“Byurrrr....!”
Air muncrat tinggi dan dia terbanting ke dalam air dengan kaki lebih dulu. Dengan demikian, kepalanya tidak terbentur air dan tubuhnya dapat meluncur dengan cepat melawan arus ombak sampai ke dasar laut di mana ombak tidak begitu besar dan kuat gerakannya. Karena dia sudah memperhitungkan dan mengatur kejatuhannya sehingga ketika kedua kaki menyentuh air tadi dia menghadap ke tebing, kini kakinya yang menyentuh dasar laut itu mengenjot kuat dan tubuhnya meluncur dan berenang cepat menuju ke tepi, kedua tangannya bergerak meraba-raba ke depan dan akhirnya, terdorong pula oleh ombak, dia dapat menyentuh dinding tebing di bawah laut. Dengan kekuatan khi-kangnya, dia menahan napas sejak tadi dan kini, berpegang kepada dinding tebing yang tidak rata, dia memanjat ke atas dan muncul di dalam guha bawah tebing, aman dan tidak kelihatan dari atas. Cepat dia mencari tempat bersembunyi yang aman dari hempasan ombak, dan tinggal di situ sampai siang. Baru setelah dia melihat perahu-perahu besar itu pergi meninggalkan pulau, menuju ke utara, dia memanjat tebing itu, keluar dan mencari perahu kecilnya.
Tubuhnya sakit-sakit dan lelah, juga lapar. Akan tetapi Cin Liong tidak mau beristirahat, tidak mau mencari makan. Dia harus cepat-cepat mencari Pulau Es dan dia yakin bahwa pulau itu tentu tidak jauh lagi dari daerah itu. Maka diapun lalu membuka layar dan perahu kecilnya meluncur dengan cepat menuju ke utara, menyusul rombongan dua belas perahu besar tadi. Akan tetapi, dia tidak dapat menyusul mereka, dan dia cepat-cepat bersembunyi di balik gumpalan es besar ketika melihat perahu-perahu itu berlayar menjauhi sebuah pulau yang nampak putih dari kejauhan. Cin Liong menjadi bingung, tidak tahu apa yang telah terjadi dan mengapa perahu-perahu itu meninggalkan pulau putih yang disangkanya tentu Pulau Es itu. Dia merasa lelah dan agak pening, mungkin terlalu banyak kehilangan darah, terlalu lelah dan juga lapar. Setelah bertemu dengan romhongan perahu itu, dia harus berhati-hati dan dia terus bersembunyi bersama perahunya di balik bongkahan es.
Setelah malam tiba, barulah dia berani mendayung perahunya keluar dari balik bongkahan es menuju ke pulau putih itu. Untung ada bintang-bintang di langit yang biarpun sinarnya muram, namun cukup untuk menerangi pulau putih itu, yang nampak seperti gunung abu-abu di malam gelap. Akhirnya tibalah dia di pulau itu lalu mendarat.
Akhirnya, dia mendekati istana tengah pulau itu dan ketahuan oleh Suma Hui. Keluarga Pulau Es mendengarkan penuturan Cin Liong dengan penuh perhatian. Pemuda itu lalu mengakhiri cerita dengan suara menyesal,
“Demikianlah, Suma kong-couw, saya akhirnya dapat juga tiba di sini menghadap kong-couw. Akan tetapi sungguh menyesal sekali bahwa kedatangan saya terlambat sehingga agaknya nenek buyut Lulu menjadi korban.”
Kakek Suma Han mengangguk.
“Memang ia tewas dalam pertempuran melawan sebagian dari pada para penyerbu. Akau tetapi, engkau baru saja datang dan engkau lapar. Makanlah dulu, Cin Liong.”
Nirahai lalu berkata kepada Suma Hui,
“Hui, kau suruh pelayan untuk menyiapkan makanan untuk keponakanmu Cin Liong.”
Suma Hui bangkit berdiri, mengangguk kepada Cin Liong dan berkata ramah, akan tetapi sikapnya agak canggung,
“Marilah....”
Cin Liong bangkit dan menjawab dengan hormat,
“Baik, bibi Hui dan terima kasih.” Lalu dia mengikuti gadis itu menuju ke dalam.
“Temani dia makan minum di dalam,” kata nenek Nirahai kepada dua orang cucu lelakinya.
Ciang Bun dan Ceng Liong mengangguk, bangkit dan masuk pula. Mereka tahu bahwa nenek mereka agaknya hendak bicara dengan kakek mereka dan nenek mereka tadi memberi isyarat agar mereka meninggalkan dua orang tua itu berdua saja. Setelah semua orang muda itu pergi, nenek Nirahai lalu menoleh kepada suaminya dan berkata dengan suara yang mengandung kekhawatiran,
“Menurut penuturan Cin Liong, jumlah mereka itu ada lima puluh orang lebih, dan para pemimpinnya ada lima orang, termasuk Hek-i Mo-ong. Jadi, setelah yang seorang tewas di tangan adik Lulu, masih ada empat orang lagi yang memiliki kepandaian tinggi. Aku pernah mendengar bahwa ilmu kepandaian Hek-i Mo-ong amat hebat, dan dia merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Apalagi ada tiga orang lagi temannya, dan anak buahnya berjumlah lima puluh orang.”
Sejak tadi, kakek itu menatap wajah isterinya, lalu bertanya halus sehingga sama sekali tidak ada nada yang menyinggung,
“Apakah engkau merasa takut?”
Nenek Nirahai menggeleng kepalanya.
“Engkau tahu bahwa aku tidak pernah mengenal rasa takut berhadapan dengan musuh yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, tetap saja aku merasa khawatir. Mereka itu berjumlah besar sekali dan keadaan mereka amat kuat. Oleh karena itu, tewasnya seorang di antara mereka saja tidak mungkin membuat mereka tidak berani datang lagi. Tidak, aku bahkan merasa yakin bahwa mereka tentu akan datang menyerbu dan kini sedang menghimpun kekuatan.”
“Dan engkau tidak takut....?”
“Memang, aku tidak takut. Jangankan baru sekian, biar ditambah tiga kali lipat lagipun aku tidak akan undur selangkah. Akan tetapi, kita harus mengingat cucu-cucu kita....!”
Kakek itu tetap tenang saja, bahkan tersenyum memandang isterinya. Biarpun mereka sudah tua, akan tetapi senyum suaminya itu membuat nenek Nirahai menjadi merah mukanya. Belum pernah senyum dan pandang mata suaminya itu tidak membuat hatinya runtuh! Kakek itu agaknya mengerti akan kecanggungan isterinya, maka diapun berkata,
“Engkau lebih paham daripada aku mengenai bagaimana harus menghadapi serbuan orang banyak itu, isteriku.”
“Baiklah, serahkan saja kepadaku,” kata nenek Nirahai yang segera keluar dari ruangan itu, membiarkan suaminya sendirian menjaga peti jenazah nenek Lulu.
Ketika ia melangkah keluar istana dan memandang keluar, ke malam gelap, ke arah bintang-bintang di langit, dan merasakan hembusan angin malam pada wajahnya, membayangkan bahwa di tengah lautan itu terdapat pihak musuh yang sedang mengintai dan sewaktu-waktu akan menyerbu, wajah nenek Nirahai seketika menjadi gembira dan berseri-seri, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi dan mulutnya mengulum senyum. Ia merasa seolah-olah sedang menunggang kuda sebagai seorang panglima yang sedang mempelajari keadaan dan mengatur siasat perang untuk menghadapi penyerbuan musuh yang amat kuat. Inilah dunianya. Inilah kesukaannya. Perang! Atau setidaknya, menghadapi ancaman musnh yang kuat, menduga-duga siasat yang diatur lawan dan merencanakan siasat tandingan untuk mencapai kemenangan!
Wajah nenek Nirahai masih berseri gembira ketika ia menemui Cin Liong, Suma Hui, Ciang Bun dan Ceng Liong, juga ia mengumpulkan lima orang pelayan, tiga pria dan dua wanita itu, mengajak mereka berkumpul di ruangan paling depan.
“Dengarkan baik-baik,” ia memulai dan didengarkan oleh semua orang dengan penuh perhatian karena mereka semua dapat menduga akan adanya bahaya mengancam dari pihak musuh setelah mereka mendengar penuturan Cin Liong tadi. “Pulau kita ini agaknya sedang dikepung oleh musuh yang banyak jumlahnya. Ada dua belas perahu besar yang memuat kurang lebih lima puluh orang, semua adalah orang-orang yang pandai ilmu silat, dan mereka dipimpin oleh empat orang datuk yang sakti. Besar kemungkinan mereka itu akan datang menyerbu sewaktu-waktu, entah malam ini, entah besok pagi. Karena itu, kita sembilan orang haruslah bersiap-siap untuk mempertahankan pulau kita.”
“Baik, nyonya. Kami berlima akan mempertahankan pulau kita ini dengan taruhan nyawa!” jawab seorang di antara lima pelayan itu, yang wanita dan yang tertua, berusia empat puluh tahun.
Empat orang temannya mengangguk penuh ketegasan karena mereka itu sudah merasa seperti anggauta keluarga Pulau Es, sudah jatuh cinta dengan tempat itu dan dengan keluarga yang mereka hormati dan kagumi itu. Melihat sikap mereka, nenek Nirahai merasa terharu dan bangga sekali. Banyak sudah ia melihat perajurit-perajurit yang dahulu menjadi anak buahnya bersikap gagah seperti ini, akan tetapi mereka adalah perajurit-perajurit yang memang bertugas untuk menghadapi musuh. Ada pula perajurit-perajurit yang kalau merasa terancam keselamatan mereka lalu lari tunggang-langgang tanpa menunggu komando lagi. Akan tetapi lima orang ini hanya pelayan-pelayan dan mereka itu hanya ketularan sedikit saja ilmu silat keluarga Istarna Pulau Es. Namun dalam hal kegagahan, mereka itu sungguh patut dibanggakan!
“Bagus! Kalian harus berjaga malam ini secara bergilir. Tidak boleh semua berjaga. Cukup seorang saja meronda membantuku, yang empat orang tidur. Setiap tiga jam bergilir jaga. Ini penting karena kalian harus menyimpan tenaga. Kurang tidur bisa melelahkan dan melemahkan. Agar dapat tidur akan kuberi obat. Nah, sokarang berpencar dan berjagalah sampai aku datang menyuruh siapa yang harus berjaga lebih dahulu. Bawa senjata kalian dan nyalakan lampu di bagian depan istana saja, lampu-lampu lainnya padamkan.”
Setelah lima orang pelayan itu pergi menjalankan tugas mereka, nenek Nirahai lalu berkata kepada tiga orang cucunya,
“Hui, bawa kedua orang adikmu menjaga di luar halaman istana dan jangan pergi dari situ sebelum aku datang.”
Suma Hui, Ciang Bun, dan Ceng Liong menyanggupi dan merekapun keluar dengan sikap gagah, sedikitpun tidak nampak gentar walaupun mereka tahu bahwa tempat tinggal mereka akan diserbu musuh yang banyak jumlahnya. Setelah tiga orang anak itu pergi, nenek Nirahai lalu memberi isyarat kepada Cin Liong untuk mengikutinya. Tentu saja pemuda ini merasa heran, akan tetapi diapun diam saja dan mengikuti nenek itu yang membawanya pergi ke halaman samping di sebelah kanan istana itu.
“Cin Liong, di antara cucu-cucuku, engkaulah satu-satunya orang yang telah dewasa, apalagi engkau adalah seorang jenderal muda yang tentu tahu akan siasat perang,” kata nenek Nirahai setelah mereka berada di halaman samping yang sunyi itu. “Maka, aku sengaja membawamu ke sini untuk kuajak berunding. Nah, terus terang saja, katakanlah bagaimana kedudukan kita dibandingkan dengan lawan dan apa akan jadinya kalau lawan menyerbu secara serentak mengerahkan seluruh kekuatan mereka?”
Cin Liong menarik napas panjang.
“Mungkin saya terlalu lemah dan kecil hati, akan tetapi terus terang saja, kedudukan kita amat lemah dan kekuatan pihak musuh terlalu besar. Akan tetapi sulitlah bagi kita untuk dapat mengalahkan begitu banyaknya orang yang rata-rata lihai, apalagi empat orang pemimpin mereka itu. Kalau memang kita hendak menyelamatkan diri, jalan satu-satunya adalah diam-diam meninggalkan pulau ini sebelum mereka menyerbu. Menggunakan waktu gelap dan pengetahuan kong-couw sekeluarga yang tentu lebih mengenal daerah ini, agaknya masih banyak harapan bagi kita untuk meloloskan diri.”
“Kao Cin Liong!” Nenek itu menegur. “Ayahmu adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang sudah lama kukagumi sebagai orang muda yang hebat luar biasa, akan tetapi engkau putera tunggalnya menyarankan kepadaku untuk melarikan diri? Jenderal muda macam apakah engkau ini?”
Wajah pemuda itu berobah merah.
“Maafkan, sesungguhnya usul saya tadi bukan semata-mata karena saya takut menghadapi kenyataan, melainkan penggambaran keadaan sebagaimana adanya, dan terutama sekali saya mengingat adanya bibi Suma Hui dan dua orang paman kecil. Saya kira amatlah sayang kalau mereka itu harus menghadapi bahaya maut dengan sia-sia dalam usia semuda itu.”
Nenek itu mengangguk-angguk.
“Justeru karena itulah maka engkau kuajak ke sini, Cin Liong. Engkau tentu mengerti bahwa orang-orang seperti kong-couwmu dan aku, sampai matipun tidak nanti akan melarikan diri dari serbuan orang. Akan tetapi, akupun tidak menghendaki cucu-cucuku yang masih muda itu menjadi korban dan mati konyol.”
Air muncrat tinggi dan dia terbanting ke dalam air dengan kaki lebih dulu. Dengan demikian, kepalanya tidak terbentur air dan tubuhnya dapat meluncur dengan cepat melawan arus ombak sampai ke dasar laut di mana ombak tidak begitu besar dan kuat gerakannya. Karena dia sudah memperhitungkan dan mengatur kejatuhannya sehingga ketika kedua kaki menyentuh air tadi dia menghadap ke tebing, kini kakinya yang menyentuh dasar laut itu mengenjot kuat dan tubuhnya meluncur dan berenang cepat menuju ke tepi, kedua tangannya bergerak meraba-raba ke depan dan akhirnya, terdorong pula oleh ombak, dia dapat menyentuh dinding tebing di bawah laut. Dengan kekuatan khi-kangnya, dia menahan napas sejak tadi dan kini, berpegang kepada dinding tebing yang tidak rata, dia memanjat ke atas dan muncul di dalam guha bawah tebing, aman dan tidak kelihatan dari atas. Cepat dia mencari tempat bersembunyi yang aman dari hempasan ombak, dan tinggal di situ sampai siang. Baru setelah dia melihat perahu-perahu besar itu pergi meninggalkan pulau, menuju ke utara, dia memanjat tebing itu, keluar dan mencari perahu kecilnya.
Tubuhnya sakit-sakit dan lelah, juga lapar. Akan tetapi Cin Liong tidak mau beristirahat, tidak mau mencari makan. Dia harus cepat-cepat mencari Pulau Es dan dia yakin bahwa pulau itu tentu tidak jauh lagi dari daerah itu. Maka diapun lalu membuka layar dan perahu kecilnya meluncur dengan cepat menuju ke utara, menyusul rombongan dua belas perahu besar tadi. Akan tetapi, dia tidak dapat menyusul mereka, dan dia cepat-cepat bersembunyi di balik gumpalan es besar ketika melihat perahu-perahu itu berlayar menjauhi sebuah pulau yang nampak putih dari kejauhan. Cin Liong menjadi bingung, tidak tahu apa yang telah terjadi dan mengapa perahu-perahu itu meninggalkan pulau putih yang disangkanya tentu Pulau Es itu. Dia merasa lelah dan agak pening, mungkin terlalu banyak kehilangan darah, terlalu lelah dan juga lapar. Setelah bertemu dengan romhongan perahu itu, dia harus berhati-hati dan dia terus bersembunyi bersama perahunya di balik bongkahan es.
Setelah malam tiba, barulah dia berani mendayung perahunya keluar dari balik bongkahan es menuju ke pulau putih itu. Untung ada bintang-bintang di langit yang biarpun sinarnya muram, namun cukup untuk menerangi pulau putih itu, yang nampak seperti gunung abu-abu di malam gelap. Akhirnya tibalah dia di pulau itu lalu mendarat.
Akhirnya, dia mendekati istana tengah pulau itu dan ketahuan oleh Suma Hui. Keluarga Pulau Es mendengarkan penuturan Cin Liong dengan penuh perhatian. Pemuda itu lalu mengakhiri cerita dengan suara menyesal,
“Demikianlah, Suma kong-couw, saya akhirnya dapat juga tiba di sini menghadap kong-couw. Akan tetapi sungguh menyesal sekali bahwa kedatangan saya terlambat sehingga agaknya nenek buyut Lulu menjadi korban.”
Kakek Suma Han mengangguk.
“Memang ia tewas dalam pertempuran melawan sebagian dari pada para penyerbu. Akau tetapi, engkau baru saja datang dan engkau lapar. Makanlah dulu, Cin Liong.”
Nirahai lalu berkata kepada Suma Hui,
“Hui, kau suruh pelayan untuk menyiapkan makanan untuk keponakanmu Cin Liong.”
Suma Hui bangkit berdiri, mengangguk kepada Cin Liong dan berkata ramah, akan tetapi sikapnya agak canggung,
“Marilah....”
Cin Liong bangkit dan menjawab dengan hormat,
“Baik, bibi Hui dan terima kasih.” Lalu dia mengikuti gadis itu menuju ke dalam.
“Temani dia makan minum di dalam,” kata nenek Nirahai kepada dua orang cucu lelakinya.
Ciang Bun dan Ceng Liong mengangguk, bangkit dan masuk pula. Mereka tahu bahwa nenek mereka agaknya hendak bicara dengan kakek mereka dan nenek mereka tadi memberi isyarat agar mereka meninggalkan dua orang tua itu berdua saja. Setelah semua orang muda itu pergi, nenek Nirahai lalu menoleh kepada suaminya dan berkata dengan suara yang mengandung kekhawatiran,
“Menurut penuturan Cin Liong, jumlah mereka itu ada lima puluh orang lebih, dan para pemimpinnya ada lima orang, termasuk Hek-i Mo-ong. Jadi, setelah yang seorang tewas di tangan adik Lulu, masih ada empat orang lagi yang memiliki kepandaian tinggi. Aku pernah mendengar bahwa ilmu kepandaian Hek-i Mo-ong amat hebat, dan dia merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Apalagi ada tiga orang lagi temannya, dan anak buahnya berjumlah lima puluh orang.”
Sejak tadi, kakek itu menatap wajah isterinya, lalu bertanya halus sehingga sama sekali tidak ada nada yang menyinggung,
“Apakah engkau merasa takut?”
Nenek Nirahai menggeleng kepalanya.
“Engkau tahu bahwa aku tidak pernah mengenal rasa takut berhadapan dengan musuh yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, tetap saja aku merasa khawatir. Mereka itu berjumlah besar sekali dan keadaan mereka amat kuat. Oleh karena itu, tewasnya seorang di antara mereka saja tidak mungkin membuat mereka tidak berani datang lagi. Tidak, aku bahkan merasa yakin bahwa mereka tentu akan datang menyerbu dan kini sedang menghimpun kekuatan.”
“Dan engkau tidak takut....?”
“Memang, aku tidak takut. Jangankan baru sekian, biar ditambah tiga kali lipat lagipun aku tidak akan undur selangkah. Akan tetapi, kita harus mengingat cucu-cucu kita....!”
Kakek itu tetap tenang saja, bahkan tersenyum memandang isterinya. Biarpun mereka sudah tua, akan tetapi senyum suaminya itu membuat nenek Nirahai menjadi merah mukanya. Belum pernah senyum dan pandang mata suaminya itu tidak membuat hatinya runtuh! Kakek itu agaknya mengerti akan kecanggungan isterinya, maka diapun berkata,
“Engkau lebih paham daripada aku mengenai bagaimana harus menghadapi serbuan orang banyak itu, isteriku.”
“Baiklah, serahkan saja kepadaku,” kata nenek Nirahai yang segera keluar dari ruangan itu, membiarkan suaminya sendirian menjaga peti jenazah nenek Lulu.
Ketika ia melangkah keluar istana dan memandang keluar, ke malam gelap, ke arah bintang-bintang di langit, dan merasakan hembusan angin malam pada wajahnya, membayangkan bahwa di tengah lautan itu terdapat pihak musuh yang sedang mengintai dan sewaktu-waktu akan menyerbu, wajah nenek Nirahai seketika menjadi gembira dan berseri-seri, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi dan mulutnya mengulum senyum. Ia merasa seolah-olah sedang menunggang kuda sebagai seorang panglima yang sedang mempelajari keadaan dan mengatur siasat perang untuk menghadapi penyerbuan musuh yang amat kuat. Inilah dunianya. Inilah kesukaannya. Perang! Atau setidaknya, menghadapi ancaman musnh yang kuat, menduga-duga siasat yang diatur lawan dan merencanakan siasat tandingan untuk mencapai kemenangan!
Wajah nenek Nirahai masih berseri gembira ketika ia menemui Cin Liong, Suma Hui, Ciang Bun dan Ceng Liong, juga ia mengumpulkan lima orang pelayan, tiga pria dan dua wanita itu, mengajak mereka berkumpul di ruangan paling depan.
“Dengarkan baik-baik,” ia memulai dan didengarkan oleh semua orang dengan penuh perhatian karena mereka semua dapat menduga akan adanya bahaya mengancam dari pihak musuh setelah mereka mendengar penuturan Cin Liong tadi. “Pulau kita ini agaknya sedang dikepung oleh musuh yang banyak jumlahnya. Ada dua belas perahu besar yang memuat kurang lebih lima puluh orang, semua adalah orang-orang yang pandai ilmu silat, dan mereka dipimpin oleh empat orang datuk yang sakti. Besar kemungkinan mereka itu akan datang menyerbu sewaktu-waktu, entah malam ini, entah besok pagi. Karena itu, kita sembilan orang haruslah bersiap-siap untuk mempertahankan pulau kita.”
“Baik, nyonya. Kami berlima akan mempertahankan pulau kita ini dengan taruhan nyawa!” jawab seorang di antara lima pelayan itu, yang wanita dan yang tertua, berusia empat puluh tahun.
Empat orang temannya mengangguk penuh ketegasan karena mereka itu sudah merasa seperti anggauta keluarga Pulau Es, sudah jatuh cinta dengan tempat itu dan dengan keluarga yang mereka hormati dan kagumi itu. Melihat sikap mereka, nenek Nirahai merasa terharu dan bangga sekali. Banyak sudah ia melihat perajurit-perajurit yang dahulu menjadi anak buahnya bersikap gagah seperti ini, akan tetapi mereka adalah perajurit-perajurit yang memang bertugas untuk menghadapi musuh. Ada pula perajurit-perajurit yang kalau merasa terancam keselamatan mereka lalu lari tunggang-langgang tanpa menunggu komando lagi. Akan tetapi lima orang ini hanya pelayan-pelayan dan mereka itu hanya ketularan sedikit saja ilmu silat keluarga Istarna Pulau Es. Namun dalam hal kegagahan, mereka itu sungguh patut dibanggakan!
“Bagus! Kalian harus berjaga malam ini secara bergilir. Tidak boleh semua berjaga. Cukup seorang saja meronda membantuku, yang empat orang tidur. Setiap tiga jam bergilir jaga. Ini penting karena kalian harus menyimpan tenaga. Kurang tidur bisa melelahkan dan melemahkan. Agar dapat tidur akan kuberi obat. Nah, sokarang berpencar dan berjagalah sampai aku datang menyuruh siapa yang harus berjaga lebih dahulu. Bawa senjata kalian dan nyalakan lampu di bagian depan istana saja, lampu-lampu lainnya padamkan.”
Setelah lima orang pelayan itu pergi menjalankan tugas mereka, nenek Nirahai lalu berkata kepada tiga orang cucunya,
“Hui, bawa kedua orang adikmu menjaga di luar halaman istana dan jangan pergi dari situ sebelum aku datang.”
Suma Hui, Ciang Bun, dan Ceng Liong menyanggupi dan merekapun keluar dengan sikap gagah, sedikitpun tidak nampak gentar walaupun mereka tahu bahwa tempat tinggal mereka akan diserbu musuh yang banyak jumlahnya. Setelah tiga orang anak itu pergi, nenek Nirahai lalu memberi isyarat kepada Cin Liong untuk mengikutinya. Tentu saja pemuda ini merasa heran, akan tetapi diapun diam saja dan mengikuti nenek itu yang membawanya pergi ke halaman samping di sebelah kanan istana itu.
“Cin Liong, di antara cucu-cucuku, engkaulah satu-satunya orang yang telah dewasa, apalagi engkau adalah seorang jenderal muda yang tentu tahu akan siasat perang,” kata nenek Nirahai setelah mereka berada di halaman samping yang sunyi itu. “Maka, aku sengaja membawamu ke sini untuk kuajak berunding. Nah, terus terang saja, katakanlah bagaimana kedudukan kita dibandingkan dengan lawan dan apa akan jadinya kalau lawan menyerbu secara serentak mengerahkan seluruh kekuatan mereka?”
Cin Liong menarik napas panjang.
“Mungkin saya terlalu lemah dan kecil hati, akan tetapi terus terang saja, kedudukan kita amat lemah dan kekuatan pihak musuh terlalu besar. Akan tetapi sulitlah bagi kita untuk dapat mengalahkan begitu banyaknya orang yang rata-rata lihai, apalagi empat orang pemimpin mereka itu. Kalau memang kita hendak menyelamatkan diri, jalan satu-satunya adalah diam-diam meninggalkan pulau ini sebelum mereka menyerbu. Menggunakan waktu gelap dan pengetahuan kong-couw sekeluarga yang tentu lebih mengenal daerah ini, agaknya masih banyak harapan bagi kita untuk meloloskan diri.”
“Kao Cin Liong!” Nenek itu menegur. “Ayahmu adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang sudah lama kukagumi sebagai orang muda yang hebat luar biasa, akan tetapi engkau putera tunggalnya menyarankan kepadaku untuk melarikan diri? Jenderal muda macam apakah engkau ini?”
Wajah pemuda itu berobah merah.
“Maafkan, sesungguhnya usul saya tadi bukan semata-mata karena saya takut menghadapi kenyataan, melainkan penggambaran keadaan sebagaimana adanya, dan terutama sekali saya mengingat adanya bibi Suma Hui dan dua orang paman kecil. Saya kira amatlah sayang kalau mereka itu harus menghadapi bahaya maut dengan sia-sia dalam usia semuda itu.”
Nenek itu mengangguk-angguk.
“Justeru karena itulah maka engkau kuajak ke sini, Cin Liong. Engkau tentu mengerti bahwa orang-orang seperti kong-couwmu dan aku, sampai matipun tidak nanti akan melarikan diri dari serbuan orang. Akan tetapi, akupun tidak menghendaki cucu-cucuku yang masih muda itu menjadi korban dan mati konyol.”
**** 013 ****
0 Response to "Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 013"
Posting Komentar