Ia tahu bahwa di antara para pengeroyoknya, yang lihai adalah Si Ulat Seribu dan Hek-i Mo-ong. Akan tetapi karena ia maklum bahwa merobohkan Hek-i Mo-ong bukanlah merupakan hal mudah baginya, maka ia mengambil keputusan untuk merobohkan Si Ulat Seribu lebih dulu. Pada saat Hek-i Mo-ong untuk kesekian kalinya membentak keras dan tombak Long-ge-pang itu menyambar-nyambar dari atas, nenek Nirahai menggunakan gin-kangnya, menyelinap di antara sinar tombak lawan tanpa menangkisnya. Hek-i Mo-ong terkejut, tidak mengira bahwa nenek itu dapat lolos dari gulungan sinar tombaknya begitu saja. Akan tetapi, nenek Nirahai bukan sembarangan meloncat dan meloloskan diri dari kepungan gulungan sinar tombak, melainkan ia menyerbu ke arah Si Ulat Seribu yang mengeroyoknya dari jarak aman.
Melihat sinar pedang payung meluncur ke arahnya, Si Ulat Seribu terkejut. Sejak tadi ia sudah merasa agak jerih karena setiap kali ujung sabuk merahnya bertemu pedang payung, selalu tangannya terasa tergetar, kadang-kadang panas sekali, kadang-kadang dingin bukan main. Bahkan sudah dua kali kaitan emasnya patah ujungnya. Karena maklum bahwa ia tidak mampu menandingi nenek Pulau Es ini, maka ia membiarkan Hek-i Mo-ong yang menandinginya secara langsung sedangkan ia hanya membantu dari jarak aman saja, kadang-kadang melakukan serangan dengan sabuk emasnya untuk mengacaukan pertahanan lawan. Maka, kini melihat nenek itu tiba-tiba dapat meloloskan diri dari kepungan sinar senjata Hek-i Mo-ong dan tahu-tahu sudah menyerangnya dengan ganas, terpaksa ia memutar sabuk merahnya dan menangkis serangan itu sambil mengerahkan sin-kangnya dan menggoyang tubuhnya.
“Cringgg.... prakk....!”
Tubuh Si Ulat Seribu terpelanting dan tak bergerak lagi. Ia tewas dengan kepala retak karena pelipisnya kena dihantam pedang payung! Akan tetapi, ketika ia menangkis dan sabuknya terbabat putus tadi, ia menggoyang tubuh dan dari kedua lengannya beterbangan sinar bermacam warna menuju ke arah nenek Nirahai. Nenek ini cepat mengelak, akan tetapi tetap saja seekor ulat berbulu merah hinggap di pipinya! Ia merasa gatal dan panas. Ketika tangan kirinya menepuk ulat itu dan ia melihat bahwa yang hinggap itu ulat, nenek Nirahai bergidik ngeri! Ia adalah seorang panglima, seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, namun ia tetap seorang wanita! Dan setiap orang wanita mempunyai kelemahan masing-masing terhadap binatang melata atau binatang-binatang kecil lainnya. Ada yang ngeri melihat ular, ada yang takut melihat tikus, atau kacoa, cacing dan sebagainya.
Dan kebetulan sekali nenek Nirahai ini paling jijik dan ngeri kalau melihat ulat! Ketika ia masih kecil, pernah ia bermain-main di kebun dan tubuhnya terkena bulu ulat sehingga seluruh tubuh itu gatal-gatal. Agaknya hal ini yangmendatangkankesan mendalam di hatinya sehingga ia selalu merasa jijik dan takut kalau melihat ulat. Apalagi sekarang ada ulat besar berbulu merah yang hinggap di pipinya, dan kini hancur karena tepukan dan pipinya terasa gatal dan panas. Ia menjerit kecil dan untuk beberapa detik lamanya ia kehilangan keseimbangan dan menjadi lengah.
Kesempatan yang hanya beberapa detik ini tentu saja tidak dilewatkan oleh Hek-i Mo-ong. Secepat kilat tombak Long-ge-pang itu meluncur, cepat dan amat kuat, dan dilakukan dari belakang nenek Nirahai.
“Cappp....!”
Tombak itu menembus punggung sampai dalam, lalu dicabut lagi oleh Hek-i Mo-ong yang sudah hendak menyusulkan lagi tusukannya. Akan tetapi, tiba-tiba nenek itu membalik dan dengan pekik melengking, nenek itu menggerakkan pedang payungnya.
“Trangggg....!”
Nampak bunga api berpijar dan tubuh Hek-i Mo-ong yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang. Raja Iblis ini merasa betapa tubuhnya panas dingin dan ia menggigil ngeri. Dia dapat menduga bahwa ini tentulah penggabungan tenaga sin-kang Yang-kang dan Im-kang yang amat terkenal dari Pulau Es! Ia menjadi agak jerih juga, akan tetapi dia melihat nenek itu lari menuju ke pintu gerbang depan istana dan dari punggungnya bercucuran darah yang membasahi lantai. Nenek itu telah terluka parah.
“Kejar....!” serunya tanpa memperdulikan lagi Si Ulat Seribu yang sudah tewas.
Kini hanya Jai-hwa Siauw-ok saja satu-satunya rekan yang masih hidup dan yang segera mengikutinya mengejar, bersama dua belas orang anak buahnya. Hanya tinggal dua belas orang saja dari lima puluh orang lebih yang datang menyerbu! Amukan nenek Nirahai dibantu Cin Liong, tiga orang cucunya dan lima orang pelayan tadi ternyata telah merobohkan kurang lebih empat puluh orang dan di pihak Pulau Es, lima orang pelayan tewas dan nenek Lulu juga tewas, sekarang nenek Nirahai terluka parah.
Nenek Nirahai sebetulnya bukan bermaksud melarikan diri. Ia tahu bahwa ia telah terluka hebat, tombak Hek-i Mo-ong telah menembus sebuah paru-parunya dan nyawanya tak mungkin dapat diselamatkan lagi. Kalau ia kini melarikan diri ke pintu gerbang, ada dua hal yang mendorongnya dan bukan karena ia takut melawan lagi. Pertama adalah untuk memancing sisa musuh itu agar mengejarnya dan tidak mengejar Cin Liong yang melarikan tiga orang cucunya, dan ke dua ia ingin bertemu sekali lagi dengan suaminya sebelum ia mati!
Dengan tangan kanan memegang pedang payungnya dan tangan kiri dengan susah payah mencoba untuk menutup luka di punggungnya, Nirahai mendorong daun pintu gerbang dengan pundaknya dan sepasang daun pintu itu terbuka lebar. Ia melihat suaminya masih duduk bersila di dekat peti jenazah Lulu dan asap dupa mengepul tebal.
Suaminya masih bersila dengan kaki tunggalnya, dan kini suaminya mengangkat muka memandang kepadanya dengan sinar mata lembut penuh kasih sayang.
“Isteriku, engkau terluka parah....” katanya halus dan tiba-tiba Nirahai merasa betapa kerongkongannya seperti tersumbat.
Suara itu mengandung getaran cinta kasih yang sedemikian besarnya, mengingatkan ia akan masa muda mereka yang penuh kemesraan dan kasih sayang. Kemudian ia melihat betapa suaminya menggunakan kedua tangan untuk menekan lantai dan tubuh suaminya itu, tetap dalam keadaan duduk bersila, berloncatan maju menyambutnya! Hal ini dirasakan oleh Nirahai seperti tusukan pedang ke dua pada jantungnya. Kini tahulah ia mengapa suaminya sejak beberapa hari yang lalu bersamadhi tak pernah bangkit berdiri lagi! Juga ketika Lulu meninggal dunia, suaminya hanya duduk bersila.
Kiranya.... ah, ia tahu. Suaminya terserang penyakit lamanya. Lumpuh! Penyakit ini telah dilawannya selama puluhan tahun, bahkan penyakit ini pula yang tadinya mengeram di kaki kiri suaminya yang kemudian buntung, mengira bahwa penyakit itu lenyap bersama kaki. Hanya karena kehebatan i1mu kepandaian suaminya karena kuatnya sin-kangnya, maka penyakit itu dapat ditekan sedemikian rupa. Kini, dalam usia tuanya, penyakit itu timbul dan membuatnya lumpuh dari pinggang ke bawah!
“Suamiku....!”
Nirahai menubruk, melempar pedangnya dan Suma Han menyambutnya dengan kedua lengan terbuka. Nirahai terkulai di atas pangkuan suaminya, darah mengucur dari punggungnya membasahi pakaian mereka berdua dan sungguh aneh, Nirahai merasa seolah-olah ia menjadi pengantin baru dengan suaminya! Terbayang semua keindahan dan kemesraan antara mereka, dan pandang matanya semakin kabur, akan tetapi bibirnya tersenyum penuh bahagia.
“Suamiku.... engkau.... beratkah penyakitmu....?” Ia masih sempat berbisik sambil memandang wajah suaminya dengan kepala terletak di pangkuan.
Pendekar Super Sakti tersenyum, mengangguk dan mengusap dagu isterinya.
“Kau tunggulah di sana.... aku takkan lama lagi menyusulmu....” bisiknya lirih dan ramah.
Akan tetapi nenek Nirahai hanya mendengar setengahnya saja karena ia telah terkulai dan nyawanya telah meninggalkan badannya, akan tetapi kata-kata di bibirnya sempat terloncat keluar dalam bisikan,
“Aku.... gembira.... seperti adik Lulu....”
Nirahai telah mati. Lulu telah mati. Suma Han memandang wajah isteri di pangkuannya itu, menutupkan mata dan mulutnya dengan jari tangan, dengan sentuhan mesra, kemudian menoleh ke arah peti jenazah Lulu, dan diapun menghela napas panjang.
Kedua isterinya sungguh merupakan dua orang wanita pendekar yang gagah perkasa sampai saat terakhir, sampai menjadi nenek-nenek tua renta! Bagaimanapun juga, dia melihat kebanggaan menyelinap di dalam hatinya, berikut juga penyesalan mengapa mereka berdua itu sampai akhir hidupnya bergelimang dalam kekerasan. Biarpun dia tidak keluar dari ruangan itu, dia dapat mendengar dan membayangkan apa yang telah terjadi di luar.
Kini dia mendengar langkah-langkah kaki banyak orang menuju ke depan pintu gerbang yang menembus ke ruangan itu. Sambil menarik napas, Suma Han memondong dan memanggul tubuh isterinya dengan tangan kiri, kemudian tangan kanannya menekan lantai dan sekali mengerahkan tenaga, tubuhnya sudah melayang kembali ke tempat semula, di dekat peti jenazah Lulu, dan dengan hati-hati dia merebahkan jenazah Nirahai di samping peti jenazah Lulu. Kemudian diapun duduk menanti, menghadap ke arah pintu. Dupa harum masih mengepul tebal di samping kirinya.
Hek-i Mo-ong merupakan orang pertama yang meloncat masuk melalui pintu gerbang yang sudah terbuka itu, kemudian disusul oleh Jai-hwa Siauw-ok dan dua belas orang anggauta mereka yang masih hidup dan belum terluka. Empat belas orang itu berdiri memandang dengan bengong.
Biarpun Pendekar Super Sakti nampak duduk bersila di dekat peti jenazah dan juga jenazah nenek Nirahai yang rebah terlentang di dekat peti itu nampak tenang dan sama sekali tidak membayangkan ancaman dan tidak menyeramkan, namun mereka semua merasakan sesuatu yang membuat mereka bengong. Ada sesuatu dalam sikap kakek itu yang membuat mereka jerih. Seorang kakek tua renta, rambutnya yang putih itu riap-riapan, kumis dan jenggotnya seperti benang-benang perak halus, sepasang mata pada wajahnya yang masih tampan itu memandang lembut ke arah mereka, pada wajah itu sedikitpun tidak terbayang perasaan marah atau takut.
Mereka seperti menghadapi hamparan samudera luas yang tenang, atau langit biru tanpa awan bergerak. Di balik ketenangan dan keheningan ini terdapat sesuatu yang menghanyutkan, sesuatu yang luas dan dalam, yang menimbulkan rasa hormat dan kagum. Kemudian terdengar suara kakek tua renta itu, suaranya halus dan datar tanpa didorong perasaan,
“Kalian pergilah dan tinggalkan pulau ini, bawa teman-temanmu yang tewas dan terluka.”
Suara halus ini agaknya menyadarkan semua orang dari pesona, dan Hek-i Mo-ong menggerakkan tombaknya yang masih berlepotan darah nenek Nirahai itu sambil bertanya,
“Apakah engkau tidak hendak melawan kami? Bukankah engkau ini Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, tocu dari Pulau Es?”
“Namaku Suma Han....”
Tiba-tiba Jai-hwa Siauw-ok berteriak,
“Kakek ini sudah tua renta dan lemah. Dan hanya dia seorang di sini. Kita bunuh dia baru kita cari empat orang muda itu!”
Berkata demikian, Jai-hwa Siauw-ok meloncat ke depan dan menggunakan ilmunya yang hebat, yaitu ilmu pukulan Kiam-ci (Jari Pedang). Dengan jari tangan terbuka, tangan kirinya yang miring itu menyambar ke arah kepala Suma Han dengan mengeluarkan suara bercuitan mengerikan.
Pendekar Super Sakti mengangkat tangan kirinya ke atas, bukan seperti orang menangkis melainkan hanya seperti melindungi kepalanya. Tangan terbuka yang mengandung kekuatan Kiam-ci dari Jai-hwa Siauw-ok itu bertemu dengan lengan yang digerakkan perlahan ke atas itu.
Melihat sinar pedang payung meluncur ke arahnya, Si Ulat Seribu terkejut. Sejak tadi ia sudah merasa agak jerih karena setiap kali ujung sabuk merahnya bertemu pedang payung, selalu tangannya terasa tergetar, kadang-kadang panas sekali, kadang-kadang dingin bukan main. Bahkan sudah dua kali kaitan emasnya patah ujungnya. Karena maklum bahwa ia tidak mampu menandingi nenek Pulau Es ini, maka ia membiarkan Hek-i Mo-ong yang menandinginya secara langsung sedangkan ia hanya membantu dari jarak aman saja, kadang-kadang melakukan serangan dengan sabuk emasnya untuk mengacaukan pertahanan lawan. Maka, kini melihat nenek itu tiba-tiba dapat meloloskan diri dari kepungan sinar senjata Hek-i Mo-ong dan tahu-tahu sudah menyerangnya dengan ganas, terpaksa ia memutar sabuk merahnya dan menangkis serangan itu sambil mengerahkan sin-kangnya dan menggoyang tubuhnya.
“Cringgg.... prakk....!”
Tubuh Si Ulat Seribu terpelanting dan tak bergerak lagi. Ia tewas dengan kepala retak karena pelipisnya kena dihantam pedang payung! Akan tetapi, ketika ia menangkis dan sabuknya terbabat putus tadi, ia menggoyang tubuh dan dari kedua lengannya beterbangan sinar bermacam warna menuju ke arah nenek Nirahai. Nenek ini cepat mengelak, akan tetapi tetap saja seekor ulat berbulu merah hinggap di pipinya! Ia merasa gatal dan panas. Ketika tangan kirinya menepuk ulat itu dan ia melihat bahwa yang hinggap itu ulat, nenek Nirahai bergidik ngeri! Ia adalah seorang panglima, seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, namun ia tetap seorang wanita! Dan setiap orang wanita mempunyai kelemahan masing-masing terhadap binatang melata atau binatang-binatang kecil lainnya. Ada yang ngeri melihat ular, ada yang takut melihat tikus, atau kacoa, cacing dan sebagainya.
Dan kebetulan sekali nenek Nirahai ini paling jijik dan ngeri kalau melihat ulat! Ketika ia masih kecil, pernah ia bermain-main di kebun dan tubuhnya terkena bulu ulat sehingga seluruh tubuh itu gatal-gatal. Agaknya hal ini yangmendatangkankesan mendalam di hatinya sehingga ia selalu merasa jijik dan takut kalau melihat ulat. Apalagi sekarang ada ulat besar berbulu merah yang hinggap di pipinya, dan kini hancur karena tepukan dan pipinya terasa gatal dan panas. Ia menjerit kecil dan untuk beberapa detik lamanya ia kehilangan keseimbangan dan menjadi lengah.
Kesempatan yang hanya beberapa detik ini tentu saja tidak dilewatkan oleh Hek-i Mo-ong. Secepat kilat tombak Long-ge-pang itu meluncur, cepat dan amat kuat, dan dilakukan dari belakang nenek Nirahai.
“Cappp....!”
Tombak itu menembus punggung sampai dalam, lalu dicabut lagi oleh Hek-i Mo-ong yang sudah hendak menyusulkan lagi tusukannya. Akan tetapi, tiba-tiba nenek itu membalik dan dengan pekik melengking, nenek itu menggerakkan pedang payungnya.
“Trangggg....!”
Nampak bunga api berpijar dan tubuh Hek-i Mo-ong yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang. Raja Iblis ini merasa betapa tubuhnya panas dingin dan ia menggigil ngeri. Dia dapat menduga bahwa ini tentulah penggabungan tenaga sin-kang Yang-kang dan Im-kang yang amat terkenal dari Pulau Es! Ia menjadi agak jerih juga, akan tetapi dia melihat nenek itu lari menuju ke pintu gerbang depan istana dan dari punggungnya bercucuran darah yang membasahi lantai. Nenek itu telah terluka parah.
“Kejar....!” serunya tanpa memperdulikan lagi Si Ulat Seribu yang sudah tewas.
Kini hanya Jai-hwa Siauw-ok saja satu-satunya rekan yang masih hidup dan yang segera mengikutinya mengejar, bersama dua belas orang anak buahnya. Hanya tinggal dua belas orang saja dari lima puluh orang lebih yang datang menyerbu! Amukan nenek Nirahai dibantu Cin Liong, tiga orang cucunya dan lima orang pelayan tadi ternyata telah merobohkan kurang lebih empat puluh orang dan di pihak Pulau Es, lima orang pelayan tewas dan nenek Lulu juga tewas, sekarang nenek Nirahai terluka parah.
Nenek Nirahai sebetulnya bukan bermaksud melarikan diri. Ia tahu bahwa ia telah terluka hebat, tombak Hek-i Mo-ong telah menembus sebuah paru-parunya dan nyawanya tak mungkin dapat diselamatkan lagi. Kalau ia kini melarikan diri ke pintu gerbang, ada dua hal yang mendorongnya dan bukan karena ia takut melawan lagi. Pertama adalah untuk memancing sisa musuh itu agar mengejarnya dan tidak mengejar Cin Liong yang melarikan tiga orang cucunya, dan ke dua ia ingin bertemu sekali lagi dengan suaminya sebelum ia mati!
Dengan tangan kanan memegang pedang payungnya dan tangan kiri dengan susah payah mencoba untuk menutup luka di punggungnya, Nirahai mendorong daun pintu gerbang dengan pundaknya dan sepasang daun pintu itu terbuka lebar. Ia melihat suaminya masih duduk bersila di dekat peti jenazah Lulu dan asap dupa mengepul tebal.
Suaminya masih bersila dengan kaki tunggalnya, dan kini suaminya mengangkat muka memandang kepadanya dengan sinar mata lembut penuh kasih sayang.
“Isteriku, engkau terluka parah....” katanya halus dan tiba-tiba Nirahai merasa betapa kerongkongannya seperti tersumbat.
Suara itu mengandung getaran cinta kasih yang sedemikian besarnya, mengingatkan ia akan masa muda mereka yang penuh kemesraan dan kasih sayang. Kemudian ia melihat betapa suaminya menggunakan kedua tangan untuk menekan lantai dan tubuh suaminya itu, tetap dalam keadaan duduk bersila, berloncatan maju menyambutnya! Hal ini dirasakan oleh Nirahai seperti tusukan pedang ke dua pada jantungnya. Kini tahulah ia mengapa suaminya sejak beberapa hari yang lalu bersamadhi tak pernah bangkit berdiri lagi! Juga ketika Lulu meninggal dunia, suaminya hanya duduk bersila.
Kiranya.... ah, ia tahu. Suaminya terserang penyakit lamanya. Lumpuh! Penyakit ini telah dilawannya selama puluhan tahun, bahkan penyakit ini pula yang tadinya mengeram di kaki kiri suaminya yang kemudian buntung, mengira bahwa penyakit itu lenyap bersama kaki. Hanya karena kehebatan i1mu kepandaian suaminya karena kuatnya sin-kangnya, maka penyakit itu dapat ditekan sedemikian rupa. Kini, dalam usia tuanya, penyakit itu timbul dan membuatnya lumpuh dari pinggang ke bawah!
“Suamiku....!”
Nirahai menubruk, melempar pedangnya dan Suma Han menyambutnya dengan kedua lengan terbuka. Nirahai terkulai di atas pangkuan suaminya, darah mengucur dari punggungnya membasahi pakaian mereka berdua dan sungguh aneh, Nirahai merasa seolah-olah ia menjadi pengantin baru dengan suaminya! Terbayang semua keindahan dan kemesraan antara mereka, dan pandang matanya semakin kabur, akan tetapi bibirnya tersenyum penuh bahagia.
“Suamiku.... engkau.... beratkah penyakitmu....?” Ia masih sempat berbisik sambil memandang wajah suaminya dengan kepala terletak di pangkuan.
Pendekar Super Sakti tersenyum, mengangguk dan mengusap dagu isterinya.
“Kau tunggulah di sana.... aku takkan lama lagi menyusulmu....” bisiknya lirih dan ramah.
Akan tetapi nenek Nirahai hanya mendengar setengahnya saja karena ia telah terkulai dan nyawanya telah meninggalkan badannya, akan tetapi kata-kata di bibirnya sempat terloncat keluar dalam bisikan,
“Aku.... gembira.... seperti adik Lulu....”
Nirahai telah mati. Lulu telah mati. Suma Han memandang wajah isteri di pangkuannya itu, menutupkan mata dan mulutnya dengan jari tangan, dengan sentuhan mesra, kemudian menoleh ke arah peti jenazah Lulu, dan diapun menghela napas panjang.
Kedua isterinya sungguh merupakan dua orang wanita pendekar yang gagah perkasa sampai saat terakhir, sampai menjadi nenek-nenek tua renta! Bagaimanapun juga, dia melihat kebanggaan menyelinap di dalam hatinya, berikut juga penyesalan mengapa mereka berdua itu sampai akhir hidupnya bergelimang dalam kekerasan. Biarpun dia tidak keluar dari ruangan itu, dia dapat mendengar dan membayangkan apa yang telah terjadi di luar.
Kini dia mendengar langkah-langkah kaki banyak orang menuju ke depan pintu gerbang yang menembus ke ruangan itu. Sambil menarik napas, Suma Han memondong dan memanggul tubuh isterinya dengan tangan kiri, kemudian tangan kanannya menekan lantai dan sekali mengerahkan tenaga, tubuhnya sudah melayang kembali ke tempat semula, di dekat peti jenazah Lulu, dan dengan hati-hati dia merebahkan jenazah Nirahai di samping peti jenazah Lulu. Kemudian diapun duduk menanti, menghadap ke arah pintu. Dupa harum masih mengepul tebal di samping kirinya.
Hek-i Mo-ong merupakan orang pertama yang meloncat masuk melalui pintu gerbang yang sudah terbuka itu, kemudian disusul oleh Jai-hwa Siauw-ok dan dua belas orang anggauta mereka yang masih hidup dan belum terluka. Empat belas orang itu berdiri memandang dengan bengong.
Biarpun Pendekar Super Sakti nampak duduk bersila di dekat peti jenazah dan juga jenazah nenek Nirahai yang rebah terlentang di dekat peti itu nampak tenang dan sama sekali tidak membayangkan ancaman dan tidak menyeramkan, namun mereka semua merasakan sesuatu yang membuat mereka bengong. Ada sesuatu dalam sikap kakek itu yang membuat mereka jerih. Seorang kakek tua renta, rambutnya yang putih itu riap-riapan, kumis dan jenggotnya seperti benang-benang perak halus, sepasang mata pada wajahnya yang masih tampan itu memandang lembut ke arah mereka, pada wajah itu sedikitpun tidak terbayang perasaan marah atau takut.
Mereka seperti menghadapi hamparan samudera luas yang tenang, atau langit biru tanpa awan bergerak. Di balik ketenangan dan keheningan ini terdapat sesuatu yang menghanyutkan, sesuatu yang luas dan dalam, yang menimbulkan rasa hormat dan kagum. Kemudian terdengar suara kakek tua renta itu, suaranya halus dan datar tanpa didorong perasaan,
“Kalian pergilah dan tinggalkan pulau ini, bawa teman-temanmu yang tewas dan terluka.”
Suara halus ini agaknya menyadarkan semua orang dari pesona, dan Hek-i Mo-ong menggerakkan tombaknya yang masih berlepotan darah nenek Nirahai itu sambil bertanya,
“Apakah engkau tidak hendak melawan kami? Bukankah engkau ini Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, tocu dari Pulau Es?”
“Namaku Suma Han....”
Tiba-tiba Jai-hwa Siauw-ok berteriak,
“Kakek ini sudah tua renta dan lemah. Dan hanya dia seorang di sini. Kita bunuh dia baru kita cari empat orang muda itu!”
Berkata demikian, Jai-hwa Siauw-ok meloncat ke depan dan menggunakan ilmunya yang hebat, yaitu ilmu pukulan Kiam-ci (Jari Pedang). Dengan jari tangan terbuka, tangan kirinya yang miring itu menyambar ke arah kepala Suma Han dengan mengeluarkan suara bercuitan mengerikan.
Pendekar Super Sakti mengangkat tangan kirinya ke atas, bukan seperti orang menangkis melainkan hanya seperti melindungi kepalanya. Tangan terbuka yang mengandung kekuatan Kiam-ci dari Jai-hwa Siauw-ok itu bertemu dengan lengan yang digerakkan perlahan ke atas itu.
**** 017 ****
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 017"
Posting Komentar