Toa-ok disambut oleh Cu Kang Bu, sehingga Yu Hwi terpaksa melawan Ji-ok dan Sam-ok dilawan oleh Pek In. Tentu saja Hong Bu dan Kang Bu merasa khawatir sekali, karena mereka tahu bahwa kepandaian kedua orang wanita itu masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan lawan mereka yang merupakan datuk-datuk yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
Akan tetapi, mereka tidak berdaya untuk melindungi Yu Hwi dan Pek In. Sim Hong Bu yang ingin melindungi Pek In, tidak mungkin dapat keluar dari kurungan sinar senjata lawannya yang amat hebat itu, dan tanpa melindungi gadis itu pun dia harus mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengimbangi Hek-i Mo-ong. Diputarnya pedangnya sehingga nampak gulungan sinar biru yang bukan hanya melindungi tubuhnya melainkan juga membalas serangan lawan dengan dahsyat.
Hek-i Mo-ong mengenal kelihaian pemuda ini, maka dia pun tidak berani memandang ringan dan sudah menggerakkan senjata tombak Long-ge-pang itu dengan gerakan aneh, cepat dan kuat sekali, dibantu oleh gerakan kipas merahnya yang menotok jalan darah lawan bagaikan patuk burung garuda.
Ban-kin-sian Cu Kang Bu merupakan lawan yang setanding dari Toa-ok Su Lo Ti. Pendekar tinggi besar yang gagah perkasa ini telah mencabut senjata cambuknya, sehelai cambuk baja yang tadinya menjadi ikat pinggangnya., Biarpun Toa-ok merupakan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok dan merupakan datuk yang amat lihai, namun menghadapi Cu Kang Bu dia tidak dapat main-main dan terpaksa harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya kalau dia tidak ingin menjadi korban sambaran cambuk baja yang berkelebatan membentuk sinar bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk itu.
Julukan Cu Kang Bu adalah Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati) maka tentu saja tenaganya hebat luar biasa sehingga sabuk yang diputarnya itu lenyap bentuknya dan menimbulkan angin yang dahsyat sekali. Namun lawannya adalah Toa-ok, Si Jahat Nomor Satu yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga mempunyai pengalaman yang amat luas. Kedua lengannya yang tidak bersenjata itu penuh dengan tenaga sinkang sehingga menjadi kebal, namun dia cukup cerdik untuk tidak mengadu lengannya secara langsung dengan cambuk baja yang digerakkan amat kuatnya. Dia lebih banyak mengelak dan kalau menangkis, selalu menangkis dari arah samping, juga membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya yang mendatangkan hawa pukulan kuat sekali. Seperti pertandingan antara Hong Bu dan Hek-i Mo-ong, maka perkelahian antara Cu Kang Bu melawan Toa-ok ini pun berjalan dengan seru sekali.
Akan tetapi tidak demikianlah pertempuran, antara kedua orang wanita itu melawan Ji-ok dan Sam-ok. Sejak dari permulaan Yu Hwi sudah terdesak hebat oleh Ji-ok, juga terutama sekali Cu Pek In terdesak hebat oleh Sam-ok. Tingkat kepandaian mereka kalah jauh dibandingkan dengan Jahat Nomor Dua dan Jahat Nomor Tiga itu. Cu Kang Bu dan Sim Hong Bu yang melihat ini merasa gelisah sekali namun mereka berdua tidak berdaya membantu kedua orang wanita itu.
Betapapun juga, dua orang wanita itu dengan semangat bernyala-nyala terus melakukan perlawanan dengan gigih. Namun, belum lewat lima puluh jurus, suling di tangan Pek In telah dirampas oleh Sam-ok dan sebelum dara itu dapat menghindarkan diri, ia sudah roboh tertotok oleh Sam-ok.
“Sumoi....!”
Hong Bu berseru dan hendak menolongnya, akan tetapi tombak Long-ge-pang di tangan Hek-i Mo-ong berkelebat. Hong Bu terkejut bukan main. Gerakannya untuk menolong Pek In tadi membuatnya lengah dan posisinya lemah, maka biarpun dia sudah menangkis dengan pedang Koai-liong-kiam, tetap saja ujung tombak Gigi Srigala itu menyerempet pundaknya, merobek pundak sehingga darah mengucur membasahi bajunya yang robek. Terpaksa Hong Bu membalas dengan serangan-serangan dahsyat dan dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk memperhatikan Pek In karena lawannya benar-benar amat lihai sekali.
Sementara itu, Ji-ok juga sudah mendesak Yu Hwi. Biarpun Yu Hwi telah memutar pedangnya dan mempergunakan Ilmu Kiam-to Sin-ciang yang membuat tangan kirinya dapat memukul seperti tajamnya pedang dan golok, namun karena tingkatnya kalah jauh oleh Ji-ok, nenek yang bertopeng tengkorak itu, maka ia pun didesak terus. Apalagi Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) nenek itu mirip dengan ilmu yang pernah dipelajarinya dari gurunya yang pertama, yaitu Hek-sin Touw-ong Si Raja Maling.
Akan tetapi, ilmu dari gurunya itu, ialah Kiamto Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok), tidaklah seganas dan sedahsyat Kiam-ci (Jari Pedang) dari Jahat Nomor Dua ini. Jari tangan nenek itu menyambar dan seolah-olah mengeluarkan sinar maut yang amat hebat.
Dan setelah Pek In itu roboh tertotok, hati Yu Hwi menjadi gentar dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ji-ok untuk menendang lututnya, Yu Hwi terpelanting roboh dan Ji-ok mengeluarkan suara ketawa terkekeh, lalu menubruk maju. Sam-ok mengenal temannya ini. Kalau Ji-ok sudah mengeluarkan suara ketawa terkekeh lalu menubruk, berarti nenek itu hendak menurunkan tangan maut membunuh orang. Maka dia pun cepat menubruk dan menangkis tangan Ji-ok yang sudah menyerang ke arah Yu Hwi yang masih rebah miring itu.
“Dukkk....!” Keduanya terpental ke belakang.
“Ji-ci, jangan bunuh, kita tawan saja!”
Akan tetapi, Ji-ok sudah menjadi marah bukan main. Baginya, menghalangi kehendaknya berarti memusuhinya. Apalagi yang menghalanginya itu adalah Sam-ok yang terhitung “adik” dalam urutan tingkat mereka, maka kemarahannya meluap.
“Sam-te, berani engkau menghalangiku?”
Dan nenek itu pun cepat menerjang dan menyerang Sam-ok dengan tusukan-tusukan jari mautnya!
“Eh, apakah engkau sudah gila?”
Sam-ok membentak dan mengelak sambil membalas. Keduanya sudah berkelahi dengan hebatnya!
Melihat ini, Toa-ok dan Hek-i Mo-ong menjadi marah.
“Sam-te, jangan berkelahi dengan teman sendiri!” kata Toa-ok.
“Ji-ok, tidak boleh membunuh lawan!”
Hek-i Mo-ong juga membentak Ji-ok. Mendengar bentakan mereka itu, Ji-ok dan Sam-ok masing-masing meloncat ke belakang. Kemudian Sam-ok melihat betapa Yu Hwi telah meloncar bangun dan biarpun terpincang-pincang, nyonya ini sudah siap lagi dengan pedang di tangan. Dia menubruk ke depan, ketika Yu Hwi menggerakkan pedang menusuk, Sam-ok memukulnya dari samping.
“Plakk!”
Pedang terpental dan terlepas dari tangan Yu Hwi dan di lain saat, Sam-ok juga sudah berhasil merobohkan Yu Hwi.
“Ji-ci, kau tawan dan jaga yang ini, aku yang itu!” kata Sam-ok.
Sementara itu, Cu Kang Bu dan Sim Hong Bu tentu saja sudah melihat betapa Yu Hwi dan Pek In telah ditawan musuh, maka mereka berdua mengamuk dan memutar senjata dengan sekuat tenaga.
Tiba-tiba kedua pendekar itu mendengar suara Sam-ok yang nyaring,
“Ban-kin-sian dan pemuda yang memegang Koai-liong-kiam! Tahan senjata dan menyerahlah, kalau tidak, aku akan membunuh lebih dulu dua orang wanita ini!”
Sim Hong Bu dan Cu Kang Bu meloncat ke belakang dan menoleh. Mereka melihat betapa Yu Hwi dan Pek In telah dibelenggu oleh anak buah Koa-kauwsu, dan kini Sam-ok dan Ji-ok mengancam kedua orang wanita itu dengan tangan di atas kepala. Mereka berdua maklum bahwa sekali saja menggerakkan tangan, maka nyawa dua orang wanita itu takkan dapat tertolong lagi. Melihat isterinya dan keponakannya diancam, lemaslah rasa tubuh Cu Kang Bu dan dia pun melepaskan senjata sabuk baja.
“Aku menyerah....” katanya dengan suara lemah.
“Susiok, jangan menyerah!” kata Sim Hong Bu, akan tetapi Kang Bu hanya menggeleng kepala dan mudah saja ketika dia didekati oleh Sam-ok yang kemudian menotoknya dan pendekar ini pun dibelenggu seperti Yu Hwi dan Pek In.
“Keparat engkau Hek-i Mo-ong dan iblis-iblis Im-kan Ngo-ok! Sampai mati aku tidak akan menyerah!” kata Hong Bu dan dia pun sudah menubruk maju dan menyerang Sam-ok yang menotok roboh Kang Bu tadi.
“Orang muda! Kalau engkau tidak menyerah, mereka bertiga ini akan kami bunuh!” teriak Sam-ok sambil meloncat mundur.
“Bunuhlah! Akan tetapi kalian pun akan mampus semua di tanganku!” bentak Sim Hong Bu.
Pemuda ini mengerti bahwa terhadap orang-orang macam mereka itu, tak mungkin mengharapkan pengampunan. Kalau dia dan Kang Bu menyerah, akhirnya toh mereka itu, juga dia, akan dibunuh. Maka, daripada mati dalam keadaan tidak berdaya, mati konyol, lebih baik mati dalam perlawanan!
Melihat betapa Sim Hong Bu nekad melakukan perlawanan, Cu Pek In dan Yu Hwi memandang dengan alis berkerut. Mereka merasa penasaran mengapa pemuda itu nekad melawan. Terutama sekali Pek In memandang dengan mata basah air mata. Salahkah dugaannya selama ini bahwa Hong Bu juga mencintanya? Setelah kini ia terancam maut, mengapa pemuda itu tidak mempedulikan ancaman musuh yang hendak membunuhnya dan nekad melawan? Hanya Cu Kang Bu yang memandang dengan sikap tenang. Dia sendiri menyerah karena dia tahu bahwa kalau dia dan Hong Bu tetap melawan, bukan ancaman kosong belaka kalau pihak musuh hendak membunuh dua orang wanita itu.
Akan tetapi setelah dia sendiri menyerah, dia dapat mengerti mengapa Hong Bu tetap melawan dan dia pun dapat membenarkan tindakan pemuda itu. Memang, kalau Hong Bu juga menyerah, apakah dapat dijamin bahwa orang-orang jahat ini mau membebaskan mereka berempat? Setidaknya, setelah dia sendiri menyerah, tentu isterinya dan keponakannya takkan diganggu, dan Hong Bu masih dapat berdaya melawan musuh kalau tidak ikut menyerah. Jadi, masih ada harapan. Maka dia pun hanya mengikuti jalannya pertandingan itu dengan hati tegang walaupun dia nampak tenang saja.
Hong Bu memang nekad. Dia akan melawan sampai mati. Kini, tiga orang Im-kan Ngo-ok sudah mengepungnya. Toa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok mengeroyoknya dari tiga penjuru.
Akan tetapi Hong Bu sekali ini benar-benar memperlihatkan kemampuannya. Tubuhnya lenyap diselimuti sinar biru yang bergulung-gulung dan dari gulungan sinar ini kadang-kadang nampak kilatan biru menyambar ke arah musuh-musuhnya. Biarpun dikeroyok oleh tiga orang datuk yang sakti itu, Hong Bu tidak menjadi gentar dan permainan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang dimainkan dengan pengerahan seluruh tenaga itu memang dahsyat luar biasa, mengeluarkan suara mengaum-aum seperti seekor naga mengamuk dan juga membawa angin berpusing yang amat kuatnya. Betapapun lihainya tiga orang dari Im-kan Ngo-ok itu, menghadapi ilmu pedang yang demikian hebatnya, mereka tidak dapat mendekati pemuda itu.
Melihat ini, Hek-i Mo-ong merasa penasaran sekali. Dia sendiri pernah dikalahkan oleh pemuda ini yang bekerja sama dengan seorang gadis bersenjata suling. Kini, melihat betapa tiga orang murid keponakannya yang telah memiliki tingkat ilmu yang tidak begitu jauh selisihnya dengan ilmunya sendiri tidak dapat mengalahkan pemuda itu, dia pun lalu mengeluarkan suara menggereng keras dan tombak Long-ge-pang di tangannya sudah digerakkan dan kakek ini pun menerjang maju ikut mengeroyok Hong Bu!
Sungguh merupakan kejadian yang luar biasa sekali kalau sampai tiga orang pertama dari Im-kan Ngo-ok mengeroyok seorang pemuda, dan lebih lagi tidak mungkin dapat dipercaya orang kang-ouw kalau mendengar bahwa mereka itu bahkan dibantu pula oleh Hek-i Mo-ong mengeroyok seorang pemuda. Akan tetapi kenyataannya demikian dan mereka pun agaknya sudah tidak lagi mempedulikan rasa malu dan harga diri. Mereka hanya ingin menundukkan pemuda yang amat lihai ini.
Cu Kang Bu menonton dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri, penuh dengan kebanggaan akan tetapi juga kekhawatiran. Dia melihat kehebatan Koai-liong Kiam-sut dan merasa bangga bahwa ilmu itu adalah ilmu keturunan nenek moyangnya, dan bahwa pemuda itu adalah murid keponakannya, pewaris dari pusaka neneknya. Dia kagum bukan main, akan tetapi juga khawatir karena maklum betapa lihainya empat orang yang mengeroyok Hong Bu itu. Kekhawatirannya terbukti ketika dia melihat ujung tombak Long-ge-pang di tangan Hek-i Mo-ong menyambar dan menyerempet bahu kiri Hong Bu sehingga bahu itu berdarah dan terluka. Namun Hong Bu masih mengamuk seperti seekor naga.
“Hong Bu larilah engkau!” teriaknya kepada murid keponakan itu.
Hong Bu memang sudah mengerti bahwa kalau dilanjutkan, betapapun juga dia tidak mungkin dapat menandingi pengeroyokan empat orang itu. Kalau dia melawan terus, dia akan roboh mati dan kematiannya tidak akan ada gunanya bagi tiga orang yang tertawan itu. Kalau dia meloloskan diri dan masih hidup, setidaknya dia masih dapat berdaya-upaya untuk menolong tiga orang itu. Maka, dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan pedangnya bergerak dengan amat hebatnya, mengeluarkan jurus Naga Siluman Menyemburkan Api, pedangnya menimbulkan sinar berkeredepan ke arah empat orang lawannya sehingga mereka itu terkejut dan meloncat ke belakang.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Hong Bu untuk meloncat jauh sekali dari tempat itu.
Empat orang itu berloncatan mengejar, akan tetapi Hong Bu telah berlari cepat sekali dan mereka tidak berani untuk mengejar satu-satu, kalau tidak berbarengan karena pemuda itu memang berbahaya sekali. Melihat kekasihnya lari meninggalkan ia dalam tangan musuh, Pek In merasa sedemikian kecewa dan menyesalnya sehingga gadis ini roboh pingsan!
Akan tetapi, mereka tidak berdaya untuk melindungi Yu Hwi dan Pek In. Sim Hong Bu yang ingin melindungi Pek In, tidak mungkin dapat keluar dari kurungan sinar senjata lawannya yang amat hebat itu, dan tanpa melindungi gadis itu pun dia harus mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengimbangi Hek-i Mo-ong. Diputarnya pedangnya sehingga nampak gulungan sinar biru yang bukan hanya melindungi tubuhnya melainkan juga membalas serangan lawan dengan dahsyat.
Hek-i Mo-ong mengenal kelihaian pemuda ini, maka dia pun tidak berani memandang ringan dan sudah menggerakkan senjata tombak Long-ge-pang itu dengan gerakan aneh, cepat dan kuat sekali, dibantu oleh gerakan kipas merahnya yang menotok jalan darah lawan bagaikan patuk burung garuda.
Ban-kin-sian Cu Kang Bu merupakan lawan yang setanding dari Toa-ok Su Lo Ti. Pendekar tinggi besar yang gagah perkasa ini telah mencabut senjata cambuknya, sehelai cambuk baja yang tadinya menjadi ikat pinggangnya., Biarpun Toa-ok merupakan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok dan merupakan datuk yang amat lihai, namun menghadapi Cu Kang Bu dia tidak dapat main-main dan terpaksa harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya kalau dia tidak ingin menjadi korban sambaran cambuk baja yang berkelebatan membentuk sinar bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk itu.
Julukan Cu Kang Bu adalah Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati) maka tentu saja tenaganya hebat luar biasa sehingga sabuk yang diputarnya itu lenyap bentuknya dan menimbulkan angin yang dahsyat sekali. Namun lawannya adalah Toa-ok, Si Jahat Nomor Satu yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga mempunyai pengalaman yang amat luas. Kedua lengannya yang tidak bersenjata itu penuh dengan tenaga sinkang sehingga menjadi kebal, namun dia cukup cerdik untuk tidak mengadu lengannya secara langsung dengan cambuk baja yang digerakkan amat kuatnya. Dia lebih banyak mengelak dan kalau menangkis, selalu menangkis dari arah samping, juga membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya yang mendatangkan hawa pukulan kuat sekali. Seperti pertandingan antara Hong Bu dan Hek-i Mo-ong, maka perkelahian antara Cu Kang Bu melawan Toa-ok ini pun berjalan dengan seru sekali.
Akan tetapi tidak demikianlah pertempuran, antara kedua orang wanita itu melawan Ji-ok dan Sam-ok. Sejak dari permulaan Yu Hwi sudah terdesak hebat oleh Ji-ok, juga terutama sekali Cu Pek In terdesak hebat oleh Sam-ok. Tingkat kepandaian mereka kalah jauh dibandingkan dengan Jahat Nomor Dua dan Jahat Nomor Tiga itu. Cu Kang Bu dan Sim Hong Bu yang melihat ini merasa gelisah sekali namun mereka berdua tidak berdaya membantu kedua orang wanita itu.
Betapapun juga, dua orang wanita itu dengan semangat bernyala-nyala terus melakukan perlawanan dengan gigih. Namun, belum lewat lima puluh jurus, suling di tangan Pek In telah dirampas oleh Sam-ok dan sebelum dara itu dapat menghindarkan diri, ia sudah roboh tertotok oleh Sam-ok.
“Sumoi....!”
Hong Bu berseru dan hendak menolongnya, akan tetapi tombak Long-ge-pang di tangan Hek-i Mo-ong berkelebat. Hong Bu terkejut bukan main. Gerakannya untuk menolong Pek In tadi membuatnya lengah dan posisinya lemah, maka biarpun dia sudah menangkis dengan pedang Koai-liong-kiam, tetap saja ujung tombak Gigi Srigala itu menyerempet pundaknya, merobek pundak sehingga darah mengucur membasahi bajunya yang robek. Terpaksa Hong Bu membalas dengan serangan-serangan dahsyat dan dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk memperhatikan Pek In karena lawannya benar-benar amat lihai sekali.
Sementara itu, Ji-ok juga sudah mendesak Yu Hwi. Biarpun Yu Hwi telah memutar pedangnya dan mempergunakan Ilmu Kiam-to Sin-ciang yang membuat tangan kirinya dapat memukul seperti tajamnya pedang dan golok, namun karena tingkatnya kalah jauh oleh Ji-ok, nenek yang bertopeng tengkorak itu, maka ia pun didesak terus. Apalagi Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) nenek itu mirip dengan ilmu yang pernah dipelajarinya dari gurunya yang pertama, yaitu Hek-sin Touw-ong Si Raja Maling.
Akan tetapi, ilmu dari gurunya itu, ialah Kiamto Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok), tidaklah seganas dan sedahsyat Kiam-ci (Jari Pedang) dari Jahat Nomor Dua ini. Jari tangan nenek itu menyambar dan seolah-olah mengeluarkan sinar maut yang amat hebat.
Dan setelah Pek In itu roboh tertotok, hati Yu Hwi menjadi gentar dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ji-ok untuk menendang lututnya, Yu Hwi terpelanting roboh dan Ji-ok mengeluarkan suara ketawa terkekeh, lalu menubruk maju. Sam-ok mengenal temannya ini. Kalau Ji-ok sudah mengeluarkan suara ketawa terkekeh lalu menubruk, berarti nenek itu hendak menurunkan tangan maut membunuh orang. Maka dia pun cepat menubruk dan menangkis tangan Ji-ok yang sudah menyerang ke arah Yu Hwi yang masih rebah miring itu.
“Dukkk....!” Keduanya terpental ke belakang.
“Ji-ci, jangan bunuh, kita tawan saja!”
Akan tetapi, Ji-ok sudah menjadi marah bukan main. Baginya, menghalangi kehendaknya berarti memusuhinya. Apalagi yang menghalanginya itu adalah Sam-ok yang terhitung “adik” dalam urutan tingkat mereka, maka kemarahannya meluap.
“Sam-te, berani engkau menghalangiku?”
Dan nenek itu pun cepat menerjang dan menyerang Sam-ok dengan tusukan-tusukan jari mautnya!
“Eh, apakah engkau sudah gila?”
Sam-ok membentak dan mengelak sambil membalas. Keduanya sudah berkelahi dengan hebatnya!
Melihat ini, Toa-ok dan Hek-i Mo-ong menjadi marah.
“Sam-te, jangan berkelahi dengan teman sendiri!” kata Toa-ok.
“Ji-ok, tidak boleh membunuh lawan!”
Hek-i Mo-ong juga membentak Ji-ok. Mendengar bentakan mereka itu, Ji-ok dan Sam-ok masing-masing meloncat ke belakang. Kemudian Sam-ok melihat betapa Yu Hwi telah meloncar bangun dan biarpun terpincang-pincang, nyonya ini sudah siap lagi dengan pedang di tangan. Dia menubruk ke depan, ketika Yu Hwi menggerakkan pedang menusuk, Sam-ok memukulnya dari samping.
“Plakk!”
Pedang terpental dan terlepas dari tangan Yu Hwi dan di lain saat, Sam-ok juga sudah berhasil merobohkan Yu Hwi.
“Ji-ci, kau tawan dan jaga yang ini, aku yang itu!” kata Sam-ok.
Sementara itu, Cu Kang Bu dan Sim Hong Bu tentu saja sudah melihat betapa Yu Hwi dan Pek In telah ditawan musuh, maka mereka berdua mengamuk dan memutar senjata dengan sekuat tenaga.
Tiba-tiba kedua pendekar itu mendengar suara Sam-ok yang nyaring,
“Ban-kin-sian dan pemuda yang memegang Koai-liong-kiam! Tahan senjata dan menyerahlah, kalau tidak, aku akan membunuh lebih dulu dua orang wanita ini!”
Sim Hong Bu dan Cu Kang Bu meloncat ke belakang dan menoleh. Mereka melihat betapa Yu Hwi dan Pek In telah dibelenggu oleh anak buah Koa-kauwsu, dan kini Sam-ok dan Ji-ok mengancam kedua orang wanita itu dengan tangan di atas kepala. Mereka berdua maklum bahwa sekali saja menggerakkan tangan, maka nyawa dua orang wanita itu takkan dapat tertolong lagi. Melihat isterinya dan keponakannya diancam, lemaslah rasa tubuh Cu Kang Bu dan dia pun melepaskan senjata sabuk baja.
“Aku menyerah....” katanya dengan suara lemah.
“Susiok, jangan menyerah!” kata Sim Hong Bu, akan tetapi Kang Bu hanya menggeleng kepala dan mudah saja ketika dia didekati oleh Sam-ok yang kemudian menotoknya dan pendekar ini pun dibelenggu seperti Yu Hwi dan Pek In.
“Keparat engkau Hek-i Mo-ong dan iblis-iblis Im-kan Ngo-ok! Sampai mati aku tidak akan menyerah!” kata Hong Bu dan dia pun sudah menubruk maju dan menyerang Sam-ok yang menotok roboh Kang Bu tadi.
“Orang muda! Kalau engkau tidak menyerah, mereka bertiga ini akan kami bunuh!” teriak Sam-ok sambil meloncat mundur.
“Bunuhlah! Akan tetapi kalian pun akan mampus semua di tanganku!” bentak Sim Hong Bu.
Pemuda ini mengerti bahwa terhadap orang-orang macam mereka itu, tak mungkin mengharapkan pengampunan. Kalau dia dan Kang Bu menyerah, akhirnya toh mereka itu, juga dia, akan dibunuh. Maka, daripada mati dalam keadaan tidak berdaya, mati konyol, lebih baik mati dalam perlawanan!
Melihat betapa Sim Hong Bu nekad melakukan perlawanan, Cu Pek In dan Yu Hwi memandang dengan alis berkerut. Mereka merasa penasaran mengapa pemuda itu nekad melawan. Terutama sekali Pek In memandang dengan mata basah air mata. Salahkah dugaannya selama ini bahwa Hong Bu juga mencintanya? Setelah kini ia terancam maut, mengapa pemuda itu tidak mempedulikan ancaman musuh yang hendak membunuhnya dan nekad melawan? Hanya Cu Kang Bu yang memandang dengan sikap tenang. Dia sendiri menyerah karena dia tahu bahwa kalau dia dan Hong Bu tetap melawan, bukan ancaman kosong belaka kalau pihak musuh hendak membunuh dua orang wanita itu.
Akan tetapi setelah dia sendiri menyerah, dia dapat mengerti mengapa Hong Bu tetap melawan dan dia pun dapat membenarkan tindakan pemuda itu. Memang, kalau Hong Bu juga menyerah, apakah dapat dijamin bahwa orang-orang jahat ini mau membebaskan mereka berempat? Setidaknya, setelah dia sendiri menyerah, tentu isterinya dan keponakannya takkan diganggu, dan Hong Bu masih dapat berdaya melawan musuh kalau tidak ikut menyerah. Jadi, masih ada harapan. Maka dia pun hanya mengikuti jalannya pertandingan itu dengan hati tegang walaupun dia nampak tenang saja.
Hong Bu memang nekad. Dia akan melawan sampai mati. Kini, tiga orang Im-kan Ngo-ok sudah mengepungnya. Toa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok mengeroyoknya dari tiga penjuru.
Akan tetapi Hong Bu sekali ini benar-benar memperlihatkan kemampuannya. Tubuhnya lenyap diselimuti sinar biru yang bergulung-gulung dan dari gulungan sinar ini kadang-kadang nampak kilatan biru menyambar ke arah musuh-musuhnya. Biarpun dikeroyok oleh tiga orang datuk yang sakti itu, Hong Bu tidak menjadi gentar dan permainan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang dimainkan dengan pengerahan seluruh tenaga itu memang dahsyat luar biasa, mengeluarkan suara mengaum-aum seperti seekor naga mengamuk dan juga membawa angin berpusing yang amat kuatnya. Betapapun lihainya tiga orang dari Im-kan Ngo-ok itu, menghadapi ilmu pedang yang demikian hebatnya, mereka tidak dapat mendekati pemuda itu.
Melihat ini, Hek-i Mo-ong merasa penasaran sekali. Dia sendiri pernah dikalahkan oleh pemuda ini yang bekerja sama dengan seorang gadis bersenjata suling. Kini, melihat betapa tiga orang murid keponakannya yang telah memiliki tingkat ilmu yang tidak begitu jauh selisihnya dengan ilmunya sendiri tidak dapat mengalahkan pemuda itu, dia pun lalu mengeluarkan suara menggereng keras dan tombak Long-ge-pang di tangannya sudah digerakkan dan kakek ini pun menerjang maju ikut mengeroyok Hong Bu!
Sungguh merupakan kejadian yang luar biasa sekali kalau sampai tiga orang pertama dari Im-kan Ngo-ok mengeroyok seorang pemuda, dan lebih lagi tidak mungkin dapat dipercaya orang kang-ouw kalau mendengar bahwa mereka itu bahkan dibantu pula oleh Hek-i Mo-ong mengeroyok seorang pemuda. Akan tetapi kenyataannya demikian dan mereka pun agaknya sudah tidak lagi mempedulikan rasa malu dan harga diri. Mereka hanya ingin menundukkan pemuda yang amat lihai ini.
Cu Kang Bu menonton dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri, penuh dengan kebanggaan akan tetapi juga kekhawatiran. Dia melihat kehebatan Koai-liong Kiam-sut dan merasa bangga bahwa ilmu itu adalah ilmu keturunan nenek moyangnya, dan bahwa pemuda itu adalah murid keponakannya, pewaris dari pusaka neneknya. Dia kagum bukan main, akan tetapi juga khawatir karena maklum betapa lihainya empat orang yang mengeroyok Hong Bu itu. Kekhawatirannya terbukti ketika dia melihat ujung tombak Long-ge-pang di tangan Hek-i Mo-ong menyambar dan menyerempet bahu kiri Hong Bu sehingga bahu itu berdarah dan terluka. Namun Hong Bu masih mengamuk seperti seekor naga.
“Hong Bu larilah engkau!” teriaknya kepada murid keponakan itu.
Hong Bu memang sudah mengerti bahwa kalau dilanjutkan, betapapun juga dia tidak mungkin dapat menandingi pengeroyokan empat orang itu. Kalau dia melawan terus, dia akan roboh mati dan kematiannya tidak akan ada gunanya bagi tiga orang yang tertawan itu. Kalau dia meloloskan diri dan masih hidup, setidaknya dia masih dapat berdaya-upaya untuk menolong tiga orang itu. Maka, dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan pedangnya bergerak dengan amat hebatnya, mengeluarkan jurus Naga Siluman Menyemburkan Api, pedangnya menimbulkan sinar berkeredepan ke arah empat orang lawannya sehingga mereka itu terkejut dan meloncat ke belakang.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Hong Bu untuk meloncat jauh sekali dari tempat itu.
Empat orang itu berloncatan mengejar, akan tetapi Hong Bu telah berlari cepat sekali dan mereka tidak berani untuk mengejar satu-satu, kalau tidak berbarengan karena pemuda itu memang berbahaya sekali. Melihat kekasihnya lari meninggalkan ia dalam tangan musuh, Pek In merasa sedemikian kecewa dan menyesalnya sehingga gadis ini roboh pingsan!
0 Response to "Suling Emas & Naga Siluman Jilid 192"
Posting Komentar