Suma Hui membuka kedua matanya. Ia baru siuman dari pingsannya karena totokan yang dilakukan Cin Liong tadi. Begitu siuman, ia mengeluh lirih dan mengejap-ngejapkan mata. Mula-mula ia merasa heran melihat dirinya rebah di atas lantai dalam ruangan yang remang-remang diterangi cahaya lilin. Kemudian ia menoleh ke kanan kiri dan melihat Ciang Bun dan Ceng Liong duduk bersila di sebelah kirinya, dan melihat Cin Liong bersila di sebelah kanannya. Segera ia teringat akan semua yang telah dialaminya dan sekali bergerak, dara ini telah bangkit berdiri.
“Apa yang telah terjadi....? Ah.... engkau .... engkau telah menotokku dengan curang!”
Suma Hui teringat akan perbuatan Cin Liong tadi dan kemarahannya membuat ia meloncat ke depan. Cin Liong bangkit berdiri, akan tetapi sebelum dia sempat menerangkan, dara itu telah menggerakkan kedua tangan menampar mukanya dengan cepat.
“Plak! Plak! Plak! Plak!”
Empat kali kedua pipi Cin Liong menerima tamparan, membuat kulit pipinya menjadi merah. Dia sengaja tidak mau menangkis atau mengelak, maklum betapa marahnya dara itu dan bahwa dara itu telah salah kira.
“Enci, jangan....!” Ciang Bun memegang lengan kanan encinya.
“Enci Hui, jangan pukul dia!” Ceng Liong juga meloncat dan memegang tangan kiri dara itu.
“Biar! Lepaskan aku! Biar kuhajar manusia ini! Keponakan macam apa dia ini, berani menipuku dan menotokku....!”
“Sabarlah, enci, sabarlah. Semua ini adalah atas perintah nenek Nirahai,” kata Ciang Bun.
“Dia hanya mentaati pesan nenek Nirahai dan dia tidak bermaksud buruk terhadap engkau dan kita semua, enci Hui!” Ceng Liong juga membujuk dara yang masih marah itu.
Kedua tangan Suma Hui dikepal, matanya seperti berapi memandang wajah Cin Liong dan andaikata ia tidak dipegangi, tentu ia sudah menyerang kalang-kabut. Cin Liong hanya menundukkan mukanya dan mengusap kedua pipinya yang menjadi merah agak biru karena ketika ditampar tadi sama sekali tidak mengerahkan tenaga untuk melawan. Dan tamparan tangan seorang dara seperti Suma Hui amatlah hebatnya! Masih untung pendekar ini bahwa Suma Hui tidak menampar untuk menyerang, melainkan hanya sebagai peluapan amarahnya saja. Kalau dara itu tadi menampar dengan pengerahan tenaga sin-kang, tentu bisa retak-retak tulang rahangnya! Dan betapapun marahnya, melihat orang yang sama sekali tidak mengelak maupun menangkis tamparannya, tidak mungkin cucu dari Pendekar Super Sakti mau mempergunakan sin-kang.
Mendengar bujukan kedua orang adiknya dan melihat betapa kedua pipi pemuda itu matang biru dan pemuda itu hanya menundukkan muka dan mengusap kedua pipinya, kemarahan Suma Hui agak mereda. Ia menarik napas panjang beberapa kali untuk menelan kemarahannya dan akhirnya mukanya kehilangan sinar merah kemarahannya, pandang matanya tidak ganas seperti tadi dan melihat keadaan enci mereka, Ceng Liong dan Ciang Bun menjadi lega lalu melepaskan lengan gadis itu.
“Baiklah....” akhirnya Suma Hui berkata, “aku menerima kenyataan bahwa semua ini adalah atas perintah nenek Nirahai.... tetapi apa sebabnya? Bukankah Pulau Es diserbu musuh? Mengapa kita harus melarikan diri?”
Pertanyaan itu ditujukan kepada Cin Liong dan sepasang mata itu menatap wajah pendekar yang kedua pipinya merah kebiruan itu.
“Karena itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kalian bertiga,” jawab Cin Liong. “Sebelum terjadi penyerbuan, nenek buyut Nirahai telah minta aku berjanji untuk melaksanakan perintahnya itu, yaitu kalau keadaan sudah gawat aku harus membawa kalian ke sini untuk bersembunyi, kalau perlu dengan kekerasan seperti yang terpaksa kulakukan tadi. Harap maafkan kelancanganku, siauw-i (bibi kecil).”
“Tapi.... bagaimana dengan nenek Nirahai? Dan kakek? Kita disuruh bersembunyi, lalu bagaimana dengan mereka....? Mari kita keluar untuk membantu mereka!”
“Tapi, bibi....” Cin Liong hendak mencegah.
Memang sudah ada satu hari lebih mereka berada di situ semenjak mereka masuk sampai dara itu siuman, akan tetapi dia belum mengetahui bagaimana keadaan di luar sehingga berbahayalah kalau tiga orang muda itu keluar. Bagaimana kalau musuh masih berkeliaran di luar? Bukankah tiga orang muda ini akan terancam keselamatan mereka dan akan sia-sialah usahanya memenuhi perintah nenek Nirahai untuk menyingkirkan mereka dari bahaya?
Suma Hui menyambar sepasang pedangnya yang tadi dibawa pula masuk ke tempat persembunyian rahasia itu oleh Cin Liong. Nampak sinar berkelebat ketika ia menggerakkan sepasang pedang itu melintang di depan dadanya dan pandang matanya penuh tantangan terhadap Cin Liong.
“Engkau hendak melarangku? Hemm, boleh, ingin kulihat siapa yang akan berani mencegah aku keluar!”
Sejenak kedua orang ini berdiri saling pandang seperti dua ekor ayam hendak berkelahi, akan tetapi Cin Liong lalu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang.
“Baiklah, mari kita keluar dan kalau perlu aku akan mempertanggung-jawabkan janjiku kepada nenek buyut Nirahai.”
Cin Liong tahu bahwa dara di depannya ini memiliki kekerasan hati yang tak mungkin dilawannya, karena kalau dia menggunakan kekerasan, tentu dara itu akan melawan dan membencinya. Dan dia merasa ngeri kalau harus menghadapi kebencian dara ini.
“Tapi, nenek Nirahai akan marah kepadamu!” Suma Ciang Bun mencela. “Dan janji seorang gagah tidak boleh dilanggar, apalagi janji terhadap nenek Nirahai!”
“Enci Hui, kalau engkau memaksa Cin Liong, berarti engkaulah yang memaksanya melanggar janji dan engkau pula yang membantah terhadap perintah nenek Nirahai!”
Suma Ceng Liong juga mencela.Cin Liong kini melihat keraguan membayang pada wajah dara itu, keraguan yang bercampur dengan kekhawatiran. Dia merasa kasihan sekali, dapat memaklumi betapa duka dan khawatir adanya perasaan dara itu. Dia sendiripun tadinya kurang setuju terhadap niat nenek itu yang memaksanya untuk pergi meninggalkan nenek itu sendirian saja menghadapi banyak lawan tangguh sedangkan dia harus pergi menyelamatkan tiga orang muda itu.
Kalau dia terpaksa menerima perintah itu adalah karena diapun dapat melihat bahwa memang keselamatan tiga orang muda itu amat terancam dan perlu diselamatkan, dan dia sudah berjanji, maka bagaimanapun juga harus dipenuhinya. Akan tetapi sekarang, melihat kedukaan dan kekhawatiran yang membayang di wajah gadis itu, dia sendiri merasa menyesal mengapa dia telah mentaati perintah nenek Nirahai.
“Biarlah, kalau nenek buyut Nirahai marah, biarlah aku yang akan bertanggung jawab. Mari kita keluar dan melihat keadaan di sana,” kata Cin Liong dan tiga orang muda yang memang ingin sekali melihat bagaimana keadaan dengan nenek dan kakek mereka, tidak membantah lagi karena pemuda yang menjadi keponakan mereka itu yang akan bertanggung jawab.
Dengan hati-hati dan berindap-indap, Cin Liong dan tiga orang muda itu keluar dari pintu rahasia dan sebelum mereka berloncatan keluar, lebih dahulu mereka memperhatikan keadaan dengan pendengaran mereka. Akan tetapi keadaan di luar amat hening. Tidak terdengar suara sedikitpun, juga tidak nampak sesuatu, tidak nampak seorangpun. Begitu sunyi keadaannya, sunyi menegangkan hati dan dapat menimbulkan dugaan-dugaan yang mengerikan.
Apalagi setelah mereka berada di luar. Sungguh jauh sekali daripada yang mereka kira semula. Tidak nampak bayangan seorangpun musuh, juga tidak nampak mayat-mayat mereka, padahal mereka berempat itu maklum betapa banyaknya pihak musuh yang roboh dan tewas.
“Mari kita cari di dalam!”
Suma Hui berkata dan suaranya agak gemetar, tanda bahwa dia merasa gelisah sekali. Setelah kini berada di luar, ialah yang menjadi pemimpin.
Bagaimanapun juga, Cin Liong hanyalah seorang tamu dan seorang keponakan. Mereka lalu berjalan cepat, bahkan berlari, memasuki Istana Pulau Es. Dan di ruangan depan, mereka sudah dikejutkan oleh kenyataan mengerikan, yaitu menggeletaknya lima orang pelayan Istana Pulau Es, yaitu tiga orang pelayan pria dan dua orang pelayan wanita. Mereka telah tewas semua dengan tubuh penuh luka berat.
Suma Hui mengeluarkan seruan tertahan melihat ini dan iapun cepat lari masuk ke dalam, diikuti oleh dua orang adiknya dan Cin Liong. Akhirnya mereka tiba di ruangan di mana peti jenazah nenek Lulu berada dan mereka berhenti, sejenak tertegun melihat kakek Suma Han masih duduk bersila di dekat peti, akan tetapi di sebelahnya nampak rebah terlentang tubuh nenek Nirahai yang sudah tidak bernyawa lagi. Keadaan dalam ruangan itu begitu sunyi, kakek yang duduk bersila itu seperti arca, tidak ada yang bergerak, tidak ada yang bersuara. Satu-satunya yang bergerak hanyalah asap dupa yang mengepul lurus ke atas karena tidak terganggu semilirnya angin.
“Nenek Nirahai....!”
Tiba-tiba Suma Hui menjerit dan dara ini lari menghampiri, lalu berlutut dan menubruk, memeluki jenazah nenek itu sambil menangis. Melihat encinya menangis sesenggukan seperti itu, Ciang Bun juga tidak dapat menahan tangisnya. Hanya Ceng Liong yang tidak menangis, melainkan berlutut di dekat jenazah nenek itu dan memandang dengan matanya yang lebar. Kalau dia berduka, maka kedukaan itu hanya nampak pada kedua alisnya yang berkerut dan kalau dia merasa marah, kemarahan itu hanya nampak pada kedua tangannya yang dikepal keras.
Cin Liong hanya menundukkan mukanya, diam-diam diapun merasa terharu dan menyesal mengapa keluarga Pulau Es yang demikian terkenal sebagai keluarga para pendekar sakti, kini mengalami musibah yang demikian hebat sehingga kedua orang nenek itu, isteri dari Pendekar Super Sakti, tewas susul-menyusul dalam waktu sehari semalam, terbunuh oleh serbuan musuh yang amat banyak dan kuat.
Suma Hui agaknya teringat akan sesuatu dan dengan tangis masih menyesak di dada, ia mengangkat muka memandang kepada kakek yang masih duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya itu.
“Kong-kong....! Kenapa kong-kong membiarkan semua ini terjadi? Kenapa kong-kong membiarkan orang-orang jahat membunuh nenek Lulu dan nenek Nirahai? Di mana kesaktian kong-kong? Kenapa kong-kong tidak menghadapi musuh, menghajar mereka dan mencegah mereka membunuh kedua orang nenekku? Di mana kegagahan kong-kong....?”
Cin Liong terkejut sekali melihat betapa gadis itu dalam kedukaan dan kemarahannya berani mencela dan menegur kakek yang sakti itu, akan tetapi dia melihat kakek itu diam saja, bergerakpun tidak dan dia dapat mengerti betapa hebat kedukaan melanda hati kakek itu yang sekaligus kematian kedua orang isterinya yang terkasih. Ciang Bun merangkul encinya dan membujuknya agar tidak marah-marah seperti itu.
“Enci.... jangan menambah kedukaan kong-kong dengan kata-katamu seperti itu....” keluhnya.
Suma Ceng Liong memandang kepada Suma Hui dan tiba-tiba anak ini berkata,
“Enci Hui, ucapan apa itu? Kong-kong tentu mengerti segala yang telah terjadi dan untuk semua itu dia tentu telah mempunyai alasan sendiri. Betapa lancangnya enci berani mencela dan menegur kong-kong!”
Suma Hui mengepal tinju dan kini menoleh dan memandang kepada Cin Liong.
“Kita semua telah menjadi pengecut! Yah, karena perbuatanmulah, Cin Liong, maka aku menjadi pengecut! Kita melarikan diri, bersembunyi dan membiarkan nenek Nirahai dikeroyok dan dibunuh musuh. Aih.... sungguh malu sekali, aku telah menjadi pengecut gara-gara engkau!” Dan ditudingkan telunjuknya ke arah muka Cin Liong.
“Enci....!” Ciang Bun menegur.
“Apa yang telah terjadi....? Ah.... engkau .... engkau telah menotokku dengan curang!”
Suma Hui teringat akan perbuatan Cin Liong tadi dan kemarahannya membuat ia meloncat ke depan. Cin Liong bangkit berdiri, akan tetapi sebelum dia sempat menerangkan, dara itu telah menggerakkan kedua tangan menampar mukanya dengan cepat.
“Plak! Plak! Plak! Plak!”
Empat kali kedua pipi Cin Liong menerima tamparan, membuat kulit pipinya menjadi merah. Dia sengaja tidak mau menangkis atau mengelak, maklum betapa marahnya dara itu dan bahwa dara itu telah salah kira.
“Enci, jangan....!” Ciang Bun memegang lengan kanan encinya.
“Enci Hui, jangan pukul dia!” Ceng Liong juga meloncat dan memegang tangan kiri dara itu.
“Biar! Lepaskan aku! Biar kuhajar manusia ini! Keponakan macam apa dia ini, berani menipuku dan menotokku....!”
“Sabarlah, enci, sabarlah. Semua ini adalah atas perintah nenek Nirahai,” kata Ciang Bun.
“Dia hanya mentaati pesan nenek Nirahai dan dia tidak bermaksud buruk terhadap engkau dan kita semua, enci Hui!” Ceng Liong juga membujuk dara yang masih marah itu.
Kedua tangan Suma Hui dikepal, matanya seperti berapi memandang wajah Cin Liong dan andaikata ia tidak dipegangi, tentu ia sudah menyerang kalang-kabut. Cin Liong hanya menundukkan mukanya dan mengusap kedua pipinya yang menjadi merah agak biru karena ketika ditampar tadi sama sekali tidak mengerahkan tenaga untuk melawan. Dan tamparan tangan seorang dara seperti Suma Hui amatlah hebatnya! Masih untung pendekar ini bahwa Suma Hui tidak menampar untuk menyerang, melainkan hanya sebagai peluapan amarahnya saja. Kalau dara itu tadi menampar dengan pengerahan tenaga sin-kang, tentu bisa retak-retak tulang rahangnya! Dan betapapun marahnya, melihat orang yang sama sekali tidak mengelak maupun menangkis tamparannya, tidak mungkin cucu dari Pendekar Super Sakti mau mempergunakan sin-kang.
Mendengar bujukan kedua orang adiknya dan melihat betapa kedua pipi pemuda itu matang biru dan pemuda itu hanya menundukkan muka dan mengusap kedua pipinya, kemarahan Suma Hui agak mereda. Ia menarik napas panjang beberapa kali untuk menelan kemarahannya dan akhirnya mukanya kehilangan sinar merah kemarahannya, pandang matanya tidak ganas seperti tadi dan melihat keadaan enci mereka, Ceng Liong dan Ciang Bun menjadi lega lalu melepaskan lengan gadis itu.
“Baiklah....” akhirnya Suma Hui berkata, “aku menerima kenyataan bahwa semua ini adalah atas perintah nenek Nirahai.... tetapi apa sebabnya? Bukankah Pulau Es diserbu musuh? Mengapa kita harus melarikan diri?”
Pertanyaan itu ditujukan kepada Cin Liong dan sepasang mata itu menatap wajah pendekar yang kedua pipinya merah kebiruan itu.
“Karena itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kalian bertiga,” jawab Cin Liong. “Sebelum terjadi penyerbuan, nenek buyut Nirahai telah minta aku berjanji untuk melaksanakan perintahnya itu, yaitu kalau keadaan sudah gawat aku harus membawa kalian ke sini untuk bersembunyi, kalau perlu dengan kekerasan seperti yang terpaksa kulakukan tadi. Harap maafkan kelancanganku, siauw-i (bibi kecil).”
“Tapi.... bagaimana dengan nenek Nirahai? Dan kakek? Kita disuruh bersembunyi, lalu bagaimana dengan mereka....? Mari kita keluar untuk membantu mereka!”
“Tapi, bibi....” Cin Liong hendak mencegah.
Memang sudah ada satu hari lebih mereka berada di situ semenjak mereka masuk sampai dara itu siuman, akan tetapi dia belum mengetahui bagaimana keadaan di luar sehingga berbahayalah kalau tiga orang muda itu keluar. Bagaimana kalau musuh masih berkeliaran di luar? Bukankah tiga orang muda ini akan terancam keselamatan mereka dan akan sia-sialah usahanya memenuhi perintah nenek Nirahai untuk menyingkirkan mereka dari bahaya?
Suma Hui menyambar sepasang pedangnya yang tadi dibawa pula masuk ke tempat persembunyian rahasia itu oleh Cin Liong. Nampak sinar berkelebat ketika ia menggerakkan sepasang pedang itu melintang di depan dadanya dan pandang matanya penuh tantangan terhadap Cin Liong.
“Engkau hendak melarangku? Hemm, boleh, ingin kulihat siapa yang akan berani mencegah aku keluar!”
Sejenak kedua orang ini berdiri saling pandang seperti dua ekor ayam hendak berkelahi, akan tetapi Cin Liong lalu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang.
“Baiklah, mari kita keluar dan kalau perlu aku akan mempertanggung-jawabkan janjiku kepada nenek buyut Nirahai.”
Cin Liong tahu bahwa dara di depannya ini memiliki kekerasan hati yang tak mungkin dilawannya, karena kalau dia menggunakan kekerasan, tentu dara itu akan melawan dan membencinya. Dan dia merasa ngeri kalau harus menghadapi kebencian dara ini.
“Tapi, nenek Nirahai akan marah kepadamu!” Suma Ciang Bun mencela. “Dan janji seorang gagah tidak boleh dilanggar, apalagi janji terhadap nenek Nirahai!”
“Enci Hui, kalau engkau memaksa Cin Liong, berarti engkaulah yang memaksanya melanggar janji dan engkau pula yang membantah terhadap perintah nenek Nirahai!”
Suma Ceng Liong juga mencela.Cin Liong kini melihat keraguan membayang pada wajah dara itu, keraguan yang bercampur dengan kekhawatiran. Dia merasa kasihan sekali, dapat memaklumi betapa duka dan khawatir adanya perasaan dara itu. Dia sendiripun tadinya kurang setuju terhadap niat nenek itu yang memaksanya untuk pergi meninggalkan nenek itu sendirian saja menghadapi banyak lawan tangguh sedangkan dia harus pergi menyelamatkan tiga orang muda itu.
Kalau dia terpaksa menerima perintah itu adalah karena diapun dapat melihat bahwa memang keselamatan tiga orang muda itu amat terancam dan perlu diselamatkan, dan dia sudah berjanji, maka bagaimanapun juga harus dipenuhinya. Akan tetapi sekarang, melihat kedukaan dan kekhawatiran yang membayang di wajah gadis itu, dia sendiri merasa menyesal mengapa dia telah mentaati perintah nenek Nirahai.
“Biarlah, kalau nenek buyut Nirahai marah, biarlah aku yang akan bertanggung jawab. Mari kita keluar dan melihat keadaan di sana,” kata Cin Liong dan tiga orang muda yang memang ingin sekali melihat bagaimana keadaan dengan nenek dan kakek mereka, tidak membantah lagi karena pemuda yang menjadi keponakan mereka itu yang akan bertanggung jawab.
Dengan hati-hati dan berindap-indap, Cin Liong dan tiga orang muda itu keluar dari pintu rahasia dan sebelum mereka berloncatan keluar, lebih dahulu mereka memperhatikan keadaan dengan pendengaran mereka. Akan tetapi keadaan di luar amat hening. Tidak terdengar suara sedikitpun, juga tidak nampak sesuatu, tidak nampak seorangpun. Begitu sunyi keadaannya, sunyi menegangkan hati dan dapat menimbulkan dugaan-dugaan yang mengerikan.
Apalagi setelah mereka berada di luar. Sungguh jauh sekali daripada yang mereka kira semula. Tidak nampak bayangan seorangpun musuh, juga tidak nampak mayat-mayat mereka, padahal mereka berempat itu maklum betapa banyaknya pihak musuh yang roboh dan tewas.
“Mari kita cari di dalam!”
Suma Hui berkata dan suaranya agak gemetar, tanda bahwa dia merasa gelisah sekali. Setelah kini berada di luar, ialah yang menjadi pemimpin.
Bagaimanapun juga, Cin Liong hanyalah seorang tamu dan seorang keponakan. Mereka lalu berjalan cepat, bahkan berlari, memasuki Istana Pulau Es. Dan di ruangan depan, mereka sudah dikejutkan oleh kenyataan mengerikan, yaitu menggeletaknya lima orang pelayan Istana Pulau Es, yaitu tiga orang pelayan pria dan dua orang pelayan wanita. Mereka telah tewas semua dengan tubuh penuh luka berat.
Suma Hui mengeluarkan seruan tertahan melihat ini dan iapun cepat lari masuk ke dalam, diikuti oleh dua orang adiknya dan Cin Liong. Akhirnya mereka tiba di ruangan di mana peti jenazah nenek Lulu berada dan mereka berhenti, sejenak tertegun melihat kakek Suma Han masih duduk bersila di dekat peti, akan tetapi di sebelahnya nampak rebah terlentang tubuh nenek Nirahai yang sudah tidak bernyawa lagi. Keadaan dalam ruangan itu begitu sunyi, kakek yang duduk bersila itu seperti arca, tidak ada yang bergerak, tidak ada yang bersuara. Satu-satunya yang bergerak hanyalah asap dupa yang mengepul lurus ke atas karena tidak terganggu semilirnya angin.
“Nenek Nirahai....!”
Tiba-tiba Suma Hui menjerit dan dara ini lari menghampiri, lalu berlutut dan menubruk, memeluki jenazah nenek itu sambil menangis. Melihat encinya menangis sesenggukan seperti itu, Ciang Bun juga tidak dapat menahan tangisnya. Hanya Ceng Liong yang tidak menangis, melainkan berlutut di dekat jenazah nenek itu dan memandang dengan matanya yang lebar. Kalau dia berduka, maka kedukaan itu hanya nampak pada kedua alisnya yang berkerut dan kalau dia merasa marah, kemarahan itu hanya nampak pada kedua tangannya yang dikepal keras.
Cin Liong hanya menundukkan mukanya, diam-diam diapun merasa terharu dan menyesal mengapa keluarga Pulau Es yang demikian terkenal sebagai keluarga para pendekar sakti, kini mengalami musibah yang demikian hebat sehingga kedua orang nenek itu, isteri dari Pendekar Super Sakti, tewas susul-menyusul dalam waktu sehari semalam, terbunuh oleh serbuan musuh yang amat banyak dan kuat.
Suma Hui agaknya teringat akan sesuatu dan dengan tangis masih menyesak di dada, ia mengangkat muka memandang kepada kakek yang masih duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya itu.
“Kong-kong....! Kenapa kong-kong membiarkan semua ini terjadi? Kenapa kong-kong membiarkan orang-orang jahat membunuh nenek Lulu dan nenek Nirahai? Di mana kesaktian kong-kong? Kenapa kong-kong tidak menghadapi musuh, menghajar mereka dan mencegah mereka membunuh kedua orang nenekku? Di mana kegagahan kong-kong....?”
Cin Liong terkejut sekali melihat betapa gadis itu dalam kedukaan dan kemarahannya berani mencela dan menegur kakek yang sakti itu, akan tetapi dia melihat kakek itu diam saja, bergerakpun tidak dan dia dapat mengerti betapa hebat kedukaan melanda hati kakek itu yang sekaligus kematian kedua orang isterinya yang terkasih. Ciang Bun merangkul encinya dan membujuknya agar tidak marah-marah seperti itu.
“Enci.... jangan menambah kedukaan kong-kong dengan kata-katamu seperti itu....” keluhnya.
Suma Ceng Liong memandang kepada Suma Hui dan tiba-tiba anak ini berkata,
“Enci Hui, ucapan apa itu? Kong-kong tentu mengerti segala yang telah terjadi dan untuk semua itu dia tentu telah mempunyai alasan sendiri. Betapa lancangnya enci berani mencela dan menegur kong-kong!”
Suma Hui mengepal tinju dan kini menoleh dan memandang kepada Cin Liong.
“Kita semua telah menjadi pengecut! Yah, karena perbuatanmulah, Cin Liong, maka aku menjadi pengecut! Kita melarikan diri, bersembunyi dan membiarkan nenek Nirahai dikeroyok dan dibunuh musuh. Aih.... sungguh malu sekali, aku telah menjadi pengecut gara-gara engkau!” Dan ditudingkan telunjuknya ke arah muka Cin Liong.
“Enci....!” Ciang Bun menegur.
**** 019 ****
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 019"
Posting Komentar