja tadinya kedua pihak ini saling memandang rendah. Siok Lan memang mempunyai watak keras dan agak tinggi hati, hal ini mungkin timbul karena ibunya adalah bekas panglima, dan ayahnya adalah seorang pendekar sakti yang amat terkenal. Maka, mendengar bahwa pemuda yang baru datang itu adalah murid Kun-lun-pai, dia memandang rendah.
Akan tetapi begitu mereka bergerak dan saling serang, keduanya terkejut. Han Beng tidak menyangka bahwa Bu Siok Lan ternyata memiliki kepandaian yang cukup hebat dan tidak mengecewakan menjadi puteri Bu-taihiap, pemimpin para patriot di Cin-an itu. Sebaliknya Siok Lan terkejut bukan main karena dalam beberapa gebrakan saja tahulah ia bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang tinggi, dan tenaga sin-kangnya jauh lebih kuat daripada tenaganya sendiri. Dan timbullah kekaguman dalam hatinya, apalagi ketika Han Beng tidak mendesaknya melainkan banyak bersikap mengalah, hal ini tidak luput pula dari pandangan Bu-taihiap yang tajam. Seorang pemuda yang lihai sekali, pikir pendekar ini. Dan memiliki watak yang halus dan baik sehingga mau pula mengalah terhadap puteri tuan rumah dalam pibu persahabatan itu.
Setelah lewat seratus jurus, Siok Lan mencabut pedangnya dan minta untuk bertanding ilmu pedang.
“Harap Cia-enghiong suka memberi pelajaran ilmu pedang kepadaku,” demikian kata Siok Lan sambil mencabut pedangnya. Napasnya agak memburu dan lehernya penuh keringat setelah ia harus melayani lawan sampai seratus jurus tadi.
Cia Han Beng tersenyum.
“Ah, Nona Bu Sungguh terlalu merendahkan diri,” katanya. “Sebagai puteri Bu-locianpwe, tentu ilmu pedangmu hebat bukan main. Mana berani aku main-main dengan ilmu pedangmu? Biarlah aku mengaku kalah saja.”
Bu-taihiap senang akan sikap ini, akan tetapi diam-diam timbul harapan dalam dirinya untuk dapat menjodohkan puterinya itu dengan pemuda ini. Pemuda ini, dibandingkan dengan Jenderal Muda Kao Cin Liong yang pernah menolak perjodohan yang diusulkannya itu, tidaklah kalah terlalu banyak! Dia tahu bahwa pemuda ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang tertinggi dari para pimpinan Kun-lun-pai agaknya.
“Cia-enghiong, harap jangan bersikap sungkan. Anakku yang bodoh mohon petunjukmu, dan kami sendiri pun sudah lama sekali tidak pernah melihat Kun-lun Kiam-sut. Maka, harap Cia-enghiong tidak terlalu pelit untuk memperlihatkan sampai di mana kemajuan ilmu pedang Kun-lun-pai yang amat terkenal itu.”
Karena desakan pendekar itu, terpaksa Cia Han Beng menjura kepada Siok Lan sambil berkata,
“Maafkan, Nona,” dan tangannya sudah mencabut sebatang pedang yang begitu dicabut tampak sinar merah yang seperti warna darah. Itulah pedang Ang-hio-kiam (Pedang Daun Merah) pemberian suhunya, sebuah di antara pedang-pedang pusaka dari Kun-lun-pai.
Melihat pedang bersinar merah ini, keluarga Bu memandang kagum karena mereka semua sebagai ahli-ahli silat mengenal sebatang pedang pusaka yang baik.
“Siok Lan, kau pakailah pedangku ini!”
Tiba-tiba Nandini berkata sambil mencabut pedangnya dan menyerahkannya kepada Siok Lan. Karena dara ini mengenal pedang ibunya sebagai pedang hadiah dari Raja Nepal dan merupakan sebatang pedang yang baik pula, maka ia pun cepat menukar pedangnya.
Tentu saja di samping ingin meminjamkan pedangnya kepada puterinya agar dapat menandingi pedang merah lawan, juga Puteri Nandini memperkenalkan diri secara tidak langsung bahwa ia adalah ibu Siok Lan. Dan memang Han Beng memandang dengan rasa heran di dalam hatinya. Dari suaranya, dia dapat menduga bahwa wanita itu bukanlah seorang wanita Han, akan tetapi wanita setengah tua itu selain cantik, juga memiliki sikap yang gagah sekali. Dia hanya dapat menduga bahwa tentu ibu Siok Lan itu adalah seorang wanita dari suku bangsa yang jauh di barat atau di utara, tapi sepatutnya dekat daerah Tibet.
“Cia-enghiong, mulailah!”
Siok Lan melintangkan pedang ibunya di depan dada sambil tersenyum. Hatinya telah terpikat melihat betapa tadi dengan tangan kosong ia sama sekali tidak berdaya menghadapi pemuda perkasa ini.
“Silakan, Nona, aku sudah siap,” kata Cia Han Beng yang tentu saja sebagai seorang tamu, apalagi sebagai seorang pria yang menghadapi seorang wanita, merasa segan untuk memulai dengan serangan lebih dulu.
Hal ini menyenangkan hati Siok Lan dan setelah mengeluarkan seruan panjang yang nyaring akan tetapi juga merdu, ia sudah menggerakkan pedang di tangannya itu membuka serangan, Han Beng menangkis dan pemuda ini dengan hati-hati sekali menjaga agar jangan sampai pedangnya merusak pedang gadis itu.
Terjadilah pertandingan ilmu pedang yang amat indah. Semua orang memandang kagum karena permainan pedang pemuda Kun-lun-pai itu terkandung kekuatan yang dahsyat sekali. Setelah lewat lima puluh jurus, Siok Lan sudah tidak dapat melakukan serangan balasan lagi. Semua gerakannya tertutup, dan biarpun pemuda itu menyerangnya dengan perlahan, dan lambat saja bagi pemuda itu, namun bagi Siok Lan sudah membuatnya repot bukan main. Akhirnya, karena napasnya memburu dan lengannya yang memegang pedang terasa lelah dan kehabisan tenaga karena setiap tangkisan pedangnya mendatangkan getaran hebat yang membuat seluruh buku tulangnya nyeri, Siok Lan meloncat ke belakang.
“Cia-enghiong, aku menerima petunjukmu. Terima kasih!” dan gadis ini lalu menjura dan tanpa banyak cakap lagi lalu melarikan diri ke ruangan belakang.
Jangan dikira bahwa gadis ini merasa malu karena kalah, melainkan malu karena melihat perasaannya sendiri terhadap pemuda itu.
Pemuda itu sendiri pun tergerak hatinya. Dia melihat seorang dara yang selain cantik manis akan tetapi juga penuh semangat perjuangan, puteri seorang pemimpin pejuang.
Tentu saja dia tidak mungkin dapat membandingkan gadis yang manapun juga dengan Ci Sian yang telah merebut hatinya untuk pertama kalinya, juga dia tidak dapat membandingkan kepandaian Siok Lan dengan Ci Sian yang benar-benar membuatnya kagum sekali. Dia sendiri belum tentu akan mampu mengalahkan Ci Sian seandainya dia mengeluarkan seluruh kepandaiannya sekalipun. Akan tetapi, dia tertarik kepada Siok Lan yang sepaham dengan dia, yaitu berjiwa patriot menentang penjajahan.
Oleh karena itulah, setelah beberapa hari kemudian Bu Seng Kin dan keluarganya mengundangnya untuk bicara tentang perjodohan, dan keluarga itu mengusulkan pertalian jodoh antara dia dan Bu Siok Lan, Han Beng menerimanya dengan girang.
“Karena saya kini telah yatim piatu dan tidak mernpunyai anggauta keluarga lagi, maka untuk urusan ini sebaiknya kalau saya minta doa restu dari Suhu di Kun-lun-pai,” demikian saja dia menjawab.
“Tentu saja, hal itu baik sekali!” kata Bu Seng Kin. “Biarlah kita mencari hari baik dan kami akan mengirim utusan menghadap Kun-lun-pai dan membicarakan urusan perjodohan ini kepada mereka dengan resmi. Sementara ini, kita anggap bahwa engkau telah bertunangan dengan Siok Lan.”
Tentu saja sebelum membicarakan urusan perjodohan itu dengan Han Beng, lebih dulu Bu Seng Kin dan Nandini telah bicara dengan Siok Lan dan melihat gadis itu agaknya tidak menolak bahkan nampak malu-malu sebagai tanda kalau seorang perawan dilamar orang dan tidak menolak. Dan untuk pertunangan atau tali perjodohan yang disetujui kedua pihak ini, walaupun belum diresmikan karena mereka belum menghadap pimpinan Kun-lun-pai yang sebetulnya hanya merupakan wakil-wakil atau wali yang tidak langsung saja dari Han Beng dan tidak mungkin akan menolaknya, maka pertunangan itu lalu dirayakan secara sederhana oleh keluarga Bu. Hadir dalam perayaan sederhana itu para patriot pejuang yang menganggap Han Beng sebagai orang yang berjasa besar dalam perjuangan mereka.
Karena pesta berlangsung di antara golongan sendiri, maka biarpun diadakan dengan sederhana namun amat meriah. Tidak ada golongan luar yang diundang, maka percakapan yang terjadi dalam pesta kecil pun itu berjalan dengan lancar dan terbuka.
Akan tetapi, betapa heran dan terkejut hati semua orang ketika penjaga di luar dengan suara lantang mengumumkan datangnya keluarga Kao dari kota raja! Semua percakapan terhenti dan pihak tuan rumah, diikuti oleh keluarganya, bangkit dan berjalan ke pintu untuk menyambut.
Keheranan yang tadinya menyelinap di dalam hati Bu Seng Kin berubah menjadi kejutan besar sekali. Alisnya berkerut dan sepasang matanya memandang tajam ketika dia melihat bahwa yang muncul adalah tiga orang yang pernah datang di tempat ini dan menggegerkan semua sahabatnya para patriot. Mereka ini bukan lain adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu, isterinya yang berwatak keras dan juga lihai itu, dan puteranya, Jenderal Kao Cin Liong! Tentu saja jantungnya berdebar tegang dan biarpun dia pernah kalah oleh pendekar sakti dengan satu lengan itu dan isteri-isterinya juga kalah oleh keluarga Kao, namun dia tidak merasa gentar, bahkan memandang marah. Bu Seng Kin cepat mengangkat kedua tangannya ke depan dada, menghormat kepada tiga orang tamu itu.
“Ah, kiranya keluarga Kao yang gagah perkasa yang telah datang. Harap banyak maaf karena tidak mengetahui terlebih dahulu akan kunjungan Sam-wi, maka kami tidak dapat melakukan penyambutan secara selayaknya.”
Kao Kok Cu tersenyum dan mengangkat tangannya ke depan dada.
“Maaf, maaf...., kamilah yang seharusnya minta maaf karena datang tanpa memberi tahu terlebih dahulu sehingga agaknya kami amat mengganggu Bu-enghiong dan para sahabat yang gagah perkasa, yang agaknya sedang mengadakan pesta.”
“Ah, sama sekali tidak mengganggu. Malah kebetulan, silakan Sam-wi masuk dan duduk sebagai tamu kehormatan kami. Hendaknya Sam-wi ketahui bahwa malam ini kami sedang merayakan pertunangan puteri kami.”
Mendengar ini, tiga orang itu menjadi girang sekali, walaupun ada pula perasaan tidak enak dalam hati mereka. Pihak keluarga Bu pernah mengusulkan tali perjodohan dengan keluarga mereka, dan mereka telah menolaknya. Dan kini, setelah gadis yang pernah ditolak itu bertunangan dengan orang lain, mereka datang sebagai tamu yang tidak diundang!
Bagaimana Kaisar tiba-tiba menderita luka yang membuatnya menjadi sakit payah kalau bukan dilakukan oleh ibunya? Tentu ibunya telah menyerang Kaisar, nyaris berhasil, akan tetapi tentu telah menebus dengan nyawa sendiri. Hal ini dia yakin benar karena siapakah yang akan mampu lolos dengan selamat setelah percobaannya membunuh Kaisar?
Dia merasa berduka. Tentu saja! Ibu kandungnya telah tewas dan dia tidak dapat membayangkan bagaimana kematian ibunya itu. Ditangkap dan disiksa lebih dulu? Kiranya, tidak demikian. Ibunya bukan seorang bodoh, bahkan Ibunya memiliki ilmu silat yang lumayan. Kalau usahanya gagal, tentu ibunya tidak membiarkan dirinya ditangkap dan disiksa, melainkan membunuh diri. Kiranya hanya ada dua kemungkinan.
Ibunya mati bunuh diri setelah gagal, atau tewas di tangan Kaisar yang dia tahu memang memiliki kepandaian silat lebih tinggi daripada ibunya. Betapapun juga, Kaisar telah menderita luka parah sekali. Dia mendengar pula tentang diangkatnya Pangeran sebagai penggantinya dan mendengar tentang perubahan-perubahan yang dia lakukan oleh Pangeran yang bijaksana itu. Hal ini mengurangi kedukaannya dan kedukaan karena kematian ibunya itu terhibur oleh kebanggaan akan jasa ibunya! Ya, ibunya berjasa besar.
Ibunya telah berhasil, jauh lebih berhasil daripada usaha ratusan bahkan mungkin ribuan orang pendekar patriot! Ibunya telah menyerang Kaisar dengan langsung, dan telah memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan yang amat baik bagi para patriot! Ibunya seorang patriot sejati! Mengorbankan diri dan menghembuskan nyawa akan tetapi menolong nasib rakyat dan para pendekar! Patut dibanggakan!
Akan tetapi, di samping semua perasaan itu ketika dia meninggalkan kota raja, ada suatu perasaan duka yang masih menyelinap di dalam hatinya kalau dia teringat kepada Ci Sian. Dia mencinta dara itu. Akan tetapi dia melihat kenyataan bahwa dara itu tidak membalas cintanya, bahwa dara itu tidak mencintanya, dan pertentangan paham di antara mereka tentu akan merupakan jurang yang amat lebar yang akan memisahkan mereka.
Dengan adanya perbedaan paham tentang perjuangan itu kiranya tidaklah mungkin dapat terjalin pertalian kasih sayang di antara mereka. Dia bukan seorang pemuda yang berpikiran sempit, melainkan orang yang sejak kecil telah digembleng oleh berbagai kepahitan hidup sehingga tidak menurutkan perasaan belaka.
Akhirnya dia berkunjung ke Cin-an, diterima dengan amat ramah-tamah oleh keluarga Bu Seng Kin. Apalagi ketika keluarga Bu mendengar bahwa pemuda itu adalah putera dari selir Kaisar yang telah menyerang Kaisar dan mengakibatkan Kaisar terluka parah kemudian Kaisar tewas oleh lukanya itu, maka pandangan para patriot terhadap Cia Han Beng menjadi naik dan pemuda itu dianggap sebagai putera seorang patriot sejati.
Di dalam pertemuan antara Cia Han Beng dengan para patriot dan terutama dengan keluarga Bu di Cin-an itu, terjadilah kontak antara dua hati melalui sinar mata mereka, yaitu antara pemuda Kun-lun-pai ini dan Bu Siok Lan.
Kontak ini dimulai ketika pemuda itu untuk pertama kalinya datang memperkenalkan diri sebagai seorang sepaham, yaitu golongan patriot yang menentang penjajahan bangsa Mancu.
Karena ingin sekali mengukur kelihaian pemuda ini, maka Bu Seng Kin lalu mengajaknya ke lian-bu-thia dan di ruangan ini Bu-taihiap lalu minta kepada Han Beng untuk memperlihatkan ilmu silatnya dan sebagai pasangannya adalah Siok Lan. Tentu saja tadinya kedua pihak ini saling memandang rendah. Siok Lan memang mempunyai watak keras dan agak tinggi hati, hal ini mungkin timbul karena ibunya adalah bekas panglima, dan ayahnya adalah seorang pendekar sakti yang amat terkenal. Maka, mendengar bahwa pemuda yang baru datang itu adalah murid Kun-lun-pai, dia memandang rendah.
Akan tetapi begitu mereka bergerak dan saling serang, keduanya terkejut. Han Beng tidak menyangka bahwa Bu Siok Lan ternyata memiliki kepandaian yang cukup hebat dan tidak mengecewakan menjadi puteri Bu-taihiap, pemimpin para patriot di Cin-an itu. Sebaliknya Siok Lan terkejut bukan main karena dalam beberapa gebrakan saja tahulah ia bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang tinggi, dan tenaga sin-kangnya jauh lebih kuat daripada tenaganya sendiri. Dan timbullah kekaguman dalam hatinya, apalagi ketika Han Beng tidak mendesaknya melainkan banyak bersikap mengalah, hal ini tidak luput pula dari pandangan Bu-taihiap yang tajam. Seorang pemuda yang lihai sekali, pikir pendekar ini. Dan memiliki watak yang halus dan baik sehingga mau pula mengalah terhadap puteri tuan rumah dalam pibu persahabatan itu.
Setelah lewat seratus jurus, Siok Lan mencabut pedangnya dan minta untuk bertanding ilmu pedang.
“Harap Cia-enghiong suka memberi pelajaran ilmu pedang kepadaku,” demikian kata Siok Lan sambil mencabut pedangnya. Napasnya agak memburu dan lehernya penuh keringat setelah ia harus melayani lawan sampai seratus jurus tadi.
Cia Han Beng tersenyum.
“Ah, Nona Bu Sungguh terlalu merendahkan diri,” katanya. “Sebagai puteri Bu-locianpwe, tentu ilmu pedangmu hebat bukan main. Mana berani aku main-main dengan ilmu pedangmu? Biarlah aku mengaku kalah saja.”
Bu-taihiap senang akan sikap ini, akan tetapi diam-diam timbul harapan dalam dirinya untuk dapat menjodohkan puterinya itu dengan pemuda ini. Pemuda ini, dibandingkan dengan Jenderal Muda Kao Cin Liong yang pernah menolak perjodohan yang diusulkannya itu, tidaklah kalah terlalu banyak! Dia tahu bahwa pemuda ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang tertinggi dari para pimpinan Kun-lun-pai agaknya.
“Cia-enghiong, harap jangan bersikap sungkan. Anakku yang bodoh mohon petunjukmu, dan kami sendiri pun sudah lama sekali tidak pernah melihat Kun-lun Kiam-sut. Maka, harap Cia-enghiong tidak terlalu pelit untuk memperlihatkan sampai di mana kemajuan ilmu pedang Kun-lun-pai yang amat terkenal itu.”
Karena desakan pendekar itu, terpaksa Cia Han Beng menjura kepada Siok Lan sambil berkata,
“Maafkan, Nona,” dan tangannya sudah mencabut sebatang pedang yang begitu dicabut tampak sinar merah yang seperti warna darah. Itulah pedang Ang-hio-kiam (Pedang Daun Merah) pemberian suhunya, sebuah di antara pedang-pedang pusaka dari Kun-lun-pai.
Melihat pedang bersinar merah ini, keluarga Bu memandang kagum karena mereka semua sebagai ahli-ahli silat mengenal sebatang pedang pusaka yang baik.
“Siok Lan, kau pakailah pedangku ini!”
Tiba-tiba Nandini berkata sambil mencabut pedangnya dan menyerahkannya kepada Siok Lan. Karena dara ini mengenal pedang ibunya sebagai pedang hadiah dari Raja Nepal dan merupakan sebatang pedang yang baik pula, maka ia pun cepat menukar pedangnya.
Tentu saja di samping ingin meminjamkan pedangnya kepada puterinya agar dapat menandingi pedang merah lawan, juga Puteri Nandini memperkenalkan diri secara tidak langsung bahwa ia adalah ibu Siok Lan. Dan memang Han Beng memandang dengan rasa heran di dalam hatinya. Dari suaranya, dia dapat menduga bahwa wanita itu bukanlah seorang wanita Han, akan tetapi wanita setengah tua itu selain cantik, juga memiliki sikap yang gagah sekali. Dia hanya dapat menduga bahwa tentu ibu Siok Lan itu adalah seorang wanita dari suku bangsa yang jauh di barat atau di utara, tapi sepatutnya dekat daerah Tibet.
“Cia-enghiong, mulailah!”
Siok Lan melintangkan pedang ibunya di depan dada sambil tersenyum. Hatinya telah terpikat melihat betapa tadi dengan tangan kosong ia sama sekali tidak berdaya menghadapi pemuda perkasa ini.
“Silakan, Nona, aku sudah siap,” kata Cia Han Beng yang tentu saja sebagai seorang tamu, apalagi sebagai seorang pria yang menghadapi seorang wanita, merasa segan untuk memulai dengan serangan lebih dulu.
Hal ini menyenangkan hati Siok Lan dan setelah mengeluarkan seruan panjang yang nyaring akan tetapi juga merdu, ia sudah menggerakkan pedang di tangannya itu membuka serangan, Han Beng menangkis dan pemuda ini dengan hati-hati sekali menjaga agar jangan sampai pedangnya merusak pedang gadis itu.
Terjadilah pertandingan ilmu pedang yang amat indah. Semua orang memandang kagum karena permainan pedang pemuda Kun-lun-pai itu terkandung kekuatan yang dahsyat sekali. Setelah lewat lima puluh jurus, Siok Lan sudah tidak dapat melakukan serangan balasan lagi. Semua gerakannya tertutup, dan biarpun pemuda itu menyerangnya dengan perlahan, dan lambat saja bagi pemuda itu, namun bagi Siok Lan sudah membuatnya repot bukan main. Akhirnya, karena napasnya memburu dan lengannya yang memegang pedang terasa lelah dan kehabisan tenaga karena setiap tangkisan pedangnya mendatangkan getaran hebat yang membuat seluruh buku tulangnya nyeri, Siok Lan meloncat ke belakang.
“Cia-enghiong, aku menerima petunjukmu. Terima kasih!” dan gadis ini lalu menjura dan tanpa banyak cakap lagi lalu melarikan diri ke ruangan belakang.
Jangan dikira bahwa gadis ini merasa malu karena kalah, melainkan malu karena melihat perasaannya sendiri terhadap pemuda itu.
Pemuda itu sendiri pun tergerak hatinya. Dia melihat seorang dara yang selain cantik manis akan tetapi juga penuh semangat perjuangan, puteri seorang pemimpin pejuang.
Tentu saja dia tidak mungkin dapat membandingkan gadis yang manapun juga dengan Ci Sian yang telah merebut hatinya untuk pertama kalinya, juga dia tidak dapat membandingkan kepandaian Siok Lan dengan Ci Sian yang benar-benar membuatnya kagum sekali. Dia sendiri belum tentu akan mampu mengalahkan Ci Sian seandainya dia mengeluarkan seluruh kepandaiannya sekalipun. Akan tetapi, dia tertarik kepada Siok Lan yang sepaham dengan dia, yaitu berjiwa patriot menentang penjajahan.
Oleh karena itulah, setelah beberapa hari kemudian Bu Seng Kin dan keluarganya mengundangnya untuk bicara tentang perjodohan, dan keluarga itu mengusulkan pertalian jodoh antara dia dan Bu Siok Lan, Han Beng menerimanya dengan girang.
“Karena saya kini telah yatim piatu dan tidak mernpunyai anggauta keluarga lagi, maka untuk urusan ini sebaiknya kalau saya minta doa restu dari Suhu di Kun-lun-pai,” demikian saja dia menjawab.
“Tentu saja, hal itu baik sekali!” kata Bu Seng Kin. “Biarlah kita mencari hari baik dan kami akan mengirim utusan menghadap Kun-lun-pai dan membicarakan urusan perjodohan ini kepada mereka dengan resmi. Sementara ini, kita anggap bahwa engkau telah bertunangan dengan Siok Lan.”
Tentu saja sebelum membicarakan urusan perjodohan itu dengan Han Beng, lebih dulu Bu Seng Kin dan Nandini telah bicara dengan Siok Lan dan melihat gadis itu agaknya tidak menolak bahkan nampak malu-malu sebagai tanda kalau seorang perawan dilamar orang dan tidak menolak. Dan untuk pertunangan atau tali perjodohan yang disetujui kedua pihak ini, walaupun belum diresmikan karena mereka belum menghadap pimpinan Kun-lun-pai yang sebetulnya hanya merupakan wakil-wakil atau wali yang tidak langsung saja dari Han Beng dan tidak mungkin akan menolaknya, maka pertunangan itu lalu dirayakan secara sederhana oleh keluarga Bu. Hadir dalam perayaan sederhana itu para patriot pejuang yang menganggap Han Beng sebagai orang yang berjasa besar dalam perjuangan mereka.
Karena pesta berlangsung di antara golongan sendiri, maka biarpun diadakan dengan sederhana namun amat meriah. Tidak ada golongan luar yang diundang, maka percakapan yang terjadi dalam pesta kecil pun itu berjalan dengan lancar dan terbuka.
Akan tetapi, betapa heran dan terkejut hati semua orang ketika penjaga di luar dengan suara lantang mengumumkan datangnya keluarga Kao dari kota raja! Semua percakapan terhenti dan pihak tuan rumah, diikuti oleh keluarganya, bangkit dan berjalan ke pintu untuk menyambut.
Keheranan yang tadinya menyelinap di dalam hati Bu Seng Kin berubah menjadi kejutan besar sekali. Alisnya berkerut dan sepasang matanya memandang tajam ketika dia melihat bahwa yang muncul adalah tiga orang yang pernah datang di tempat ini dan menggegerkan semua sahabatnya para patriot. Mereka ini bukan lain adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu, isterinya yang berwatak keras dan juga lihai itu, dan puteranya, Jenderal Kao Cin Liong! Tentu saja jantungnya berdebar tegang dan biarpun dia pernah kalah oleh pendekar sakti dengan satu lengan itu dan isteri-isterinya juga kalah oleh keluarga Kao, namun dia tidak merasa gentar, bahkan memandang marah. Bu Seng Kin cepat mengangkat kedua tangannya ke depan dada, menghormat kepada tiga orang tamu itu.
“Ah, kiranya keluarga Kao yang gagah perkasa yang telah datang. Harap banyak maaf karena tidak mengetahui terlebih dahulu akan kunjungan Sam-wi, maka kami tidak dapat melakukan penyambutan secara selayaknya.”
Kao Kok Cu tersenyum dan mengangkat tangannya ke depan dada.
“Maaf, maaf...., kamilah yang seharusnya minta maaf karena datang tanpa memberi tahu terlebih dahulu sehingga agaknya kami amat mengganggu Bu-enghiong dan para sahabat yang gagah perkasa, yang agaknya sedang mengadakan pesta.”
“Ah, sama sekali tidak mengganggu. Malah kebetulan, silakan Sam-wi masuk dan duduk sebagai tamu kehormatan kami. Hendaknya Sam-wi ketahui bahwa malam ini kami sedang merayakan pertunangan puteri kami.”
Mendengar ini, tiga orang itu menjadi girang sekali, walaupun ada pula perasaan tidak enak dalam hati mereka. Pihak keluarga Bu pernah mengusulkan tali perjodohan dengan keluarga mereka, dan mereka telah menolaknya. Dan kini, setelah gadis yang pernah ditolak itu bertunangan dengan orang lain, mereka datang sebagai tamu yang tidak diundang!
0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 182"
Posting Komentar